Dr. Ihlas Hasan bersama istri. (ist/lakeynews.com)

Sempat tidak Bisa Kuliah karena Kendala Ekonomi

HIDUP dalam himpitan ekonomi yang terbatas, tidak membuat alumni SMAN 1 Dompu ini patah semangat.

Tahun tahun 2005 sempat terpukul. Selepas lulus SMA, dia tidak bisa melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi.

“Kondisi ekonomi orang tua yang tidak memungkinkan untuk membiayai kuliah saya,” kata Dr. Ihlas Hasan pada Lakeynews.com.

BACA JUGA: http://lakeynews.com/2020/05/18/kisah-ihlas-hasan-anak-petani-raih-gelar-doktor-dimasa-covid-19-1/#.Xt-7_ln7M0N

Saat itu, kehidupan (ekonomi) orangtuanya masih mengandalkan hasil pertanian dari ladang. Panennya hanya sekali dalam setahun.

Itupun hanya cukup untuk menafkahi Ihlas dan delapan saudaranya. Bahkan kerap tidak mencukupi.

Maka, untuk menutupinya, Ihlas dan saudara-saudaranya harus menjadi buruh tani di sawah milik warga setempat.

Akhirnya, pada pertengahan 2005 Ihlas memutuskan hijrah ke Ibukota negara, Jakarta.

Selama di sana, dia menjadi padang asongan. Hanya bertahan beberapa bulan, lalu pindah ke Riau dan Aceh untuk berkerja sebagai salesman sebuah perusahaan.

Setelah setahun merantau, Ihlas akhirnya memilih untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Karambura, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu.

Menjadi pedagang keliling tidak membuatnya tenang. Tekadnya untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi masih tertanam kuat.

Apalagi pengalamannya selama hidup di rantauan, mengajarkannnya bahwa pendidikan adalah satu-satunya investasi masa depan yang tak pernah bangkrut.

Karen itu, tahun 2006, dengan modal keberanian, dia mendaftarkan diri di salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) di Kota Bima.

PTS tersebut, sekarang bernama Institut Agama Islam (IAI) Muhammadiyah Bima. Saat ini, PTS itu menjadi tempat dia mengabdi.

Tentu saja keputusan mendaftar kuliah bukan karena sudah memiliki uang lebih atau memiliki tabungan biaya kuliah. Tetapi, lebih karena kehausannya akan ilmu pengetahuan.

“Keinginan kuat untuk mendapat ilmu pengetahuanlah yang membuat saya nekat mendaftarkan diri kuliah,” cerita Ihlas.

Baginya, pendidikan itu penting. Tidak hanya untuk masa depan. Lebih dari itu, untuk menciptakan masa depan.

Jika kemiskinan menjadi alasan untuk tidak sekolah, Ihlas sangat yakin mampu akan menjadikan kemiskinan sebagai “harta” yang diwariskan kepada generasi selanjutnya. Generasi di masa yang akan datang.

“Maka, yang terjadi adalah kemiskinan yang menyejarah,” tuturnya.

Jadi, baginya, tidak ada alasan untuk tidak sekolah atau kuliah karena alasan ekonomi. “Itulah prinsip hidup yang saya pegang,” tegasnya.

Untuk membantu dan memenuhi kebutuhan kuliah selama dua tahun, Ihlad nyambi bekerja di salah satu perusahaan donat di wilayah Dara, Kota Bima.

Dari pekerjaan itu, cukup membantu biaya kuliahnya. Bahkan, jika ada bonus dari pekerjaannya, ia kirimkan untuk orangtuanya di kampung.

Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi, ia terlibat aktif di berbagai Organisasi Kemahasiswaan dan Pemuda (OKP).

Antara lain, di KNPI, UKM dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Pada 2009, ia dipercaya menjadi Ketua Umum IMM Cabang Bima.

Dari sinilah, pria yang juga berkerja sebagai asesor BAN PAUD PNF Kemdikbud itu mulai dikenal oleh banyak kalangan.

Kebiasaan dan senangnya berteman serta bergaul dengan siapapun membuatnya mudah diterima oleh hampir semua kalangan.

Keaktifannya di IMM, membuat silaturahminya dengan warga persyarikatan Muhammadiyah, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dan ulama Muhammadiyah menjadi sangat intensif.

Dari situlah dia dipercaya dalam beberapa kegiatan dakwah Muhammadiyah Bima. Karena itu, akhirnya memilih organisasi Muhammadiyah sebagai tempat pengabdiannya.

Dengan segala beban perjuangan yang dilewati, tahun 2010 ia akhirnya dinyatakan lulus sarjana.

Menyandang gelar sarjana tak lantas membuatnya puas. Hanya berselang empat bulan dari masa kelulusannya, dia berusaha keras mencari link berasiswa untuk studi S2.

Padahal, saat itu, Ihlas hanya punya tabungan Rp. 700 ribu. “Tetapi atas izin Allah SWT, saya akhirnya dinyatakan lulus beasiswa S2 di UMS Surakarta pada Juli 2011,” ujarnya.

Tahun 2013, Ihlas mampu merampung studi magisternya. Setelah itu, dia kembali mengabdi di almamaternya.

Bukan Ihlas, kalau cepat puas dalam urusan pendidikan. Tiga tahun lulus S2, dia kemudian mencari beasiswa S3, dan tahun 2016 ia lulus di dua kampus; UNJ Jakarta dan UPI Bandung.

Setelah dipertimbangkan, akhirnya dia memilih melanjutkan pendidikan doktornya di UNJ.

Ihlas dinyatakan lulus setelah berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan tujuh dewan penguji bersama promotornya, Senin, 18 Mei 2020.

(sarwon al khan)