Suherman. (ist/lakeynews.com)


Oleh: Suherman *)

Badan Keahlian (BK) DPR RI telah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) lengkap dengan naskah akademik. RUU Pemilu ini merupakan penyatuan dari UU No. 7/2017 tentang Pemilu dan UU No. 10/2016 tentang Pilkada.

Kalau dibaca sepintas, dari 723 pasal yang ada dalam RUU tersebut, tidak ada perubahan pengaturan yang signifikan dari UU Pemilu maupun UU Pilkada. Baik pengaturan soal kelembagaan penyelenggara pemilu, sistem pemilu, metode konversi suara menjadi kursi, syarat kepesertaan hingga pada keterwakilan perempuan. Dan sebagainya.

Yang berbeda hanyalah pengaturan keserentakan pemilu dan jadwal penyelenggaraannya. Ada pemilu nasional dan pemilu lokal.

Pemilu nasional diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR dan Anggota DPD yang diselenggarakan pada tahun 2024, selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali.

Sementara pemilu lokal untuk memilih Anggota DPRD (Propinsi dan Kabupaten/Kota), Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota yang diselenggarakan pada tahun 2022, selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali sejak bulan tahun 2026.

Dari penataan jadwal penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal dalam RUU, maka secara langsung akan berdampak terhadap pengurangan masa jabatan anggota DPRD baik DPRD propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota hasil Pemilu 2019.

Hal yang sama juga terjadi pada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2023, akan ada pegurangan masa jabatan. Selain itu, pada saat yang sama jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir tahun 2021 diisi oleh penjabat kepala daerah.

Ditengah munculnya RUU, lalu bagaimana nasib Pilkada 2020?

Pertama, dari penataan jadwal dalam RUU tersebut, maka tidak ada jadwal pilkada pada tahun 2020. Artinya, Pilkada 2020 tidak akan dilaksanakan. Semua akan dilaksanakan pada tahun 2022. Termasuk bagi daerah yang ber-Pilkada tahun 2018 dan masa jabatannya berakhir 2023 itu juga akan dilangsungkan pada tahun 2022.

Penataan ini tentu akan jauh lebih efektif dan efisien dari aspek waktu dan biaya. Serta energi penyelenggara, peserta dan pemilih tidak banyak tersedot untuk berpemilu.

Kedua, hingga saat ini (akhir April) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) sebagai landasan hukum penundaan dan pelaksanaan pada Rabu, 9 Desember 2020 belum diterbitkan pemerintah.

PERPPU ini penting terutama bagi penyelenggara pemilu untuk memastikan penyusunan tahapan, program dan jadwal Pilkada yang telah ditunda dan yang akan dilaksanakan.

Ketiga, hingga saat ini (akhir april) pandemi covid-19 semakin menyebar diseluruh wilayah indonesia. Bahkan jumlah orang yang terpapar semakin bertambah.

Rasanya sulit, tidak nyaman dan akan sangat beresiko baik bagi penyelenggara, peserta dan pemilih untuk melaksanakan tahapan pilkada ditengah situasi darurat wabah.

Penulis berpandangan, kalaupun pemerintah memaksakan untuk tetap melaksanakan tahapan Pilkada ditengah pandemi Covid-19, maka akan berpotensi munculnya mal praktik pemilihan sebagaimana diungkap oleh beberapa ahli, pegiat, praktisi dan penyelenggara pemilu.

Secara sederhana mal praktik pemilihan bermakna kesalahan tindakan dalam pemilihan yang berakibat pada kurangnya integritas dan kualitas penyelenggaraan pemilihan. Kesalahan tindakan baik yang secara sengaja maupun tidak sengaja dapat dilakukan oleh penyelenggara, peserta dan pemilih.

Pertama, mal praktik pemilihan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. Modelnya dengan tidak melaksanakan tahapan secara profesional dan berintegritas disebabkan oleh ketakutan akan terserang wabah.

Misalnya dalam pelaksanaan tahapan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan dan pemutakhiran data pemilih. PPS berpotensi tidak melakukannya sesuai dengan prosedur dan mekanisme yaitu bertemu langsung dengan pemilih.

Meskipun nanti kalaupun pilkada jadi dilaksanakan tahun 2020, ada prosedur lain yang dilakukan seperti dengan menggunakan fasilitas video call ataupun lainnya. Namun tetap saja akan menimbulkan masalah dilapangan. Hal itu juga berpotensi terjadi pada pelaksanaan kampanye yang difasilitasi oleh KPU dan pelaksanaan tahapan pemungutan dan penghitungan suara.

Kedua, mal praktik pemilihan dilakukan oleh peserta pemilihan. Modelnya dengan melakukan praktik suap/membeli suara pemilih dengan memanfaatkan situasi ketidak berdayaan, kekurangan atau bahkan kelaparan pemilih akibat pandemi Covid-19.

Disamping itu bagi petahana yang mencalonkan diri atau tidak mencalonkan diri namun mendukung salah satu paslon berpotensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dengan memanfaatkan bantuan-bantuan sosial, anggaran dan kegiatan-kegitan sosial untuk korban pandemi Covid-19 seperti kegiatan membagi masker, APD dan sembako untuk kepentingan politik praktis. Tentu, ini membuat Pilkada menjadi tidak fair dan adil bagi peserta pemilihan lainnya.

Mal praktik, juga berpotensi terjadi pada tahapan kampanye, dimana peserta pemilihan tidak dapat melakukan aktifitas kampanye, menawarkan visi, misi dan programnya kepada pemilih secara tranparan, efektif dan efisien.

Ketiga, malpraktik pemilihan yang dilakukan oleh pemilih. Ditengah situasi pandemi Covid-19 dimana masyarakat susah mencari pekerjaan untuk nemenuhi kebutuhan hidupnya karena PHK, himbauan stay at home, melakukan sosial disntance dan sebagainya membuat pemilih menjadi pragmatis yaitu menjual suara kepada peserta pemilihan tertentu atau bahkan kepada semua peserta pemilihan yang ada.

Hal lainya pada tahapan kampanye, ada potensi dimana pemilih tidak dapat mengetahui dan menyerap visi, misi dan program peserta pilkada dengan baik. Termasuk pada tahapan pemungutan dan penghitungan suaranya, berpotensi mengurangi tingkat partisipasi mereka untuk datang ke TPS.

Berharap Pilkada dipertimbangkan untuk tidak dilaksanakan pada tahun 2020 ditengah pandemi Covid-19 dan ditunda hingga 2021 atau 2022 sebagaimana penjadwalan dalam RUU Pemilu. Tahun ini, saatnya seluruh elemen bangsa terutama pemerintah fokus untuk menangani wabah ini. Karena sejatinya kepentingan menyelamatkan manusia, jauh lebih penting dari sekedar ber-pilkada. (*)