Oleh: Imam Alfafan Yakub *)
PILKADA Dompu 2024 sebenarnnya diharapkan menjadi momentum baru lahirnya wajah demokrasi yang lebih sehat. Dengan harapan politik uang bisa ditiadakan, minimnya politik personalisasi dan atribut, mendominasinya politik gagasan, dan ruang percakapan diisi dengan perdebatan isu dan wacana berkualitas.
Namun, apa yang dikemudian terjadi, itu semua sebatas harapan tak berujung. Hari ini ruang percakapan politik kita hanya diisi dengan penggiringan isu secara membabi buta. Mulai dari munculnya istilah peti kosong, uang riba, penjudi, penjahat kelamin, perebut istri orang, “kela”, hingga yang terbaru adalah istilah SUKET (surat keterangan).
Gun Gun Heryanto (2018) dalam buku “Problematika Komunikasi Politik: Bingkai Politik Indonesia Kontemporer”, memahamkan kepada kita bahwa dalam konteks komunikasi politik, segala narasi tidak boleh dipisahkan dari makna. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa segala narasi yang digaungkan tidak pernah terlepas dari maksud tertentu. Narasi-narasi politik bukan sesuatu yang terlahir secara spontan dan tiba-tiba ada.
Bertolak dari pemahaman tersebut, maka pahamlah kita bahwa penggiringan isu di sosial media pada beberapa bulan terakhir ini adalah sesuatu yang didasarkan kepada adanya makna dan tujuan tertentu, yakni tiada lain adalah untuk menghina, mencaci, memuaskan hasrat menjatuhkan, dan membunuh karakter seseorang.
Dalam buku tersebut juga, Pak Gun sebenarnya sudah menasihati dengan mengatakan bahwa dalam konteks berdemokrasi, berdebat tentang hal-hal substansi adalah nyawa dari demokrasi itu sendiri. Sedangkan yang tidak diperbolehkan adalah agresifitas verbal.
Ketika agresifitas verbal justru mendominasi, maka bukan hanya menjadikan wajah demokrasi yang semakin buruk, namun justru menciptakan permusuhan dan konflik pribadi yang hanya menyisakan kebencian, sehingga bisa mengancam persatuan dan pluralitas yang terjaga selama ini.
Ada yang mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah lumrah dalam perpolitikan. Siapapun yang ikut bertarung, selama suatu tindakan yang dianggap sudah “dinormalisasi”, maka sah-sah saja untuk dilakukan. Karena muara dari suatu pertarungan politik adalah meraih kemenangan. Maka, menjadi tidak heran ketika sejak awal ada ambisi untuk menggaet semua parpol dan tindakan intervensi terhadap penyelenggara berkaitan dengan keabsahan dokumen persyaratan salah satu calon tidak terhindarkan. Tidak ada yang tidak mau menang!
Teringat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Machiavelli bahwa kekuasaan sebagai dunia yang penuh intrik, kekejian, dan ketololan. Ia mengatakan bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, seorang penguasa diperbolehkan berbohong, menipu, dan menindas.
Kata kuncinya adalah jika politik dianggap sebagai pertarungan untuk meraih kemenangan semata, maka dalam prosesnya akan selalu diisi dengan intrik dan melumrahkan segala tindakan.
Menyingkapi fenomena tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa pembiaran pertarungan isu dan wacana nir kualitas membabi buta dalam suasana Pilkada di daerah kita hari ini adalah hal yang terjadi secara alamiah. Adalah hal yang bersifat naturalistik dan logic. Ini semua berkaitan dengan tingkat kematangan berdemokrasi kita yang masih rendah.
Bagaimana mungkin ada ekspektasi bahwa suasana perpolitikan di daerah kita diisi dengan suasana yang damai, mengedepankan prinsip pluralitas, berdebat hal-hal esensial, politik gagasan yang epic, hingga Pemilu non money politics, ketika mayoritas dari kita adalah orang-orang yang belum siap akan segala hal dewasa tersebut.
Penulis menduga bahwa sebagian besar dari kita adalah masyarakat yang justru senang dengan adanya penggiringan isu di Sosmed. Senang ketika ada tragedi saling menjatuhkan, menghina, dan mencaci. Senang ketika melihat proses pembunuhan karakter seseorang. Senang menjadi pemberi dan penerima serangan fajar.
Tampaknya hari ini juga sebagian besar dari kita adalah masyarakat yang belum siap memilih seseorang karena isi otaknya. Kita masih berada pada tahap dimana alasan kita memilih seseorang karena isi dompetnya.
Sebagian dari kita juga adalah masyarakat dengan karakteristik senang pada hal-hal melankolistik. Lebih menyukai cerita-cerita drama emosional seseorang daripada gagasan intelektualnya.
Apakah ada yang resah melihat praktik dan kondisi demikian? Jawabanya ada, namun segelintir saja. Orang-orang tersebut adalah sebagian akademisi dan masyarakat dengan privelege intelektual cukup tinggi. Namun, semakin ke sini kita juga semakin sulit mendeteksi akademisi yang masih mampu mempertahankan prinsip idealnya dalam memilih. Karena mungkin sudah tersandera oleh kepentingan personalnya juga.
Bagaimana dengan pendidikan politik yang diinisiasi oleh penyelenggara maupun kelompok masyarakat? Kalau kita mau jujur, letak kekeliruan terletak kepada fakta bahwa kita mau berbicara tentang pendidikan politik hanya pada momen-momen pemilu seperti ini, padahal sebenarnya pendidikan politik sudah jauh-jauh hari harus dilakukan. Belum lagi kita berbicara tentang kesepakatan pemahaman kita yang berkaitan dengan output dan outcome dari pendidikan politik itu sendiri.
Pertanyaan mendasar yang kita lupakan adalah sebenarnya apa tujuan akhir dari pendidikan politik yang dilakukan? Apakah hanya mendorong masyarakat agar menjadi pemilih cerdas, yakni memilih seseorang dari aspek rasional tertentu? Ini perlu kita evaluasi!
Sebagai kesimpulan, penulis mengutip kata-kata menarik bahwa “kualitas pemimpin di suatu wilayah adalah cerminan dari masyarakatnya”. (*)
*) Penulis adalah Kandidat Doktor Kajian Islam Multikultural, Universitas Islam Malang.