Suherman aat menjadi narasumber pada Acara Konsolidasi Pengawasan yang diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Dompu, beberapa waktu lalu. (ist/lakeynews.com)

Oleh: Suherman *)

Kemungkinan Pemilu 2024 Kembali Ke Proporsional Tertutup.” Demikian judul berita media nasional yang disadur dari ucapan ketua KPU RI.

Ucapan itu didasarkan pada fakta bahwa sejumlah politisi mengajukan uji materi terhadap UU Nonor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka meminta MK untuk membatalkan pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Dimana agar sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup.

Sistem proporsional tertutup, pernah diterapkan pada pemilu 2004 dan sebelumnya.

Sistem ini sederhanya pemilih mencoblos partai politik. Kemudian yang berhak mendapat kursi atau terpilih menjadi anggota DPRD dari parpol tersebut adalah calon yang memiliki nomor urut kecil alias Nomor Urut 1.

Konsekwensinya adalah yang biasanya terpilih para pengurus atau elit parpol atau orang-orang yang dekat dengan parpol. Karena merekalah yang punya kuasa menentukan atau mendapatkan nomor urut kecil.

Lalu, ketika terpilih menjadi anggota parlemen. Akuntabilitasnya bukan pada rakyat, akan tetapi pada partai politik. Secara sederhananya cari mukanya kepada pengurus atau elit parpol, bukan kepada rakyat secara langsung. Tidak ada tanggung jawab elektoral kepada rakyatnya, melainkan pada parpolnya.

Dengan sistem proporsional tertutup ini, memang pelembagaan partai politik akan semakin baik dan kuat. Proses kaderisasi berjalan dengan baik, karena untuk menjadi pengurus atau elit partai minimal harus melalui proses panjang. Tujuannya agar bisa mendapatkan Nomor Urut1 saat pencalonan Pemilu.

Sementara itu, sistem proporsional terbuka pemilih dapat memilih partai politik dan calon. Siapa calon yang mendapatkan suara terbanyak itulah yang terpilih. Meskipun calon tersebut dengan nomor urut besar. Jadi, bukan berdasarkan nomor urut.

Dengan sistem ini, pelembagaan parpol menjadi rapuh. Kaderisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya karena meski bukan kader ditengah pragmatisme parpol, orang tiba-tiba dapat mencalonkan diri dengan membeli kuota kursi kepada pengurus atau elit Parpol.

Bahkan dengan pragmatisme untuk meraih kursi, pengurus dan elit parpol mencari sendiri orang-orang yang memiliki uang untuk dicalonkan.

Apa yang terjadi? Saat terpilih parpol kadang dilupakan, karena yang terpilih akan fokus menjaga elektabilitasnya langsung kepada rakyat. Cari mukanya langsung kepada rakyat. Kalaupun ada loyalitas kepada parpol, itu hanyalah loyalitas semu agar tidak di-PAW.

Salah satu alasan para pemohon judicial review adalah bahwa dengan sistem proporsional terbuka itu mengakibatkan maraknya politik uang.

Benarkah?

Alasan ini ambigu, sebab politik uang bisa saja terjadi dengan sistem apapun. Termasuk dengan sistem proporsional tertutup. Tidak ada jaminan bahwa politik uang itu tidak terjadi pada sistem proporsional tertutup.

Pada proporsional terbuka, politik uang terjadi saat pencalonan di parpol dan saat pemilihan oleh rakyat. Jadi, transaksi penyuapan ke parpol agar dicalonkan dan pada saat yang sama juga menyuap ke rakyat agar dipilih.

Hal demikian, juga terjadi pada sistem proporsional tertutup. Pada saat pencalonan, juga terbuka transassi penyuapan kepada pengurus atau elit parpol agar mendapat nomor urut satu dan pada saat yang sama parpolnya menyuap rakyat agar dipilih dan mendapatkan kursi.

Sistem proporsioanal terbuka adalag sistem Pemilu yang pernah dipraktekkan pada Pemilu 2004 dan sebelum-sebelumnya. Karena dianggap gagal dan banyak masalah. Maka, sistem ini diubah menjadi sistem peroporsional terbuka pada Pemilu 2009 dan setelahnya.

Kalaupun sistem proporsional terbuka yang dipraktekkan selama tiga kali pemilu dianggap gagal dan penuh masalah, harusnya jangan berpikir mundur-kembali kepada sistem proporsional tertutup yang sudah digunakan beberapa kali Pemilu. Itu pikiran yang tidak maju.

Maraknya praktek politik uang, sebenarnya buka pada sistem pemilu. Akan tetapi lebih pada prilaku pengurus dan elit serta kader parpolnya. Mereka harusnya memiliki mekanisme seleksi calon anggota DPRD yang ketat, bukan berdasarkan siapa yang dapat membayar.

Parpol idealnya secara konsisten melakukan pendidikan dan kaderisasi, menyiapkan kader-kader terbaik untuk menjadi calon di eksekutif dan legislatif secara selektif, punya kualitas dan integritas. Bukan pada soal siapa yang paling banyak isi tasnya.

Intinya, partai politik memiliki otoritas mutlak yang diberikan UU untuk menentukan siapa calon-calon pemimpin bangsa melalui pemilu. Kalau otoritas ini sudah tergadaikan dengan pragmatisme, maka apapun sistem pemilunya. Tidak akan memberi dampak apa-apa bagi perbaikan demokrasi.

Pada aspek penyelenggaraan, dengan sistem proporsional tertutup, memang secara tekhnis dan adminitratif lebih meringankan kerja-kerja penyelenggara pemilu dibanding dengan sistem proporsional terbuka. Kampanyenya lebih efektif dan efisien, proses pemungutan dan penghitungan serta rekapitulasi suaranya lebih cepat sehingga hasilnya juga cepat diketahui.

Di negara demokrasi, memang tidak ada sistem pemilu yang ideal. Semua bergantung pada kondisi dan situasi politik di suatu negara. Mengembalikan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka ke proporsional tertutup tidaklah haram.

Kalau sistem proporsional terbuka dan sistem proporsionalnya tertutup dianggap gagal. Tak mampu membuat konsolidasi demokrasi menjadi lebih baik. Maka, harusnya dicari altetnatif sistem lain.

Dalam teorinya ada banyak varisan sistem proporsional. Salah satunya sistem proporsional campuran dimana mengkombinasikan antara sistem proporsional terbuka dengan sistem proporsional tertutup.

Pemilih tetap dapat memilih partai politik, pada saat yang sama juga dapat memilih calon. Yang terpilih bisa dari nomor urut kecil yang ditentukan parpol, juga bisa dari calon yang memperoleh suara terbanyak. Tinggal diatur bagaimana implementasinya berdasarkan teori yang ada. Daripada harus kembali ke sistem proporsional tertutup. Itu langkah mundur!!

Berharap MK menolak gugatan tersebut, sebab MK lah dulu yang memutuskan sistem proporsional terbuka diterapkan. Semoga! (*)

*) Penulis adalah Anggota KPU Dompu Periode 2014-2019.