Rubrik KONSULTASI PSIKOLOGI ini diasuh oleh Bapak Firmansyah, S.Psi, M.MKes. Beliau adalah Konsultan Psikologi pada Lembaga Konsultasi dan Bimbingan Psikologi “Buah Hati”. Pertanyaan-pertanyaan dapat dikirim langsung ke PENGASUH melalui pesan WhatsApp ke 0853-3824-1252, CC EMAIL: redaksi.lakeynews@gmail.com.”
Pertanyaan
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh,
Bapak pengasuh Rubrik Psikologi yang terhormat. Sebagai masyarakat awam, lewat media ini saya ingin bertanya, mengapa banyak ASN yang bercerai? Apakah perceraian tersebut mengindikasikan rumah tangganya tidak bahagia?
Demikian, mudah-mudahan kami mendapat pencerahannya.
ALH, Desa Serakapi.
–
Jawaban Pengasuh
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,
Saudara ALH, dari informasi yang didapatkan menyebut angka perceraian setiap tahunnya tergolong tinggi. Hanya saja dari data tersebut besaran angka perceraian ASN, tidak dirinci secara detail berapa jumlahnya.
Bila menyoal lebih mendalam terkait masalah perceraian, sebenarnya perceraian tersebut tidak hanya terjadi pada mereka yang berprofesi sebagai ASN saja. Beragam profesi lainnya seperti masyarakat umum, profesional, guru, dosen, kontraktor, penulis buku atau pun penulis artikel, pengusaha, karyawan swasta, petani, peternak, pekerja pabrik, tukang ojek, dan profesi lainnya bisa saja mengalami perceraian.
Beberapa hal yang disenyalir menjadi pemicu terjadinya perceraian diantaranya; kurangnya keintiman, menikah terlalu muda, kurang komunikasi, terlalu sering bertengkar, kurang berkomitmen, perselingkuhan, kecanduan hal negatif, KDRT, dan adanya perbedaan prinsip.
Idealnya tidak ada satu pun individu yang sudah menikah ingin bercerai dari pasangannya. Sebagai pasutri rata-rata mereka menginginkan rumah tangganya bisa berlangsung langgeng, bahagia dan harmonis dan jauh dari perceraian.
Bila merunut dampak yang timbul dari perceraian seperti keberlanjutan pengasuhan anak, ibu atau ayah ketika terjadi perceraian tidak lagi terlibat bersama untuk mengasuh buah hatinya, hubungan silaturahim kedua pasutri dan keluarga besarnya terpecah, streotype negatif dari masyarakat ketika menyandang status sebagai duda atau pun janda.
Lainnya ketika akan menikah kembali, untuk penyesuaian diri dengan pasangan yang baru harus memulainya dari nol. Banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari perceraian sebisa mungkin kedua belah pihak agar berpikir panjang dan jernih, tidak terburu-buru memutuskan bercerai.
Berikutnya masing-masing pasutri sebelum keputusan bercerai diambil dapat merenungkan kembali berbagai hal penting secara seksama sehingga keduanya benar-benar terbuka pikirannya, tidak mengalami kebuntuan dalam membina rumah tangga yang langgeng, harmonis dan membahagiakan.
Menghadirkan rumah tangga yang langgeng, bahagia dan harmonis sebagaimana yang diharapkan oleh masing-masing pasutri, bukanlah perkara yang mudah, tidak semudah membolak balikan kedua telapak tangan, namun keharmonisan rumah tangga membutuhkan ichtiar, pengorbanan, doa dan komitmen yang kuat dari Pasutri.
Badai dan gelombang besar juga akan datang silih berganti menerpa, menerjang, menghadang bahkan menghempaskan pasutri di rumah tangganya menjadi hal yang perlu dipahami dengan baik dan benar.
Badai dan gelombang tersebut menjadi bagian dari ujian dan cobaan yang harus diselesaikan dengan bijak. Ditengah ujian dan cobaan tersebut kedua pasutri dalam rumah tangga sedang diuji kesetiaan, ketulusan dan keikhlasannya.
Bila pasutri saat diterpa ujian dan cobaan, keduanya bisa saling dewasa dalam menyikapi berbagai persoalan di rumah tangganya, bagaimana pun tinggi dan besarnya ujian dan cobaan tersebut, ujian dan cobaan yang terjadi akan dapat dilewati dengan baik.
Kedewasaan dan kecerdasan berpikir dari masing-masing pasutri dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi bukanlah perkara yang mustahil bila rumah tangga yang dibangunnya dapat berjalan langgeng, harmonis dan bahagia.
Kedewasaan dan kecerdasan berpikirnya membuat keduanya memiliki prinsip untuk menyelamatkan rumah tangga dari perceraian.
Ketika ujian dan cobaan datang, banyak pasutri yang merasa tidak sanggup untuk menerima banyak beban dari ujian dan cobaan yang terjadi, kemudian membuat keduanya memilih untuk bercerai sebagai langkah akhir untuk menyelesaikan persoalan pelik yang mereka hadapi.
Di saat ada ujian dan cobaan datang menerpa rumah tangga seharusnya pasutri dalam keadaan seperti ini keduanya saling mendukung dan menguatkan, bukan sebaliknya saling menyalahkan atau pun melemahkan.
Bagaimana pun besarnya ujian dan cobaan yang ada, hendaknya dapat diatasi dan dilewati secara bersama kemudian mendorong keduanya mampu menyelamatkan rumah tangganya dari jurang perceraian.
Untuk mewujudkan kebahagiaan, keharmomisan dan kelanggengan dalam berumah tangga disarankan ketika seseorang memutuskan akan menikah sebaiknya yang bersangkutan sedang berada di usia yang tepat.
Sehat fisik dan mentalnya, memiliki skill dan pengetahuan yang cukup, kemudian memiliki kesiapan untuk memikul tanggungjawab yang besar ketika akan menyandang predikat sebagai suami ataupun istri dengan segala konsekuensinya.
Lainnya lagi sebelum pernikahan benar-benar dilakukan hendaknya dapat dipastikan komitmen dari masing-masing calon pasutri harus kuat adanya.
Dengan komitmen yang kuat tadi kedua belah pihak dalam berbagai situasi, kedua belah pihak tidak mudah berubah dan terus berupaya sepenuh hati dan sekuat tenaganya untuk dapat membangun keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah.
Demikian, mudah-mudahan tercerahkan,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.