Penulis, Imam SY. (ist/lakeynews.com)

Oleh: Imam SY *)

Ditengah wabah Covid-19 yang mengancam keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Hampir semua orang dengan terpaksa, mau tidak mau harus menjalankan segala rutinitas berkehidupannya cukup dari rumah.

Sangat membosankan sih ya, terutama untuk orang-orang yang terbiasa berkawan dengan terik matahari dan angin sore hari: anak-anak milenial. Tapi semua ini terpaksa harus kita lakukan untuk memutus mata rantai penyebaran covid 19. Semuanya harus fleksibel termaksud dunia pendidikan. Ya betul, sekolah dari rumah saja.

Semenjak pandemic Covid-19 ini, saya terbiasa menyaksikan keponakan-keponakan saya melakukan kegiatan sekolah mereka menggunakan smartphone. Mulai dari menerima materi pelajaran, tugas-tugas menghafal suatu materi atau observasi lingkungan sekitar yang kemudian dipresentasikan via online.

Sebagai seseorang yang sedikit mengerti tentang dunia pendidikkan. Sedikit loh ya! Saya merasa, proses pembelajaran seperti ini tentunya belum mampu memenuhi tujuan pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas 2003. Dimana, pendidikan bertujuan untuk “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadikan warga negara yang Demokratis serta bertanggung jawab”. Tapi, ya mau gimana lagi, dalam keadaan krisis pandemi seperti sekarang ini, masih bisa belajar sudah menjadi suatu kesukuran.

Sebagai seorang paman yang memiliki rasa tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pendidikan keponakan-keponakan saya. Saya juga nggak bisa diam saja, melihat waktu keponakan-keponakan saya dikuasai oleh screen time. Bahkan, setelah sekolah online, bermain pun menggunakan smartphone.

Parah! Padahal di umur seperti ini, mereka seharusnya mengekspose sebanyak mungkin hands on experience, yakni penglaman konkret bekerja dengan seluruh panca indra mereka, dengan manusia bahkan dengan seluruh alam, dalam segala kompleksitas kehidupannya.

Berbekal sedikit ilmu pendidikan yang saya miliki, sekali lagi sedikit, Saya pun berinisiatif merancang sebuah metode pembelajaran yang mampu menjawab kebutuhan pendidikan bagi keponakan-keponakan saya. Saya mengajak serta kakak saya sekaligus ibu dari keponakan-keponakan saya yang berprofesi sebagai guru Fisika, dengan sedikit ancaman tentunya.

Konsepnya adalah pendidikan bahagia. Strategi pengajarannya bersifat konkret dan praktis, non teoritis. Artinya tidak ada materi-materi yang sifatnya rote memorization; semacam hafalan dan cara yang tidak bijaksana push parenting atau push teaching.

Tujuannya, pertama, mengembangkan keponakan-keponakan saya menjadi menjadi manusia yang mampu hidup bahagia. Kedua, memiliki kreativitas dan imajinatif. Ketiga, memiliki kecerdasan dan keempat, memiliki karakter atau moralitas yang luhur. Sumber ajarnya menggunakan teori karakternya Goleman dan teori karakter psikologi positif.

Akhirnya, aktualisasi dari metode pembelajaran bahagia yang tidak jelas di atas, yaitu: saya mengajak keponakan saya memancing ikan di sungai dekat rumah kami.

Sudah hampir tiga jam kami duduk, bukannya ikan malah sampah lalu lalang bergantian nyangkut di kail kami. Akhirnya keponakan saya bertanya, “Ikannya kemana om?”. Inilah moment yang akan membangun entitas baru dalam dunia bawah sadarnya.

Saya menjawab dengan menatap wajah mereka, “Ikan-ikannya pada mati karena tidak lagi punya sumber makanan. Micro organisme sumber makanan bagi ikan hilang karena ulah manusia seperti membuang sampah sembarangan, membuang limbah pabrik di kali dan juga limbah-limbah rumahan lainnya.

Semua orang harus bekerja sama mencegah agar tidak lagi merusak ekosistem bagi para ikan. Kerja sama ini harus diawali dengan komunikasi atau silaturahmi dan juga sifat tenggang rasa.

Oleh karena itu, dalam tujuan membangun kebersamaan ini kalian harus partuh terhadap perkataan orang tua dan suka menolong orang lain. Sehingga, akan terwujud sebuah budaya yang menjadi asas bagi Negara ini yaitu budaya gotong royong.

Pelajaran hari itupun selesai dengan anggukan kepala dan tatapan optimis menatap masa depan dari keponakan-keponakan saya. Sedangkan di rumah, ibu mereka mengajarkan mereka membuat “binka dolu” yang kemudian mereka bagikan ke masjid dan rumah-rumah tetangga.

Tulisan ini merupakan upaya saya untuk mengajak semua orang ditengah krisis pandemi ini agar ikut berkontribusi di dalam wilayah apapun, baik kesehatan, sosial termaksud pendidikan. Pendidikan berbasis online, saya yakin tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak kita.

Kita perlu ikut serta berupaya semaksimal mungkin untuk ikut membantu sekolah memenuhi kebutuhan pendidikan untuk anak-anak kita.

Inilah kesempatan terbaik bagi orang tua untuk berkontribusi mengisi setiap sel-sel emosional, spiritual secara langsung kepada anak. Mulai dari hal terkecil seperti mengajari anak cara berterima kasih. Pengalaman belajar langsung seperti ini apalagi dari orang tua anak, akan lebih berkesan dari pada belajar berterima kasih dari buku-buku di sekolah.

Akhir kata, mengutip ungkapan E.F Schumacher dalam buku klasiknya Small is Beautiful, “pendidikan kita hendaknya tidak hanya menekankan pada know how, justru harus mengembangkan aspek know why-nya, makna (meaning) dari kemampuan dan keterampilan itu dalam mencapai kebahagiaan hidup. Karena tujuan utama pendidikan adalah kebahagiaan bukan kecerdasan.” (*)

*) Penulis adalah mantan Ketua Gerakan Mahasiswa Dompu (GMD) Mataram 2014-2016. Alumni FKIP Unram, 2019.