Oleh: Alan Malingi *)

MASYARAKAT Bima memberikan label “Dou Woro” untuk arwah sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Entah kapan istilah ini ada, tetapi “Dou Woro” terus hidup dalam memori kolektif masyarakat. Seiring dengan peningkatan pemahaman terhadap ajaran Islam, istilah atau label “Dou Woro” sudah mulai pudar. Namun di beberapa desa dan tempat, label ini masih ada.

Pada masa lalu, membakar lampu dari biji jarak yang dikenal dengan “Ilo Peta” seperti ini sudah mentradisi di kalangan masyarakat Bima, terutama tiga hari menjelang Idul Fitri.

Nenek saya menceritakan bahwa tujuh hari menjelang Idul Fitri, para “Dou Woro” mendatangi dunia. Empat hari berkunjung ke Asi Mbojo dan tiga hari ke rumah para sanak keluarganya untuk bersilaturrahim. Karena itulah, maka dinyalakanlah “Ilo Peta” untuk menyambut mereka.

Tradisi Ka’a Ilo atau membakar lampu dari buah pohon Mantau dan biji jarak menjelang Idul Fitri ini adalah nostalgia masa silam bagi saya dan mungkin juga teman-teman yang sezaman. Ka’a Ilo biasa dilakukan setelah selesai Maghrib hingga waktu Isya dan mencapai puncaknya pada H – 1 Idul Fitri.

Kini tradisi Ka’a Ilo menyambut “Dou Woro” sudah jarang sekali ditemukan. Hal itu mungkin disebabkan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap ajaran Agama Islam dan mungkin juga karena modernisasi kehidupan. Tetapi yang jelas, masyarakat Bima saat ini sangat kritis terhadap hal-hal yang bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.

Berkembang pula versi lain dari maksud Ka’a Ilo atau menyalakan lampu itu adalah untuk menyambut kedatangan malaikat melepas kepergian bulan suci Ramadhan dan kedatangan Lailatul Qadar. Apalagi pada masa lalu tidak ada sarana listrik, maka Ilo Peta menjadi penerang kampung, menyambut kedatangan para malaikat.

Ilo Peta adalah khasanah Ramadhan di tanah Bima tercinta. Selamat Idul Fitri 1440 Hijriah. Takabbalallahu Minna Waminkum. Takabbal Ya Karim. (*)

*) Penulis adalah budayawan dan sejarawan muda Bima.