Oleh: Arifudin )*

 

Komisi Pemilihan Umum tingkat daerah kembali mencatatkan “catur succes” elektoral, dalam gelombang kedua Pilkada serentak 2017 kemarin. Dari 101 daerah, provinsi, kabupaten dan kota, setidak-tidaknya telah terdapat Pasangan Calon (Paslon) yang tinggal selangkah lagi akan menuju singgasana kekuasaan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih.

Penulis, Arifudin. (ist/lakeynews.com)

Ibarat lomba lari, ini belum sampai di garis finish. Atau, ibarat pertandingan sepak bola, para kompetitor belumlah memasuki tahap final. Beberapa Paslon yang kalah, dipastikan akan habis-habisan berjuang lagi di Mahkamah Konstitusi, guna menggugurkan pesaing terberatnya karena telah mendulang suara mayoritas di tahap pemungutan suara.

 

Kecurangan Pilkada

Berkaca pada Pilkada sebelumnya, khususnya Pilkada 2015, beberapa (dugaan) kecurangan yang sering menganulir hasil rekapitulasi KPU tingkat daerah selalu saja dilakukan, baik oleh penyelenggara maupun peserta pemilihan (Paslon).

Jika kecurangan itu dilakukan oleh penyelenggara, biasanya dalam bentuk penggelembungan suara, dengan cara menyoblos surat suara untuk pemilih yang tidak datang memilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dan, jika kecurangan itu dilakukan oleh Paslon, kerap dilakukan dalam bentuk mempengaruhi pemilih, dengan jalan “jual beli suara (vote buying).”

Ada juga bentuk kecurangan lainnya, yang bisa saja melibatkan Paslon maupun penyelenggara. Contoh, terdapatnya pemilih ganda gara-gara pencatatan administrasi kependudukan yang masih amburadul.

Disadari atau tidak, beberapa pelanggaran memang telah ditekan seketat-ketatnya agar semua diselesaikan di masa tahapan, agar MK jangan lagi menjadi “keranjang sampah” dari berbagai kecurangan pra Pilkada. Sayangnya, pelanggaran yang tidak sempat terungkap di fase itu dan pelanggaran yang terjadi pada hari “H” pemilihan, mau tidak mau hakim MK harus menelaah kembali segala bentuk pelanggaran tersebut, jikalau berdampak “signifikan” dengan hasil pemilihan.

Dalam titik inilah kemudian dapat diprediksi, perselisahan hasil Pilkada akan diterima, selanjutnya diadili dan diputus oleh MK. Soal dapat atau tidaknya diterima perselisihan demikian, untuk masuk dalam pokok perkara, tentunya harus mengikuti syarat ambang batas persentase hasil suara pemilihan. Sedangkan permohonan hanya dapat dikabulkan jika dalam pokok perkara dikuatkan dengan dalil kecurangan Pilkada yang dapat meyakinkan para hakim MK, bahwa benar adanya telah terjadi kecurangan yang dapat berpengaruh dengan hasil pemilihan.

Dan lebih rumitnya lagi, kalau saja kecurangan yang hendak dibuktikan adalah jual beli suara yang dilakukan oleh Paslon pendulang suara mayoritas. Sebab, itu harus jelas siapa dan dari mana pemberinya, lalu diteruskan ke siapa hingga sampai di tangan pemilih. Betapa tidak, terpenuhinya jual beli suara secara terstruktur, sistematis, dan massif, butuh kerja keras ekstra bagi pemohon untuk mengumpulkan seluruh alat bukti tersebut, di saat masa pengajuan permohonan dibatasi oleh waktu tiga hari kerja pascapengumuman hasil rekapitulasi KPU tingkat daerah.

Itulah sebabnya peluang teramat kecil kalau praktik jual beli suara atau politik uang (money politics) dapat dikabulkan oleh MK, sehingga berdampak pada gugurnya Paslon pendulang suara mayoritas. Hanya pada praktik “penggelembungan suara” yang dilakukan oleh penyelenggara, lazim dikabulkan oleh MK, entah dengan langsung menyatakan kalau pemohon yang berhak ditetapkan sebagai Paslon terpilih, ataukah masih perlu dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di beberapa TPS yang berhasil dibuktikan, kalau memang pada kenyataannya telah terjadi penggelembungan suara.

Money Politics

Khusus Pemungutan Suara Ulang yang menjadi amar putusan MK, bagi KPU tingkat daerah kemudian akan menyelenggarakan pemilihan hanya di beberapa titik daerah pemilihan yang berhasil dibuktikan sebelumnya bahwa telah terjadi penggelembungan suara. Jadi, bukan seluruh TPS harus diadakan pemungutan suara lagi, hanya pada beberapa TPS.

Di sinilah yang perlu menjadi perhatian. Setiap diadakan Pemungutan Suara Ulang atas perintah yang didasarkan Putusan MK, dua paslon selalu bersaing secara tidak sehat.

Pada titik-titik pemilihan, di mana akan diadakan pemungutan suara ulang, justru paktik money politics makin jor-joran. Dari pengakuan seorang teman saya yang pernah terlibat dalam  pemantauan Pilkada, harga satu suara bisa saja mencapai kisaran Rp. 1 juta hingga Rp. 2 juta.

Kejadian demikian, tentu tidak mengagetkan, di saat suara makin sedikit yang diperebutkan, maka penawarannya pasti akan mahal. Siapa yang bisa membayar lebih mahal, pemilih akan berpaling kepadanya.

Sangat ironis! Di saat UU Pemilihan sengaja dihadirkan pada pemilihan yang harus memenuhi hajat keadilan elektoral, tetapi sebaliknya yang terjadi, UU Pemilihan hanya dapat menjerat dan mendiskualifikasi Paslon yang melakukan jual beli suara di tahap pra-Pilkada, sementara di pasca-Pilkada ketika dilakukan Pemungutan Suara Ulang, satupun ketentuan tidak ada yang dapat menjerat para pelakunya.

Dan ketika MK diharapkan menjadi mahkamah kedaulatan rakyat, nyatanya praktik money politics yang terjadi di masa Pemungutan Suara Ulang, malah dibiarkan terjadi begitu saja. Entahlah! Apakah MK diburu dengan waktu persidangan (hanya 45 hari), sehingga pelanggaran yang telah merusak keadilan elektoral tidak dipertimbangkannya? Ataukah memang dari peserta Pilkada yang tidak mau taat aturan, sehingga menang hanya dapat direngkuh dengan mengandalkan uang semata?

Ke depannya, sudah harus dibentuk Undang-undang yang tidak hanya mendiskualifikasi Paslon Kepala Daerah manakala terbukti dalam money politics pra-Pilkada, tetapi di pascapemilihan, saat diadakan Pemungutan Suara Ulang, andaikata ada Paslon yang terbukti melakukan money politics, Bawaslu harus diberikan lagi kewenangan untuk mendiskualifikasi Paslon tersebut.

Mutatis/Mutandis, Paslon yang terdiskualifikasi karena terbukti dalam tindak pidana money politics Pilkada, tentu berimplikasi pada satu Paslon yang tersisa. Maka, Paslon yang tersisa itulah yang harus ditetapkan oleh KPU tingkat daerah sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih. Artinya, MK tidak perlu lagi menindaklanjuti. (*)

)* Penulis adalah Mahasiswa PPKN Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT)