(Pendekatan Good Governance)
Oleh: Satria Madisa )*
Begitu mendengar “frasa” Bima Religius, Aman, Makmur dan Handal (RAMAH) maka pendapat, pengamatan dan pikiran kita akan diarahkan pada dua sosok yang sangat berpengaruh dan berkuasa. Mereka adalah Indah Dhamayanti Putri dan Dahlan (Bupati dan Wakil Bupati Periode 2015-2020).
Bima Ramah itu sering ku dengar dari diskusi anak muda mulai terpilihnya IDP-Dahlan sampai sekarang. Entah itu di sosial nyata maupun sosial media. Belakangan ini tensi pembicaraan bahkan perdebatan tentang Bima Ramah mendapatkan panggung yang luas, terlebih khusus anak muda Bima yang merantau untuk menempuh pendidikan di daerah orang. Itu semua karena pengabdian dan juga keharusan “diskursus” untuk anak muda itu sendiri. Bima Ramah merupakan visi yang mengantarkan IDP-Dahlan dalam merebut mandat masyarakat.
IDP-Dahlan nampaknya sangat memahami “medan” yang bernama Bima yang seksi disebut “Dana Mbari” mungkin. Atas dasar itu, mereka merumuskan visi yang diharapkan sebagai “kilas balik” dalam memimpin Bima. Kilas balik dari Bima yang tidak religius, aman, makmur, dan handal. Tentu untuk Bima Ramah sebagaimana cerita-cerita dari orang tua dimasa kecil dengan mendialogkan sejarahnya. Bima kita cukup familiar dengan konstruksi filosofi masyarakat yang memang dilahirkan dan tumbuh bersama keyakinan kolektif saat itu. Sebut saja “MAJA LABO DAHU”, “NGGAHI RAWI PAHU”, “TOHO RA NDAI SURA DOU LABO DANA” dan semacamnya.
Pembahasan tentang Bima Ramah selalu mendapatkan ruang ekspresi di mata publik. Maka, tidak heran Bima Ramah semacam ”realita dialogis” bersama laboratorium masyarakat Bima. Bima Ramah hidup dalam nurani publik sebagai pengakuan moral publik terhadap kepemimpinan IDP-Dahlan. Karena pengakuan moral tersebutlah, Bima Ramah laris diperdagangkan dan dijadikan rujukan masyarakat Bima dalam mengawal pemerintah daerah.
Publik bisa menilai secara persuasif Bima Ramah sama dengan realitas kemasyarakatan di Kabupaten Bima. Realitas sosial semacam Bupati dan Wabup melakukan aksi cepat dalam penanganan bencana banjir maka publik diarahkan untuk berpikir “Bupati dan Wabup Ramah”. Begitupun dengan aksi premanisme di lingkup Pemda, bobroknya integritas pejabat Pemda, melebarnya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) di lingkup Pemda, runtuhnya keadaban masyarakat Bima, dan yang terseksi “Mayat pulang ojek” dikarenakan “miskin” merupakan issue hangat “bobroknya” koordinasi dan sistem yang dibangun pemerintah daerah dan pihak terkait publik diarahkan untuk berpikir “Bima tidak lagi Ramah”. Dan, begitulah benturan teks dan konteks “Bima Ramah”.
Menurut penulis, itu imbas dari pengakuan, kecintaan, masyarakat Bima terhadap pemimpinnya. Ini artinya Bima Ramah dengan semua kompleksitasnya, bukan hanya dipertentangkan dalam real action-nya tapi juga diskursus publik. Lantas apakah yang disebut Bima Ramah?
Tentu yang memahami secara utuh hanyalah IDP-Dahlan. Mengingat belum ada standar baku tentang Bima Ramah. Entahlah publik bisa menilai dengan ukuran dan sudut pandang masing-masing. Penulis melihat bahwa Bima Ramah adalah diskursus dalam membangun dan mengembangkan Bima. Diskursus tentang Bima yang religius, aman, makmur dan handal. Diskursus ini kemudian ditarik benang merahnya dalam membangun Bima baik dalam infrastruktur maupun suprastruktur. Jadilah diskursus itu sebagai spirit nilai yang nantinya diuji oleh publik baik lewat Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Menengah maupun Panjang, serta kemudian kembali berdialog pada realita alokasi pembangunan lewat regulasi maupun kebijakan pemerintah daerah.
Sistem pemerintahan yang baik (good governance) merupakan tujuan ideal bagi pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai “pelayan dan pengayom” masyarakat sebagai imbas dari reformasi. Kerja pemerintahan berdasarkan tugas dan perannya dengan baik sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan masyarakat. Begitupun dengan pemerintah daerah sesuai konstruksi filosofis, sosiologis dan yuridis dari otonomi daerah. Realitas Otonomi Daerah (Otda) yang diharapkan sebagai “model alternatif” kebuntuan pembangunan daerah karena sentralisasi pembangunan juga absrurd dalam ruang aplikatif. Meminjam ungkapan Prof Rocki Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia “Biaya renovasi pintu WC Bupati lebih banyak daripada biaya untuk meretas kesenjangan sosial di daerah”. Terkonfirmasi postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih banyak untuk biaya kepegawaian daerah. Semoga saja APBD Kabupaten Bima Ramah tidaklah demikian.
Sebagai legitimasi konstitusional berdasarkan kekhasan daerah. Indikator sistem pemerintahan yang baik diantaranya; Partisipasi publik, Transparansi, Penegakan Hukum (rule of law), Responsif, Berorientasi pada kesepakatan, Keadilan, Efektivitas dan Efisiensi, Akuntabilitas, serta Visi Strategis.
Dua Tahun IDP-Dahlan, bagaimanakah dengan Bima Ramah ditinjau dari sudut pandang Good Governance dan Profesionalisme Birokrasi? Apakah Bima Ramah itu responsif? Bagaimanakah penegakan hukumnya, Transparansinya, serta Visi strategisnya? Dan bagaiamanakah profesionalisme birokrasinya? Kita memiliki jawaban dan tentu sebagai masyarakat bima punya indikator dalam menentukan penilaian.
Pembangunan
Pembangunan sangat penting bagi keberlangsungan sebuah daerah. Apalagi ditengah semangat ontonomi daerah. Pembangunan baik infrastruktur maupun suprastruktur akan menjadi identitas daerah. Karena identitas maka kita uji bersama, sudah majukah Bima dalam kepemimpinan IDP-Dahlan?
Kabupaten Bima masuk kategori daerah terbelakang di NTB. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya terbelakang dan sampai sekarang belum ada terobosan (visi strategis) dari Pemda untuk mendobrak keterbelakangan tersebut. Ditengah keterbelakangan pembangunan manusia tersebut, langkah terobosan sangat diharapkan. Karena kemakmuran dan kehandalan visi tersebut harus mendapatkan legitimasi. Keterbelakangan itu juga yang mengharuskan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) bukan hanya tidak terarah tapi juga “membunuh rasa keadilan masyarakat”.
Disisi lain keterbelakangan itu pula yang memberi legitimasi moral “representasi kaum intelektual” tidak mendapatkan panggung. Praktisnya para “bandit” yang mengisinya. Dan publik disodorkan “kegilaan rasional” bahwa pembangunan tidak ramah untuk masyarakat dalam tanda kutip. Dalam hal pembangunan infrastruktur seperti akses jalan yang diaspal masih banyak yang belum disentuh, belum lagi potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang belum dioptimalkan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sektor Kelautan dan Pertanian berbasis regulasi yang tepat.
Dua tahun IDP-Dahlan sudah adakah Peraturan Daearah (Perda) sebagai payung hukum peningkatan pendapatan masyarakat yang juga tidak menciderai lingkungan. Misalnya, dalam hal pertanian. Banjir yang kita rasakan akhir-akhir ini dan berpotensi kembali dirasakan adalah dampak daripada pembukaan lahan oleh petani yang disinyalir tidak didukung Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukum yang kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.
Penegakan Hukum
Penegakan Hukum (law envoircement) sangatlah integral bagi pembangunan Daerah dan tentunya sebagai indikator sistem pemerintahan yang baik. Bagaimana dengan ”Bima Ramah” dalam konteks penegakan hukum. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa penegakan hukum adalah ranah Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Tapi seyogyianya Pemerintah Daerah harus mendukung low envoircemen dilingku kekuasaanya. Sebagai bentuk komitmen rill daerah yang bersih dari semua bentuk pelanggaran hukum. Apa lagi kalau dalam konteks pelanggaran hukum seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) itu tidak bisa dilakukan oleh masyarakat umum.
Bima Ramah dalam dua tahun IDP-Dahlan seolah-olah KKN menjadi realitas objektif Daerah. Korupsi Pengadaan Bibit Bawang merah, Kedelai, Fiberglass sampai sekarang menjadi “lelucon masyarakat” tanpa progress penyelesaian. Kerugian daerah ada, pembuat dan penikmatnya entah siapa? Dan anehnya Tersangka devinitif tertentu mendapatkan posisi strategis dilingkup Pemerintah Daerah. Tersangka (bandit) mendapatkan posisi istimewah dan ini menurut saya bukti kongkrit IDP-Dahlan tidak punya komitmen yang jelas dalam hal penegakan hukum.
Visi Strategis
Visi strategis sangat penting bagi konsepsi pembangunan daerah dan keberlanjutan daearah. Disini Pemerintah Daerah harus memahami “medan” yang dipimpin dengan semua potensi dan hambatannya. Visi strategis merupakan fitur masa depan yang diwujudkan dengan langkah kecil dengan rekayasa-rekayasa tekhnis yang berkelanjutan. Sebagai peta agar konsepsi maupun program tidak kehilangan arah. Dalam hal ini IDP-Dahlan menurut saya kesulitan merumuskan visi strategis dalam hal pembangunan daerah. Sebagai skala prioritas dan medium untuk mendongkrak pendapatan daerah sekaligus membumikan optimism masyarakat bima. Dua tahun IDP-Dahlan bukan hanya gagal membangun bima, tapi juga turut mengacaukan pondasi sosial kemasyarakatan. Bima seolah-olah tanpa kepemimpinan, panutan, dan arah. Dalam hal kebudayaan juga menyisahkan “peradaban teks” Jene teke sebagai simbol kebudayaan dalam ruang praktis tidak berefek menjaga dan merawat kebudayaan bima. Kecuali sebagai medium melanggengkan tradisi dinasti politik. Bima ramah bukan hanya absurd dalam konteks pembangunan manusia, infrastruktur tapi juga pembangunan kebudayaan. Lantas siapakah yang bertanggung jawab?
Testimoni
Faktor kepemimpinan, visi strategis, pengetahuan akan medan secara komprehensif dan komitmen merupakan hal yang terintegrasi dalam menjalankan tugas konstitusional, dan tugas moral sebagai pemerintah daerah. Dua tahun IDP-Dahlan (BIMA RAMAH) seyogianya harus dilakukan evaluasi menyeluruh. Internalisasi Visi Ramah harus dimulai dari cara pikir dan cara kerja pemerintah daerah yang dimulai dari Kantor Bupati sampai Kantor Kepala Desa. Langkah evaluasi menyeluruh itu penting dalam hal memberikan contoh yang baik pada masyarakat. Sehingga tidak ada lagi premanisme di lingkup Pemda. Pejabatnya ramah-ramah dan tentu tidak marah-marah.
IDP-Dahlan harus memimpin gerakan struktural maupun kultural dalam menyelesaikan problema kedaerahan sekaligus menegaskan eksistensi bahwa benar adanya Bima Religius, Makmur, Aman dan Handal. Bukan malah sebaliknya.
Pembenahan struktural juga sangat penting, bahwa legitimasi sumber daya yang mempuni perlu mendapatkan tempat yang layak. Sebagai bentuk keberpihakan pada masa depan daerah. Bima negeri yang kaya, baik dalam hal sumber daya alam dan juga kebudayaan. Dan tentu keberadaan SDM yang berkualitas akan mendorong pengembangan dan pemanfaatan potensi tersebut untuk Bima Ramah. Dan tentu kami generasi muda Bima menaruh harapan besar kepada pihak Pemda bahwa komitmen Bima Ramah dengan semua kompleksitasnya akan bisa dibuktikan dengan tiga tahun tersisa. Akhir kata SEMOGA BIMA akan RAMAH. (*)
)* Penulis adalah Koordinator Sekolah Literasi Kota Mataram.