Oleh: Yasser Arafat, SH., MH *)

Yasser Arafat, SH, MH. (ist/lakeynews.com)

Sosok ulama kharismatik H. Ahmad Adam begitu dikenal luas oleh masyarakat karena kedalaman ilmu pengetahuan agamanya. Saat iyu, di usia masih muda, sekitar 18 tahun, beliau pergi menimba ilmu di tanah suci Mekkah Al Mukaramah dan menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji.

Orang tuanya, Adam Hatta atau biasa dipanggil Ama Nae. Beliau dikenal sebagai tokoh panutan dan guru yang kaya dengan petuah-petuah mistis dan filosofi membuat orang banyak datang berguru kepadanya, sehingga namanya begitu tersohor di kalangan masyarakat.

Ama Nae memegang jabatan strategis pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang sebagai kepala wilayah yang bertugas melaporkan situasi politik yang berkembang di wilayah kekuasaannya. Karena kepintaran dan kecerdikannya, jabatan ini dimanfaatkan untuk melindungi rakyatnya dengan menyuruh rakyatnya bersembunyi ketika Jepang datang dan mengamankan harta kekayaan di tempat jauh. Beliau juga memerintahkan para gadis agar tidak berhias (mempercantik) diri tapi cukup mengunyah sirih dan pinang supaya kelihatan tak terawat.

Ama Nae merupakan sosok pemimpin tegar dalam melawan penjajahan Jepang. Karena sikap melindungi rakyatnya, terkadang beliau menerima hukuman cambuk dan dianggap pengkhianat. Penderitaan dirasakan oleh rakyatnya ketika kerja paksa (Romusha/rodi) membuat beliau banyak membuat siasat kepada Jepang. Diantaranya, membuat laporan palsu agar masyarakat yang sakit bisa selamat dari siksa kerja paksa.

Desa Punti, Kecamatan Soromandi (dulu masih satu dengan Kecamatan Donggo) meninggalkan jejak sejarah penyiksaan dan penderitaan panjang bagi rakyat. Air mata dan keringat bertumpah ruah dalam diam menyimpan sedih. Sebut saja Karombo Noti sebanyak lima buah dan Karombo Pelabuhan merupakan hasil karya tangan dan keringat rakyat pada masa kerja paksa Romusha.

Karombo Noti merupakan saksi bisu ketidakberdayaan rakyat melakukan perlawanan pada kekuasaan menindas sekaligus gambaran luka padamnya ilmu pengetahuan karena kebodohan terus merajai.

Kegelapan harus diakhiri dengan memulai menyalakan cahaya pengetahuan. Spirit inilah yang mendorong Ama Nae mengutus salah satu putra tercintanya, Ahmad Adam untuk berangkat menimba ilmu di tanah Mekkah Al Mukaramah dan menunaikan ibadah haji untuk menyempurnakan rukun Islam.

Selama tiga tahun menimba ilmu di Mekkah, beliau aktif mengikuti pengajian dan pengkajian ilmu agama di berbagai khalaqah di Masjidil Haram. Waktu tiga tahun dimanfaatkan betul oleh beliau untuk belajar dan membaca buku-buku agama. Salah satu kitab yang dikuasai oleh Ahmad Adam adalah kitab Arbain.

Setelah kembali dari jihad ilmu di Mekkah, beliau fokus membina generasi melalui kegiatan dakwah dan pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran berilmu dan beragama di kalangan masyarakat kala itu. Seperti kurangnya kesadaran untuk sekolah. Padahal, pendidikan merupakan jalan untuk memegahkan peradaban dan memuliakan jalan hidup manusia.

Pengalaman belajar di Mekkah bagi beliau merupakan rahmat Allah SWT ternikmat karena dapat merasakan langsung pentingnya pengetahuan agama dan pendidikan untuk kemajuan sebuah masyarakat, bangsa dan negara.

Ilmu pengetahuan yang didapatkan menjadi bekal bagi beliau dalam membina dan membangun kesadaran generasi untuk mencintai ilmu pengetahuan, lebih khusus ilmu agama. Itulah yang membuat beliau berdakwah keliling di setiap Mushalla, Langgar dan Masjid dalam rangka menanam dan menumbuhkan spirit kesadaran berpengetahuan.

Wujud kecintaan beliau untuk membumikan ilmu pengetahuan dan menyebarluaskan spirit positif tersebut adalah melalui kegiatan membina generasi, seperti bimbingan kegiatan mengaji rutin di rumahnya setelah Magrib. Tujuannya, agar generasi muda mencintai Al Qur’an sebagai pedoman tuntutan hidup dunia dan akhirat.

KH. Ahmad Adam merupakan sosok pendobrak kejumudan berpikir yang sangat berani dan tegas dengan prinsipnya tanpa takut pada siapapun sepanjang itu benar menurutnya. Beliau berani melawan dan mengubah tradisi masyarakat yang berbau kemusyirikan dan khurafat yang pada saat itu sangat kental mendominasi psikologi masyarakat. Beliau menentang semua praktik menyimpang yang bertentangan dengan syariat Islam.

KH. Ahmad Adam juga merupakan sosok pembaharu dan pelopor pendidikan yang berpikir maju melintasi cakrawala zaman seperti gagasannya mendirikan sekolah Islam di Punti Donggo. Yaitu MIS Punti yang merupakan wadah pembinaan generasi muda Islam.

Namanya sekarang begitu harum mewangi karena selalu dikenang sebagai pemimpin yang reformis dan transformatif karena mampu membuat pengetahuan masyarakatnya hidup. Pikirannya berjalan menggerakkan nafas zaman untuk sampai pada peradaban canggih.

Kharismanya menyimpan kekuatan, sehingga membuat banyak orang menaruh rasa hormat yang tinggi dan selalu memuliakannya di berbagai kesempatan karena keteladanan memimpin dan sukses melayani dengan hati ikhlas demi “dou labo dana”.

Kualitas kepemimpinannya teruji oleh publik karena selalu diingat dan diceritakan seperti mata air mengalir yang terus memberikan kesejukan ketika namanya diceritakan berulang-ulang. Misalnya, saat beliau menjadi Galarang (semacam kepala desa) kala itu.

Di saat beliau menjadi Galarang, sosoknya yang keras, tegas dan bijaksana membuat orang banyak tak berani menatap langsung wajahnya karena rasa hormat kepada pemimpin dan ulama. Masyarakat sangat patuh pada pemimpin. Ketika beliau menjadi pemimpin, orang-orang tidak ada yang berani melanggar perintah Abu Tua (demikian beliau biasa dipanggil). Apalagi jika ketahuan melakukan pelanggaran dan kejahatan, maka siap-siap pergi meninggalkan kampung karena malu atau menerima sanksi berat, baik sanksi hukum maupun adat.

Nama Abu Tua di kalangan masyarakat begitu hidup karena keteladanan dalam memimpin masyarakat seperti yang selalu diceritakan oleh orang-orang tua. Ketika Abu Tua lewat maka orang-orang langsung menyalaminya dan memberikan jalan dengan rasa hormat.

Dan ketika Abu Tua lagi duduk atau lewat, anak-anak muda tidak ada berani lewat kalau tidak pakai lengkap kopiah, sarung atau celana karena langsung ditegur, di tempeleng atau dipanggil khusus untuk dibina di rumah atau di kantor desa.

Beliau adalah sosok yang membuka pintu zaman dengan cahaya ilmu pengetahuan dan menjadi tokoh inspiratif bagi banyak generasi untuk bangkit dari keterpurukan karena jendela dunia hanya dibuka lewat buku pengetahuan dan pendidikan.

Dan, saat beliau menutup zamannya pun dengan senyuman manis membuka pintu langit, ketika menghembus nafas terakhir dengan melafazkan kalimat toibah “laa ilaha ilallah”. Beliau bersenandung membacakan hadist-hadist yang dihafal ketika di Mekkah sambil berpesan kepada anak-anak dan cucu-cucunya untuk tidak menangis dan membaca Yasin, “karena lisanku telah membuat ayat-ayat Al Qur’an melafazkan dirinya sendiri.” Kami generasi terus mencintaimu karena engkau menghidupkan pengetahuan zaman lewat pikiranmu yang berjalan. (*)

*) Penulis adalah Dosen STKIP Bima