Mewujudkan lembaga pendidikan tinggi itu tidak harus kaya dan punya jabatan dulu. Jangan jadikan alasan tidak ada uang untuk tidak kuliah. Ayo kita kuliah, bayar pakai hafalan Qur’an saja sudah cukup.” Dr. A. Talib bin Mansyur Ama Ani, pendiri sejumlah PT di Indonesia.

 

Sektor lain boleh saja tertinggal, tapi urusan pendidikan bagi Komunitas Donggo tidak ada toleransinya. Orangtua boleh tidak punya tempat tinggal hingga tidak makan, tapi terkait sekolah dan kesuksesan anak itu di atas segala-galanya.

 

Dr. A. Talib bin Mansyur Ama Ani, generasi Donggo yang dilabeli “penggila” bangun dan dirikan perguruan tinggi di Indonesia. (ist/lakeynews.com)

Kupasan : Sarwon Al Khan, Bima

KETEGUHAN itu juga tertular dan dipegang teguh oleh Dr. A. Talib bin Mansyur Ama Ani. Doktor muda jebolan Pendidikan Islam Universitas Ibnu Kholdun Bogor ini, merupakan salah satu generasi Donggo yang “gila” membangun perguruan tinggi (PT), dari daerah kelahirannya, Bima hingga Kalimantan.

Siapa sebenarnya pria yang akrab disapa Doktor Talib itu?

Sepintas, Talib adalah putra bungsu dari enam bersaudara hasil pernikahan pasangan Mansyur Ama Ani dan Amuriah (Amu). Tangis pertamanya meletus pada 22 Juni 1980. Tepatnya di Desa Sampunggu, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima (sekarang setelah Donggo dimekarkan, Desa Sampungu masuk Kecamatan Soromandi).

Pada 2004 lalu, Talib melepas masa lajangnya dengan menikahi Sri Ispini, perempuan Suralaga, Kabupaten Lombok Timur. Hasil pernikahan itu, mereka dikaruniai tiga putra; Muhammad Al Faqih, Muhammad Al Fikri, Muhammad Farhan.

Sejak kecil, Talib sudah ditempat dengan ilmu-ilmu agama (Islam). Terbukti, hampir semua jenjang pendidikan formal dilaluinya di lembaga-lembaga yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Departemen Agama).

Mulai dari tingkat terendah (saat itu), dia menimba ilmu pengetahuan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Sampungu, 1991; MTsN Raba, 1995; MAN 1 Bima, 1997. Kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Darusy Syahadah Simon Surakarta, Jawa tengah (Kuliatul Mu’alimin) 2002.

Setelah itu ke Perguruan LIPIA Jakarta dan selesai 2005. Selanjutnya selesaikan S1 ke Perguruan Tinggi di Jakarta (S1 Hukum dan S1 PAI), lulus 2006.

Untuk S2, Talib mengambil Politik Islam di Institut Agama Islam di Jakarta dan lulus 2010 dan juga (sebelumnya) melanjutkan S2 Manajemen di Perguruan Tinggi Manajemen Jakarta, lulus tahun 2008. Sedangkan S3-nya, Pendidikan Islam di Universitas Ibnu Kholdun Bogor, lulus 2011.

Meski saat itu masih menjalani pendidikan tinggi S1 di Jakarta, tahun 2004 Talib sudah berani mulai mendirikan Perguruan Tinggi (PT). Lembaga PT pertamanya, di Kabupaten Bima. Yakni STKIP Harapan Bima dengan SK pendiriannya tanggap 17 Oktober 2004.

Pada sekolah tinggi ini, langsung dibuka lima program studi (Prodi). Masing-masing Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Prodi PGSD, Prodi Matematika, Prodi Olahraga, Prodi Pendidikan Vokasional Informatika dan Prodi IPA. “Semuanya S1,” kata Talib pada Lakeynews.com.

PT kedua, Sekolah Tinggi Ekonomi Syari’ah Harapan Bima NTB, dengan Prodi Ekonomi Syari’ah. “S1 juga Ini di bawah Yayasan Al Faqih yang berdiri tahun 2008,” jelasnya.

PT ketiga, dibangun di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Mumtaz, 11 Desember 2014 dengan Prodi Manajemen Pendidikan Islam. Lembaga ini di bawah Yayasan Fikrun Nisa Karimun yang berdiri tahun 2013.

PT keempat, kampus di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Di bawah Yayasan Al Faqih, di sana dia bangun Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Ispini tahun 2017. Prodinya; Manajemen Pendidikan Islam, PGMI/PGSD dan Prodi PIAUD/PAUD. “Dan, sekarang mulai menerima mahasiswa baru,” tandasnya.

PT kelima, Institut Teknologi dan Pendidikan Nusantara Global di Kabupaten Lombok Tengah (Loteng), Nusa Tenggara Barat (NTB), 2017. Pada 25 Agustus lalu, perguruan tinggi swasta itu dilakukan visitasi pendiriannya oleh Tim Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) Pendidikan Tinggi (Dikti).

Dan, PT keenam, Institut Elkatarie Lombok Timur (Kemenag), 2017, dengan delapan Prodi. Yakni Prodi PGMI, Prodi Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Prodi Bimbingan dan Konseling Islam, Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Prodi Hukum Tatanegara Islam, Prodi Hukum Pidana Islam, Prodi Manajemen Keuangan Syariah dan Prodi Akuntansi Syariah. “Institut Elkatarie tinggal menunggu visitasi,” tuturnya.

Doktor Talib kemudian menyampaikan gambaran umum terkait perkuliahan di setiap kampus yang dibangunnya. Katanya, hampir sama dengan kampus-kampus lain di Indonesia.

“Namun, rencana yang ingin saya kembangkan adalah kurikulumnya. Setiap mahasiswa, selain menguasai jurusan yang ambil, mereka harus memiliki kemampuan leadership (kepemimpinan, red) dan kemampuan kewirausahaan,” tukasnya.

Mengapa?

“Nantinya, alumni setiap kampus yang saya dirikan tidak lagi sibuk mencari pekerjaan ketika mereka lulus. Tetapi, membuka berbagai usaha yang mereka mampu, sehingga bisa menampung tenaga kerja minimal mengangkat ekonomi masyarakat yang ada,” sambungnya.

Disamping itu, kata Talib, para mahasiswa dibekali pemahaman keislaman yang benar. “Dengan bekal pemahaman keislaman yang benar dan kuat, mereka akan bisa mewarnai kehidupan masyarakat di manapun mereka tinggal,” tegasnya.

Sekarang sudah ada enam PTS yang dibangun, apakah masih ingin membangun lagi perguruan tinggi lain?

“Insya Allah, masih,” jawabnya singkat.

 

Sekolah Tinggi Ilmu Tabiyah Ispini di Kabupaten Tanah Mumbu, Kalimantan Selatan, salah satu perguruan tinggi yang didirikan Doktor Talib. (ist/lakeynews.com)

”Tidak Ada Uang, Bukan Alasan tidak Kuliah”

 

Mengapa Anda begitu hobi membangun PT?

Menjawab pertanyaan itu, Talib menguraikan secara gamblang latarbelakang dan motivasinya untuk membangun dan akan membangun lagi beberapa PT.

Salah satunya, karena dirinya berlatar belakang pondok pesantren (Ponpes). Dulu, sebagian orang menganggap bersekolah di Ponpes itu kuno. Tidak punya ijazah atau legalitas.

“Nah, dengan kita dirikan perguruan tinggi berbasis Ponpes ini, kita buktikan bahwa aggapan orang selama selama ini tentang sekolah di Ponpes tersebut tidak benar,” tegasnya.

Alasan lain, Talib ingin menunjukkan kepada dunia luas bahwa membangun PT itu tidak harus kaya raya dulu, tidak harus punya jabatan dulu atau anak penjabat dan tidak ada larangan bagi orang dari pelosok desa.

Disamping itu, untuk melanjutkan dan menyelesaikan PT, Talib harus banting tulang bersama orangtuanya. Pahit manis menekuni jenjeng perjenjang pendidikan sudah dirasakannya. Sehingga, dengan hadirnya sejumlah PT yang dia bangun, tidak ada alasan lagi bagi generasi yang tidak kuliah karena tidak punya duit.

PT yang dia bangun itu juga untuk mereka yang hendak melanjutkan kuliah tapi tidak punya duit. Bagi Talib, yang terpenting, generasi punya kemauan dan semangat untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Itu saja sudah cukup.

“Pokoknya jangan jadikan alasan tidak kuliah karena tidak punya duit. Ayo kita kuliah, walaupun hanya dibayar dengan hafalan Qur’an,” tegasnya.

“Syukur-syukur mahasiswa nanti bisa membantu mengerjakan apa saja pekerjaan yang ada di kampus, itu saja sama dengan sudah membayar kuliah. Pokoknya, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan,” tandasnya. (*)