“Kebenaran jurnalistik tidak sama dengan kebenaran agama dan filosofis yang bersandar pada keyakinan. Kebenarann jurnalistik itu berdasarkan atas fakta-fakta.” Satrio Arismuandar, pendiri AJI Indonesia
MATARAM, Lakeynews.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram mengampanyekan perlawanan terhadap hoax (tipuan, menipu, kabar burung, berita bohong, berita palsu, dll, red). Kampanye lawan hoax tersebut digelar melalui “Workshop Etik dan Profesionalisme Jurnalis dalam Menghadapi Hoax”.
Pada kegiatan yang berlangsung di Kedai Jangkok, Ampenan, Jumat (7/7/2017) malam itu juga digelar Pertunjukan Wayang Sasak Interaktif oleh Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) Sesela.
Sebelum pementasan wayang, sepanjang hari Jumat, puluhan jurnalis anggota AJI Mataram mengikuti Workshop Etik dan Profesionalisme Jurnalis Menghadapi Hoax. Workshop yang terselenggara atas kerjasama AJI Indonesia dan Australian Embassy Jakarta itu, dihadiri jurnalis senior Satrio Arismunandar, Mochamad Rudi Hartono dan Jupriadi Asmaradana.
Para pemateri menyampaikan berbagai persoalan penting menyangkut penyikapan jurnalis terhadap wabah hoax yang meresahkan. Berbagai materi itu terkait penegakan etik, prinsip-prinsip peliputan serta hukum pers; “menghindari ranjau pidana dan perdata” yang kerap mengintai jurnalis selama ini.
Workshop sehari itu berjalan cukup efektif. Hampir semua materi mendapat respon dari peserta, yang banyak mengalami masalah dalam menjalankan tugas-tugas peliputannya, termasuk derasnya serbuan hoax yang sudah sangat memprihatinkan.
Salah satu cara cerdas yang dilakukan jurnalis dalam menghadapi hoax, meningkatkan profesionalisme dan menjalankan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dengan benar. Jurnalis dituntut menjalankan etik dengan baik, karena menjadi dasar atau rambu dalam menjalani tugas-tugasnya sebagai jurnalis. “Ini penting dan harus dijalankan di tengah banyaknya informasi hoax saat ini,” kata Muhammad Rudy Hartono.
Menurutnya, jurnalis harus memiliki etik yang kuat dalam menjalankan tugas jurnalistiknya agar tidak mudah terpengaruh apalagi ikut berperan menyebarkan berita-berita hoax.
Hal senada diungkapkan Satrio Arismunandar, jurnalis senior dan pendiri AJI Indonesia pada 1994 lalu. Satrio menekankan pentingnya jurnalis memahami dan menegakkan elemen-elemen dasar jurnalistik. Elemen itu antara lain, kewajiban pada kebenaran, loyalitas pada publik dan disiplin verifikasi.
“Kebenaran jurnalistik tidak sama dengan kebenaran agama dan filosofis yang bersandar pada keyakinan. Kebenaran jurnalistik itu berdasarkan atas fakta-fakta,” kata Satrio.
Belakangan ini, sambungnya, warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media. Lebih dari itu, mereka juga menciptakan media sendiri. Munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas dan media alternatif. “I juga bentuk dari perkembangan jurnalisme, dimana warga dapat menyumbangkan pemikiran mereka, opini, berita dan lainnya,” papar Satrio.
Bagaimana caranya jurnalis menghindari ranjau pidana dan perdata dalam menjalankan tugas-tugasnya, terutama di tengah beragam informasi yang muncul termasuk hoax?
Jupriadi Asmaradana dari AJI Makasar menyebutkan, untuk menghindari ranjau pidana dan perdata itu, jurnalis harus memahami Undang Undang Pers No 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik.
Dia sangat menyayangkan jika jurnalis belum pernah membaca UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, padahal mereka menjalankan kerja-kerja jurnalistik. “Ini berbahaya jika jurnalis tidak pernah baca UU Pers dan Kode Etik. Jurnalis harus memahami UU yang melindungi kerja mereka,” kata Jupriadi.
Selain workshop, juga digelar Pagelaran Wayang Sasak Anti Hoax oleh Sekolah pedalangan wayang Sasak (SPWS) Sesela di panggung sungai Jangkuk Ampenan. Dalam pertunjukan wayang interaktif yang berlangsung selama dua jam, dalang muda Bayu Windia, menyebutkan betapa jahatnya hoax atau informasi bohong menghantui kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat Nusa Tenggara Barat. “Banyak informasi bohong berbau fitnah yang diterima begitu saja oleh masyarakat, karena itu kita harus hati hati,” katanya lewat dialog Amaq Baoq (panakawan) yang dimainkannya dengan penuh homor.
Pertunjukan Wayang Anti hoax itu ditonton puluhan jurnalis NTB, Jurnalis senior Satrio Arismunandar, Pengurus AJI Indonesia, Jupriadi Asmaradana, dan M. Rudi Hartono, Juru Bicara Polres Mataram AKP Made Aranawa dan Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik (Diskominfotik) NTB Tri Budi Prayitno, aktivis lingkungan dan para seniman muda di Kota Mataram.
Wayang interaktif kali ini mengajak jurnalis senior, aparat kepolisian dan pihak pemerintah untuk berdialog dengan para panakawan, seperti Amaq Baok, Amaq Kesek dan Sam Butak terkait hoax yang kian membingungkan masyarakat.
AKP Made Arnawa yang juga didaulat berdialog dengan wayang meminta para jurnalis membantu aparat kepolisian dalam upaya menangkal hoax. Dia mengatakan, jurnalis juga harus awas dan tidak turut menyebarkan berita bohong.
“Kami berharap jurnalis tetap mencari tahu sumber informasi yang mereka peroleh, baru mereka menyebarkannya. Tujuannya agar hoax ini tidak meluas dan mengganggu ketertiban umum,” imbuhnya.
Penonton mengapresiasi wayang anti hoax tersebut. Mereka berharap kegiatan serupa dapat digelar di lokasi yang lebih luas dan bisa ditonton masyarakat agar informasi bahaya hoax ini tersosialisasi. “Kami sih maunya wayang yang bisa bicara langsung dengan pejabat, bisa digelar lagi, agar lebih seru dan membuat kami makin faham bahaya berita bohong ini,” kata Akmal, salah seorang penonton. (won)