(Kajian Krisis Air di Kecamatan Donggo dan Soromandi – Bima)
Oleh: Satria Tesa )*
Sudah lama terdengar dongeng tentang sebuah daerah dengan visi indah ”RAMAH” yang bercita-cita membangun daerah, memajukan dan melihat masyarakatnya sama. Daerah yang indah nama dan sejarahnya. Kami ingin melihat dongeng itu dalam kenyataan, bukan cerita orang, bukan slogan dan bukan hanya retorika belaka.
*
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI), Pasal 1 ayat 3 ”Indonesia adalah Negara Hukum”. Ini berarti dalam seluruh proses ketatanegaraan, hukum adalah panglimanya dan dasar dalam menjalankan roda pemerintahan dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahwasannya, tujuan dari hukum yaitu terciptanya kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti dalam Pembukaan UUD RI 1945 alinea ke-empat, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Dari rumusan tersebut tersirat adanya tujuan nasional yang ingin dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh negara, tentu tujuan ini harus berdasarkan supremasi hukum. Menurut M.Friedman, “fungsi hukum yaitu rekayasa sosial yaitu sebagai alat perubahan sosial, penyelesaian sengketa, pengawasan dan pengendalian sosial.”
Negara Indonesia adalah Negara Kesejahteraan (welfare state) bukan penjaga malam, dalam artian negara lewat instrument pemerintahan seyogianya harus “berbulan madu” dengan masyarakat. Yakni dengan aktif dan responsif menjalankan tujuan negara dan amanah Pancasila dan UUD 1945.
Keberlakuan Otonomi Daerah (Otda) dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dan mengurus daerahnya untuk kesejahteraan rakyat, dikarenakan sistem yang sentralistik tidak mampu mewujudkan kesejahteraan sosial. Dalam UU RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah konsideran (b), bahwa penyelenggaran pemerintah daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Equality Before The Law adalah esensi daripada negara hukum.
**
Di ujung Barat Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tepatnya di Kecamatan Donggo dan Soromandi, persoalan pemerataan keadilan untuk tercapainya kesejahteraan sosial merupakan sesuatu hal yang krusial. Kebutuhan akan adanya air bersih yang merupakan kebutuhan dasar, sampai saat ini belum dijawab oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima.
Kebutuhan akan air menjadi potret kesenjangan sosial. Seolah luput dari perhatian pemerintah dan para wakil rakyat di daerah. Tumpukan jeriken, keringat masyarakat yang mencari air serta kondisi sosial yang masih belum menikmati haknya untuk mendapatkan keadilan menjadi saksi bisu bungkamnya pemerintah daerah terhadap pemerataan keadailan di Donggo dan Soromandi.
Bayangkan, masyarakat harus hijrah ke desa lain untuk mendapatkan air. Lantas dimanakah komitmen pemerintah daerah dengan visi RAMAH yang menggema sebagai spirit pembangunan yang sering didengungkan pemimpin di Kabupaten Bima. Tidak cukup janji politis untuk menjawab keresahan masyarakat Bima yang rindu akan keadilan dan perhatiannya.
Bima RAMAH bukan hanya absurd diimplementasi tapi keberadaannya hanya dijadikan slogan. Klaim “Bima Adil dan Handal” yang sekiranya menerjemahkan semangat kerakyatan hanya menjadi gincu penghias pemerintahan. Donggo dan Soromandi belum mendapatkan pemerataan keadilan. Pemimpin daerah Bima hari ini belum handal menjawab krisis air tersebut dan itu kenyataannya. Kondisi kekeringan (kekurangan air) hanya menjadi komoditas politik untuk menarik simpati masyarakat Donggo dan Soromandi. Bima Adil dan Handal ironi bagi masyarakat di dua kecamatan ini.
Proyek Sistem Penyedia Air minum yang digelontorkan pada tahun 2009 menelan anggaran senilai Rp. 6,5 miliar. Proyek ini berlokasi di Desa Kala, Kecamatan Donggo, tepatnya di Mata Air “Ntuda Ncora”. Dana dari APBD tersebut dikucurkan untuk pengadaan air di sejumlah desa di Donggo dan Soromandi. Diantaranya Desa Kala, O’o, Mpili, Doridungga dan Bajo.
Perusahaan yang memenangkan pengerjaan proyek yang bersumber dari APBN itu sebut saja inisialnnya JBP. Perusahaan yang bergerak di bidang instalasi air itu berasal Bandung.
Sedangkan Proyek Sistem Penyedia Air Mineral (SPAM) untuk lima desa di Kecamatan Donggo dikerjakan CV FD (inisial). Anggaran yang digelontorkan untuk proyek tersebut sebesar Rp. 1,3 lebih yang bersumber dari APBN Tahun 2013.
Proyek SPAM yang seharusnya menjawab keresahan masyarakat diduga justru dikonversikan sehingga menjadi polemik berkepanjangan. Polemik ini dikarenakan implikasi proyek yang tidak bisa menuntaskan krisis air tersebut.
Kita menduga ada yang tidak sesuai mekanisme dalam pelaksanaan proyek tersebut. Anggaran besar namun nihil hasilnya. Ada Apa? Dugaan penyimpangan pun mencuat, bahkan Kejati NTB melakukan pengumpulan data dan keterangan.
Hanya saja, penyelidikan hilang di tengah jalan. Alasannya, tim penyelidik tidak menemukan bukti yang mengarah pada tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, masyarakat Donggo dan Soromandi berhak mendapatkan keadilan, apalagi kebutuhan dasarnya sebagai repsentatif fitrah sebagai manusia yang diakui Pancasila dan UUD. Masyarakat Donggo dan Soromandi juga “Makhluk Tuhan” sudah sepatutnya pemerintah daerah menghargai, menghormati dan memberikan haknya mendapatkan air bersih.
***
Melihat kondisi masyarakat yang selalu dijadikan klaim pembangunan, menurut saya, pemerintah daerah mengkhianati amanah Pancasila, UUD dan kepercayaan masyarakat Donggo dan Soromandi, serta “membunuh” prospek masyarakat untuk mendapatkan keadilan sesuai konsiderat Nomor (b) Undang-undang Pemerintah Daerah.
Peminggiran secara struktural yang direalisasikan dengan sikap ”cuek” pemerintah daerah merupakan “makar sosial” terhadap negara. Dalam pemaknaan menjauhi masyarakat dengan kebutuhan sosialnya. Bukankah masyarakat Donggo dan Soromandi dengan masyarakat lainnya memiliki posisi yang sama di depan hukum?
Realitas yang kontradiktif dan kondisi kekeringan yang parah harus ditelan oleh masyarakat Desa Doridungga dan Ndano Ndere, Desa Bajo, merupakan fakta yang mengerikan. Beredar rumor bahwa masyarakat Doridungga untuk memenuhi kebutuhan akan air, harus mengumpulkan uang yang totalnya sekitar Rp 60 juta untuk membeli air di salah satu desa. Pemerintah desa seolah bungkam dengan fakta miris tersebut.
Itupun bagi orang yang punya kelebihan ekonomi. Yang ekonomi bawah, terpaksa harus hijrah ke desa lain untuk mendapatkan air. Apakah pemerintah daerah, pemerintah desa bahagia ketika masyarakatnya memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, sedang itu tugas pemerintah?
Kondisi inilah yang memicu gerakan mahasiswa Donggo dan Soromandi Mataram dan Bima untuk turun ke jalan untuk meminta keadilan dan kepastian hukum. Nurani pemerintah daerah seolah mati, lebih senang keluyuran daripada mengatasi persoalan masyarakat. Tentu perjuangan ini akan terus bergulir sampai masyarakat mendapatkan distribusi pemerataan pembangunan.
Padahal, dalam UUD RI 1945 Pasal 33 ayat 3 tegas mengatakan, “Bumi air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat.”
Sudah sewajarnya Pemkab Bima serius mengatasi keresahan masyarakat Donggo dan Soromandi. Bima yang adil harus diaktualkan dalam konteks, karena sekiranya tidak perlu “petisi” untuk meminta apa yang menjadi hak masyarakat Donggo dan Soromandi. Kesejahteraan masyarakat adalah bukti otentik pencapaian visi pemerintah. Bima RAMAH harus kembali didevinisikan untuk membangun Bima. Bukan RAMAH berdasarkan selera pemimpin Bima.
Kami sebagai generasi muda menaruh kepercayaan terhadap Bupati Bima untuk segera menyalurkan anggaran yang sekiranya mengembalikan keceriaan masyarakat Donggo dan Soromandi, serta semua daerah yang menjadi saksi lemahnya perhatian pemerintah daerah terhadap ekspetasi atau harapan masyarakatnya.
Semoga saja Bupati Bima tidak melupakan bahwa masyarakatnya juga membutuhkan ”cintanya” yang direalisasikan dengan program yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan air dan jawaban atas kegelisahan masyarakatnya yang mengharapkan keadilan
Akhir kata Semoga IDP selalu Sehat. (*)
)* Penulis asalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Donggo Mataram/Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram.