Jika ingin Kurikulum Merdeka Belajar ini berhasil meng-Indonesia-kan murid Indonesia, maka siapkan guru-guru yang Indonesia.”
H.M. Ali H. Arahim, M.Pd, Sekjen PB PGRI.
H.M. Ali H. Arahim: Butuh Waktu Lebih Panjang
PROGRAM atau rencana kegiatan apapun diyakini ada lebih dan kurangnya. Demikian pula Kurikulum Merdeka yang kini di-booming Kemendikbud-Ristek RI, tentu ada plus-minusnya.
Bagaimana Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) memandang Kurikulum Merdeka?
“Jika ingin Kurikulum Merdeka Belajar ini berhasil meng-Indonesia-kan murid Indonesia, maka siapkan guru-guru yang Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PB PGRI, H.M. Ali H. Arahim, M.Pd, pada Lakeynews.com, di Jakarta, Minggu (27/11) petang.
Pernyataan senada kerap dikemukakan pria yang kalau di kampung asalnya, Bima – NTB akrab disapa Aji Elo itu pada beberapa kesempatan. Termasuk di media sosial.
Kemudian dipertegas kembali pada media ini media yang bergabung di organisasi Media Independen Online (MIO) Indonesia, baik dari unsur DPP maupun DPW NTB, DPD Dompu dan Kota Mataram, di Gedung Guru Indonesia, Sekretariat PB PGRI.
Dari sisi potensi atau plus Kurikulum Merdeka, Aji Elo memetakan empat hal. Salah satunya, memuat nilai-nilai filosofi Ki Hajar Dewantara (KHD). Kemudian, berpusat kepada murid, bersifat lebih humanis Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Sisi minus dan dibutuhkan perhatian adalah problematik secara empiris, belum menyentuh kebutuhan guru –khususnya GTT (guru tidak tetap), anggaran terlalu besar, pemerataan pendidikan secara kualitas maupun kuantitas, serta jumlah rombongan belajar gemuk.
Potensi dan Nilai Plusnya
Kalau selama ini kurikulum pendidikan di Indonesia terlalu condong ke Barat (Western Oriented), namun Kurikulum Merdeka (KM) berbasis pada Nilai-nilai Filosofis KHD.
“Memanusiakan manusia, bahwa anak harus dimerdekakan secara fisik, mental, jasmani dan rohani,” jelas Aji Elo menyebut salah satu nilai filosofis KHD.
Kemudian, Sistem Among. Guru mengajar menggunakan pendekatan among dengan kasih sayang.
Basis pendidikan kepada anak dengan memperhatikan kodrat alam dan kodrat zaman, bahwa anak harus dididik sesuai latar belakang alam (ekosistem) di mana mereka dibesarkan, dan sesuai perkembangan zaman di mana mereka bertumbuh.
Selain itu, Tri Pusat Pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan seyogianya bukan semata tanggung jawab sekolah tetapi merupakan karya kolaboratif ketiga komponen tersebut.
Guru dalam mendidik, mengadopsi Trilogi Pendidikan KHD: Ing Ngarso sung tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani.
Pendidikan Berpusat pada Murid
Dijelaskan Aj Elo, pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka, menganut asas student’s wellbeing. Penciptaan kondisi psikologis yang nyaman bagi anak saat mereka belajar.
Seorang guru, tegasnya, harus kreatif dalam menghadirkan KBM (kegiatan belajar mengajar) yang bersifat student-centered. Mengurangi peran guru yang terlalu dominan dan melibatkan anak seoptimal mungkin dalam KBM.
Bervariasi, guru kreatif menghadirkan bermacam-macam variasi, pendekatan dan teknik pembelajaran agar anak tidak bosan dan stress dalam belajar.
Menyenangkan, guru kreatif menciptakan joyful learning: pembelajaran dengan bermacam-macam games, multi media dan lainnya.
“Menurut pakar Psikologi Carl Roger, agar anak bisa berprestasi secara optimal, maka mereka harus enjoy dan tidak boleh stress dalam belajar,” papar Aji Elo yang digadang-gadang sebagai kandidat calon anggota DPR RI di Dapil NTB 1 (Pulau Sumbawa) utusan Partai Golkar dan memiliki kans kuat itu.
Lebih Bersifat Humanis
Kata Aji Elo, itu maksudnya pembelajaran berdiferensiasi. Menghadirkan KBM karena pertimbangan latar belakang anak yang beraneka ragam
Antara lain, kesiapan belajar anak yang bermacam-macam. Ada yang cerdas, ada yang belajar cepat, ada yang lamban dan sebagainya. “Minat belajar mereka berbeda-beda. Ada yang senang berhitung, ilmu sosial, ilmu humaniora, dan lainnya,” tuturnya.
Demikian juga proofil belajar. Gaya belajar mereka pun bervariasi. Ada yang bergaya kinestetik, visual, audiotory dan lainnya.
Berikutnya, pembelajaran yang mempertimbangkan kondisi sosial emosional anak. “Dalam pendekatan belajar, guru harus memahami kondisi batin (berempati dan bersimpati) anak pada saat itu,” imbuhnya.
Penguatan Nilai-nilai Pancasila
Salah satu hal penting dalam implementasi Kurikulum Merdeka, sambung Aji Elo, adanya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Itu penting artinya bagi masa depan anak bangsa. Anak-anak harus diperkuat akar ke-Indonesiaan-nya dengan penguatan nilai-nilai ke-agama-an dan Pancasila yang merupakan akar dari identitas kita.
Membangun nalar kritis generasi bangsa. Salah satu kelemahan pendidikan Imdonesia sehingga kalah bersaing dalam kancah global adalah rendahnya daya kritis kita. “Kehadiran P5 diharapkan merangsang daya anak bangsa untuk mampu berpikir High Order Thinking Skills (HOTs).
Minusnya dan Butuh Perhatian
Bermasalah secara empiris. Walaupun terlihat indah dan bagus secara filosofis, dalam tataran implementasi masih menimbulkan tanda tanya dan skeptis.
Hal tersebut antara lain karena kondisi ke-Indonesia-an yang beraneka ragam. “Gap antarwilayah di Indonesia, seperti Barat-Timur, Jawa-luar Jawa, Kota-Pedesaan,” jelasnya.
Gap lainnya, pemahaman guru dan stakeholder pendidikan yang belum seragam. Pemahaman teoritis di kalangan Instruktur, Fasilitator, Pengajar Praktik, dan Guru Penggerak, sudah baik. Namun, kalangan guru (pelaku pendidikan) akar rumput, belum optimal.
Perspektif kondisi guru kekinian. Menurut Aji Elo, kondisi guru saat ini, secara umum dibagi dalam dua perspektif.
Pertama, Guru Boomers Vs Guru Milenial. Boomers kesulitan beradaptasi dengan Kurikulum Merdeka karena keterbatasan mengikuti perkembangan kekinian, terutama perkembangan TIK (Teknik Informatika dan Komputer).
“Kurikulum Merdeka lebih merupakan “miliknya” guru milenial, yang terampil mengelola KBM berbasis IT (Information Technologi atau teknologi informasi, red),” papar Aji Elo.
Kedua, Guru Tetap Vs Guru Tidak Tetap (GTT). Tuntutan Kurikulum Merdeka yang terlalu berat dan padat menjadi masalah bagi guru honorer dan GTT.
Mengapa?
Karena, di satu sisi, dengan keterbatasan yang dimiliki, mereka kesulitan memenuhi tuntutan Kurikulum Merdeka yang berat. “Namun, pada sisi lain, mereka harus menghidupkan keluarga dengan penghasilan yang terbatas,” sambungnya.
Biaya Proyek Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka terlalu besar. “Sebelum implementasinya, Proyek Pelatihan Guru Penggerak (PGP), Kurikulum Merdeka dan sosialisasi belajar, menghabiskan anggaran yang terlalu jumbo,” tegas Aji Elo.
Sebaliknya, proyek PGP disederhanakan, sesuai daya dukung yang ada. Sehingga, menurut hematnya, akan lebih baik sebagian anggaran itu dialihkan untuk pengangkatan Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), yang diketahui makin defisit.
Rombongan Belajar terlalu gemuk. Pada tempat-tempat tertentu, seperti di kota-kota besar, sekolah-sekolah negeri mengalami beban jumlah murid yang masif.
Terkait implementasi, Kurikulum Merdeka problematik karena guru mengelola kelas besar yang tidak mendukung secara teknis. “Implementasi dari Pembelajaran berdiferensiasi, individual treatment (pelayanan individual), penilaian yang komprehensif, serta pemenuhan dan pelayanan semua kebutuhan anak.
Bagaimana riilnya pandangan PGRI terhadap Kurikulum Merdeka ini?
“PGRI mendukung perubahan. Berdiri paling depan untuk perubahan. Kurikulum berubah adalah keniscayaan. Karena kurikulum haruslah up to date. Sesuai perkembangan zaman,” jawabnya.
Aji Elo menegaskan, kurikulum yang diinginkan adalah kurikulum untuk kondisi Indonesia saat ini. Kurikulum dengan perspektif yang lebih natural. Kurikulum yang melihat Indonesia secara utuh terlebih dahulu baru menetapkan target seperti apa yang diinginkan untuk dicapai.
“Pendidikan yang baik dan bermutu adalah hak seluruh warga negara. Termasuk yang tinggal di desa, desa terpencil, terisolir dan proses pembelajaran berjalan apa adanya,” ucapnya.
Kondisi Guru Indonesia saat ini, tegas Aji Elo, tidak baik-baik saja. Baik dari segi jumlah, kualifikasi, kompetensi, sebaran, kualitas, maupun pada sisi kesejahteraan.
Karena itu, dibutuhkan waktu yang tidak pendek untuk memastikan seluruh Guru Indonesia memahami filosofi Kurikulum Merdeka, memahami struktur dan penerapannya dalam pembelajaran.
Perubahan mindset guru membutuhkan alat dan cara yang ampuh, sehingga roh Kurikulum Merdeka mewarnai setiap gerak langkah guru dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya.
Hemat Aji Elo, pemerintah hendaknya memastikan bahwa Guru SIAP dengan rangkaian proses yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka melalui Guru Penggerak, Platform Merdeka Mengajar, Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) dan lainnya.
“Untuk kondisi Indonesia saat ini, (menyukseskan) kurikulum ini perlu waktu lebih panjang,” paparnya.
Bahayanya, jika guru tidak siap atau baru setengah siap, Kurikulum Merdeka berpotensi mereduksi marwah guru. Penyebabnya, bisa dari internal guru sendiri, juga bisa dari luar diri guru (eksternal).
Aji Elo mengingatkan, entitas siswa itu unik. Demikian juga guru. Terlebih dengan keterbukaan informasi dan keterbukaan akses masyarakat masuk ke pintu-pintu sekolah.
Apabila yang menjadi landasan filosofi Kurikulum Merdeka adalah ajaran Ki Hajar Dewantara, diperlukan integrasi yang memadai antara: Otak (kognisi), Hati (karsa, afeksi, sopan satun, tata krama, kesolehan, sampai kemandirian) dan Tangan (kecakapan dan keterampilan) siswa.
Kurikulum Merdeka hendaklah menjamin ketiga domain itu tercapai dengan baik. Kebijakan yang diluncurkan saat ini, membutuhkan berbagai upaya serius dan adil bagi seluruh warga Indonesia.
“Jika ingin Kurikulum Merdeka Belajar ini berhasil meng-Indonesia-kan murid Indonesia, maka siapkan guru-guru yang Indonesia,” tegasnya mengunci statemen. (tim)