


Laporan :
Jahar dan Sarwon, Dompu
BEBERAPA pemilik rumah makan (RM) di Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, mengaku resah. Rabu (19/10) siang lalu tiba-tiba didatangi sejumlah oknum penagih pajak.
Oknum-oknum yang datang menggunakan mobil plat merah jenis mini bus bernomor polisi EA 6xx itu, selain menagih pajak secara tiba-tiba, juga terkesan memaksa, menekan dan membentak-bentak pemilik RM.
Eka, salah seorang pemilik RM di Desa Kadindi Barat mengungkapkan peristiwa yang dialaminya pada siang hari sekitar pukul sekitar pukul 13.30 Wita itu.
“Saya diminta dan dipaksa agar membayar pajak Rp. 300 ribu,” kata Eka pedagang soto itu pada Lakeynews.com, sekitar satu jam usai kedatangan oknum-oknum tersebut.
Namun, Eka bergeming. Dia tidak bersedia memenuhi permintaan rombongan oknum yang sebagian besar mengenakan kostum putih-hitam itu.
Alasannya, karena tidak mengetahui dasar yang jelas dan tidak pernah disosialisasikan sebelumnya. Apalagi, dia hanya jualan soto dengan memanfaatkan teras rumahnya.
“Karena saya tidak mau bayar, saya dibentak-bentak,” ungkapnya.
Eka menyesalkan dan mempertanyakan sikap oknum-oknum itu yang hanya menagih pajak pada dirinya. Sementara rumah makan yang ada di sekitar kawasan itu banyak, tapi tidak dimintai pajak.
“Saya sudah tanyakan kepada beberapa teman yang punya warung makan. Mereka rata-rata mengaku tidak didatangi oleh penagih pajak (oknum-oknum itu, red),” ujarnya dengan nada kesal.
Karena pemilik rumah makan itu tidak memenuhi (bayar) pajak, oknum-oknum tersebut mengancam akan datang lagi dengan jumlah personel yang banyak.
“Kami diancam. Mereka katakan akan datang lagi dengan jumlah personel yang lebih banyak untuk menagih pajak ke kami,” katanya.
Masalah yang sama dirasakan dan disampaikan Rumnah (32), pemilik Rumah Makan Sasak, Desa Kadindi Barat. Bahkan nasibnya lebih nahas, jika dibandingkan Eka.
Rumnah yang ditemui Lakeynews.com mengaku justru sudah membayar pajak Rp. 200 ribu untuk Februari ini kepada oknum-oknum itu.
Dia membayar setelah didesak dan ditekan. Seharusnya, kata Rumnah mengutip kata-kata oknum itu, dirinya bayar pajak sebesar Rp. 2 juta untuk bulan ini.
“Saya diminta bayar Rp. 2 juta sebenarnya. Tapi saya tidak punya uang. Hanya bisa bayar Rp. 200 ribu. Itu saja yang ada,” katanya sembari menunjukkan bukti pembayarannya.
Mobil Dinas EA 6xx, Kendaraan Operasional Bappenda
Untuk menguji akurasi pengakuan beberapa pemilik rumah makan tersebut, dua hari terakhir (Rabu-Kamis, 19-20/2) sore media ini berusaha melacak keberadaan dan penguasaan mobil plat gincu bernopol EA 6xx itu.
Hasilnya? Diketahui, bahwa mobil tersebut merupakan kendaraan operasional Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (Bappenda) Kabupaten Dompu.
Karena itu, pagi menjelang siang Jumat (23/2) tadi, upaya konfirmasi ke Kepala Bappenda Dompu Ir. Armansyah, M.Si pun dilakukan.
Sayangnya, Armansyah tidak ada di tempat. Menurut beberapa stafnya, pria itu sedang berada di luar daerah, Mataram.
Demikian juga Sekretaris Bappenda Mustakim, S.Sos, juga tidak ada di kantornya. “Pak Kepala Badan dan Pak Sekretaris, sama-sama tidak ada di kantor,” kata salah seorang dari beberapa staf itu.
Kabid Pajak Akui ke Pekat, Bantah Tudingan; Berikut Tanggapan Selengkapnya
Kendati Kepala dan Sekretaris Bappenda tidak ada di tempat, masih pejabat bidang terkait di kantor itu yang memberikan tanggapan. Yakni Kabid Pajak Irin Haeryah, SE.Ak.
Irin yang saat itu didampingi Kasi Pendaftaran dan Pendataan Pajak Bidang Pajak Sahwan, S.Sos, mengakui bahwa yang ke Pekat pada Rabu itu adalah Tim Pajak Bappenda Dompu.
“Benar, saya dan teman-teman yang ke Kecamatan Pekat hari itu,” kata wanita berhijab itu pada Lakeynews.com di ruang kerjanya.
Namun demikian, Irin tegas membantah beberapa tudingan dan anggapan minor di atas. Menurut dia, tidak benar pihaknya dikatakan memaksa, menekan dan membentak-bentak pemilik rumah makan.
“Apalagi kami dianggap melakukan penagihan pajak tanpa dasar. Itu tidak benar. Semua yang kami lakukan ada dasar dan aturannya,” tegas Irin dengan lincah.
Apa saja agenda dan tujuan Tim Pajak Bappenda ke Pekat waktu itu?
Menjawab pertanyaan tersebut, Irin menyebut setidaknya dua hal terkait sosialisasi perpajakan.
Salah satunya, melakukan penjajakan awal pada objek pajak Sarang Burung Walet (SBW). Bappenda merasa, SBW cukup potensial sebagai sumber pajak.
“Rencananya, kita akan melakukan sosialisasi kepada objek SBW sekitar Maret depan. Sekalian sosialisasi pajak kendaraan bermotor kerja sama dengan Samsat,” papar Irin.
Agenda kedua, melakukan sosialisasi dan pendataan kepada rumah makan dan hotel di Pekat.
Jika baru sosialisasi dan pendataan kenapa langsung dilakukan penagihan?
Pertanyaan itu memang tidak dijawab secara eksplisit. Tetapi, kalau bicara tentang pendataan dan penagihan pajak, menurut Irin, itu sudah terjadi sejak adanya Perda Nomor 2 Tahun 2011 yang antara lain mengatur soal pajak ini.
Dalam Perda itu, lanjutnya, ada beberapa jenis pajak. Ada Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, serta Pajak Parkir.
Terkait garapan pajak ini, Bappenda harus melihat dan mencari potensi. Selama ini, untuk pajak restoran termasuk pajak rumah makan, rombong dan warung, baru berkutat di Kecamatan Dompu, Hu’u, Woja dan Manggelewa.
Sedangkan Kecamatan Pekat tidak pernah dijamah. Karena itulah, mulai tahun ini, Bidang Pajak Bappenda mencoba garap sesuai potensi dimaksud.
“Sehingga, beberapa hari lalu kita (tim pajak Bappenda Dompu, red) ke sana. Kalau menurut aturan, dari yang kita lakukan tidak ada yang melenceng,” tegasnya.
Lebih jauh dijelaskan Irin, menyangkut pajak ini ada dua pola hitungannya. Yaitu Self Assesment dan Official Assesment.
Kalau Official Assesment, Tim Bappenda yang hitung. “Kita yang tentukan. Itu hanya untuk pajak reklame dan pajak air tanah,” ungkapnya.
Sedangkan untuk pajak hotel, rumah makan dan lainnya memakai pola Self Assesment. “Hitungan dilakukan sendiri wajib pajak. Seperti untuk PPH/PPN,” sambung Irin.
Kenapa angkanya bisa naik dan bisa turun?
Kata Irin, itu tergantung hasil hitungan sendiri dari penghasilan mereka. Kalau hitungannya besar, maka pajak yang harus dibayar juga besar. Sebaliknya, jika hitungannya kecil, pajak yang harus dibayarkan kecil.
Pada tahap awal ini, angka pajak hotel, rumah makan dan lainnya tergantung hasil hitungan wajib pajak sendiri. Kalau penghasilan mereka hanya Rp. 1 juta sebulan, pihaknya belum bisa memaksakan. Walaupun sifat Undang-undang atau Perda itu memaksa.
“Kalau misalnya mengikuti aturan, setiap bil yang dikeluarkan oleh rumah makan itu ada pajak (PPH) sebesar 10 persen,” tandasnya.
Usaha rumah makan misalnya. Sebenarnya, menurut dia, bukan rumah makan yang bayar pajak tersebut. Melainkan orang yang makan-minum di rumah makan itu. Konsumen menitipkan pajak makannya di rumah makan itu.
Namun, faktanya, selama ini banyak rumah makan yang tidak menggunakan bil. Sehingga, Bappenda menggunakan sistem penetapan.
Misalnya, kenapa yang seharusnya Rp. 300 ribu bisa turun Rp. 150 ribu atau Rp. 100 ribu, tergantung konfirmasi dengan pihak restoran atau rumah makan.
“Bila mereka hanya punya penghasilan Rp. 1 juta sebulan, tidak mungkin kita paksakan untuk menyetor pajak Rp. 300 ribu,” tandas Irin. (*)