
MATARAM – Insan pers di beberapa wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kini dilanda kecemasan, kerisauan, dan keresahan. Menyusul ulah oknum-oknum konten kreator nakal.
Oknum-oknum tersebut diduga mengopi-tempel atau copy paste (Copas) berita-berita media massa (media pers), lalu dijadikan konten di akun media sosial mereka.
Tindakan tersebut dianggap melanggar aturan dan sangat merugikan industri pers di daerah ini. Karena itu, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi NTB Ahmad Ikliludin, dengan tegas mengimbau para oknum konten kreator tersebut agar menghentikan praktik kotornya.
Iklil (sapaan Ahmad Ikliludin) mengecam tindakan tersebut dan mengeluarkan ultimatum. Jika para oknum konten kreator nakal itu masih terus dan mengulangi perbuatannya, PWI bersama media yang merasa dirugikan akan menyeretnya ke lembaga/aparat penegak hukum.
“Praktik mereka (oknum konten kreator nakal, red) melanggar aturan, etika, dan hukum. Juga merusak fondasi dan merugikan industri pers,” tegas Iklil pada Lakeynews, beberapa hari lalu.
Baca juga:
* Otokritik; Ikliluddin Tumpuan Asa Tegaknya Marwah PWI NTB
* Lawan Invasi Media Pemerintah, Perkuat Jurnalisme Investigasi
Pria yang kini dipercaya sebagai General Manager Radar Lombok, bagian dari Lombok Post/Jawa Pos Group itu membeberkan beberapa hal.
Sejak beberapa beberapa lalu, sejumlah wartawan dan pengelola media menyampaikan keluh kesahnya. Di mana, berita-berita mereka dicomot begitu saja oleh akun medsos –yang bukan terafiliasi dengan media bersangkutan– tanpa izin.
Akun-akun tersebut menjadikan berita-berita yang di-copas sebagai kontennya di medsos. “Jadi, teman-teman (wartawan/media pers) merasa resah dengan prilaku seperti itu,” ungkapnya.
“Teman-teman sudah berjuang sedemikian rupa di lapangan untuk mewujudkan karya jurnalistik, tapi yang menikmatinya akun-akun medsos yang dikelola sejumlah oknum tersebut,” sambung Iklil geram.
Diakuinya, sebenarnya praktik kotor oknum-oknum yang demikian sudah lama terjadi. Bahkan beberapa media di Kota Mataram sampai pernah melayangkan somasi kepada akun-akun medsos itu. “Ada yang langsung berhenti, tapi ada juga yang tetap nakal,” paparnya.
Sebelumnya, dalam pernyataan tertulis, Iklil juga menegaskan, tindakan mengambil berita dari media lain tanpa izin dan mempublikasikannya ulang secara keseluruhan oleh akun media sosial (yang bukan akun resmi media tersebut) merupakan pelanggaran serius.
Seperti disampaikan pada media ini, Iklil mengatakan, praktik ini mencakup pelanggaran aturan, etika, dan hukum, sekaligus merusak fondasi industri pers. Masalah ini bukan sekadar etika, tetapi berkaitan langsung dengan Undang-undang (UU) Nomor Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
“Berita yang ditulis oleh jurnalis atau dimuat media pers adalah karya cipta yang dilindungi undang-undang, seperti UU Hak Cipta. Yang dilindungi adalah ekspresi ide tersebut. Yaitu tulisan, narasi, susunan kata, foto atau video yang dihasilkan,” jelasnya.
Mengopas seluruh atau sebagian besar isi berita tanpa izin pemegang hak cipta (media asli) adalah bentuk pelanggaran serius. Konsekuensinya, media atau wartawan yang memiliki berita tersebut dapat mengajukan teguran, permintaan penghapusan (takedown), hingga gugatan hukum.
Selain sanksi hukum, oknum akun media sosial (konten kreator) juga menghadapi sanksi dari platform itu sendiri yang memiliki kebijakan terkait hak cipta. Platform melarang pengguna mengunggah konten yang melanggar hak cipta orang lain.
“Media asli dapat melaporkan akun yang menyalin berita mereka ke platform terkait,” ujar Iklil.
Sanksi dari platform bisa beragam. Mulai dari penghapusan konten, pembatasan akun, hingga penghapusan akun (suspensi permanen) jika pelanggaran dilakukan berulang.
Lebih lanjut, Ikliludin menyoroti aspek etika. Menurutnya, tindakan menjiplak karya orang lain dan menyajikannya seolah-olah sebagai karya sendiri adalah plagiarisme, dan merupakan dosa besar dalam dunia tulis-menulis.
Akun-akun media sosial semacam ini tidak menghargai proses. Mereka mengambil hasil kerja keras jurnalis yang meliput, menulis, dan menyunting, tanpa memberikan pengakuan atau kontribusi apa pun.
“(Padahal) perusahaan media pers dalam memproduksi berita itu tidak mudah. Butuh tenaga, waktu, pikiran dan biaya yang besar,” tegas Ikliludin.
Dampak terburuk dan bahaya dari praktik ini, kerusakan ekosistem informasi. Berita yang diambil dapat dipelintir judulnya atau dipotong agar terkesan sensasional, sehingga berpotensi menyesatkan pembaca.
Copas berita juga secara langsung merugikan media pemilik berita, karena mengalihkan traffic dan engagement yang seharusnya menjadi milik media asli. Jika pembaca sudah puas dengan salinan berita di akun medsos, mereka tidak akan mengunjungi situs web media aslinya.
Hal ini, menurutnya, merugikan media pers secara finansial karena kehilangan pendapatan dari iklan dan menghambat produksi berita berkualitas. “Jika ingin menjadikan pemberitaan media sebagai konten, para konten kreator harus mengantongi izin dari media bersangkutan,” imbuh Iklil mengingatkan. (tim)
