Kekerasan Anak di Dompu 2022 Ternyata Mencapai 88 Kasus, Apa Saja yang Dilakukan Pemda Selama Ini?

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kabupaten Dompu Hj. Daryati Kustilawati. (ist/lakeynews.com)

KALAU Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) Kabupaten Dompu mengungkap kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2022 di daerah hanya 59 kasus, data Pemkab justeru jauh lebih tinggi.

Data tersebut disampaikan secara kesatria oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kabupaten Dompu Hj. Daryati Kustilawati.

“Berdasarkan data yang tercatat oleh UPTD PPPA sejak Januari hingga Desember 2022, terdapat 88 kasus anak di Kabupaten Dompu,” kata Umi Yat (sapaan akrab Hj. Daryati Kustilawati) pada Lakeynews.com, Jumat (6/1) malam ini.

Baca juga: Memprihatinkan, Raih Anugerah KLA tapi Kasus Kekerasan Anak di Dompu juga Meroket

Sebanyak 59 dari 88 kasus tersebut, lanjut Umi Yat, terdata anak sebagai korban/saksi. Sisanya, 29 kasus adalah anak sebagai pelaku.

Dari data tersebut, anak sebagai korban/saksi kekerasan fisik dan psikis menempati angka tertinggi, 25 kasus. Disusul korban/saksi kekerasan seksual dengan 22 kasus, berikut kasus-kasus lainnya.

Sedangkan kasus anak sebagai pelaku, kasus terbesar adalah penyimpangan perilaku sosial, 15 kasus. Berikutnya, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) sebanyak 10 kasus dan disusul beberapa kasus lain.

Berikut selengkapnya data/rekapan kasus anak di Kabupaten Dompu, dari Januari hingga Desember 2022:

Sumber data: Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kabupaten Dompu.

Dijelaskan Umi Yat, dari 88 kasus tersebut, 100 persen telah tertangani. 90 persen diantaranya telah diterminasi, sisanya masih akan didampingi dalam 2023.

“Yang akan didampingi ini adalah kasus yang sedang berlangsung proses hukumnya dan masih butuh pendampingan psikologi,” tuturnya.

Khusus kasus kekerasan seksual, berdasarkan hasil asessment yang dilakukan Psikolog Klinis Najwah Naeli, dipetakan beberapa faktor penyebabnya.

Umi Yat menyebut setidaknya lima penyebab dimaksud;

Pertama, kurangnya pendampingan dan edukasi dari orang tua dan sekolah terkait pendidikan seksual sejak dini.

Kedua, kurangnya kontrol dan pengawasan dari orang tua. Misalnya anak ditinggal sendiri di rumah dan orang tua pergi berladang.

Ketiga, kurangnya peran bapak dalam memberikan perlindungan dan pengawasan pada anak. Bahkan bapak kandung justeru sebagai pelaku kekerasan seksual pada anak. Ini karena jauh dari istrinya. Istri menjadi TKW, bertahun-tahun tidak pulang. Kebiasaan bapak yang sering menonton video asusila (video bokep, red) dan anak menjadi sasaran pelampiasan nafsu seks (nafsu bejat) bapaknya.

Keempat, pengaruh media internet. Misalnya, pelaku dan korban berkenalan melalui Medsos, janjian ketemu dan terjadi kasus.

Dan, kelima, pengaruh negatif lingkungan, misalnya pacaran berlebih dan sebagainya. Pengaruh negatif lingkungan tempat tinggal, seperti anak tinggal di pinggir kali sering melihat teman sebaya, atau orang dewasa mandi atau BAB/BAK minim busana, itu memengaruhi perilaku anak.

Mengetahui faktor-faktor penyebab itu, pemerintah melakukan berbagai upaya pencegahan. Antara lain, melalui pembentukan Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat di Desa/Kelurahan, Pembentukan Forum Puspa sampai dengan pembentukan Satgas PPA.

Disamping itu, melakukan sosialisasi dan penyuluhan melalui kegiatan DP3A Goes to School yang menyasar siswa-siswa di sekolah. Berikutnya, sosialisasi peningkatan kualitas hidup perempuan guna meningkatkan ketahanan keluarga dengan meningkatkan peran orang tua dalam keluarga.

Disamping itu, sebagai upaya meningkatkan layanan perlindungan anak, dibangun sinergitas antara pemerintah daerah dengan aparat penegak hukum. Hal tersebut diwujudkan melalui MoU Perlindungan Perempuan dan Anak.

Bukan itu saja, dilakukan rapat-rapat koordinasi pencegahan dan penanganan kasus pemanahan, rapat koordinasi satuan tugas perlindungan perempuan dan anak, serta rapat koordinasi aparat penegak hukum dalam penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak.

“Kami juga melakukan peningkatan kapasistas penyedia layanan perlindungan perempuan dan anak, baik di tingkat kabupaten, kecamatan sampai dengan tingkat desa dan kelurahan,” urai Umi Yat.

Terkait Kabupaten Layak Anak (KLA), penanganan kasus kekerasan terhadap anak masuk dalam Klaster V (perlindungan khusus). Melalui UPTD PPA yang telah dibentuk dengan Peraturan Bupati Nomor 43 Tahun 2020, menjadi lebih komprehensif dengan memberikan pelayanan.

Pelayanan dimaksud Umi Yat tersebut berupa; pengaduan, pendampingan dan penjangkauan, pendampingan tenaga ahli (psikolog dan advokat), rumah perlindungan, pemulangan, reintegrasi sosial, dan pemulihan atau rehabilitasi.

Upaya-upaya tersebut menjadi catatan positif Kementerian PPPA dalam memberikan penilaian KLA khusus pada Klaster V.

Artinya, tegas Umi Yat, Pemkab Dompu tidak hanya melihat dan menonton kasus anak yang terjadi di daerahnya. Namun, tetap memberikan perhatian dan menangani secara serius.

“Pemkab Dompu membangun sinergitas, mengeluarkan kebijakan dan menyediakan sarana prasarana untuk mendukung peningkatan layanan penanganan kasus. Sehingga, semua kasus dapat tertangani dan hak-hak anak dapat terpenuhi,” ucapnya.

“KLA tidak Melulu Kasus Kekerasan Terhadap Anak”

Umi Yat juga menegaskan, KLA tidak melulu tentang tinggi atau rendahnya kasus kekerasan terhadap anak. Lebih dari itu, mencakup indikator yang lebih luas dan tanggung jawab dari berbagai pihak.

Diketahui, pada 22 Juli 2022, Kabupaten Dompu kembali meraih predikat sebagai Kabupaten Layak Anak Tingkat Madya.

Predikat ini disematkan Kementerian PPPA RI mengevaluasi penyelenggaraan perlindungan anak dan perlindungan khusus anak di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, termasuk Kabupaten Dompu.

Menurut Umi Yat, untuk dapat meraih predikat KLA di tingkat teratas, Kabupaten Dompu masih harus berproses dan terus berbenah diri.

“Keterlibatan berbagai pihak dalam upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak, harus benar-banar nampak dan terdokumentasi dengan baik. (sarwon al khan)