Oleh: Danang Febriansyah

 

15 Agustus
Di sebuah tikungan, Manik, remaja kurus 13 tahun menabrak seorang kakek yang sedang memikul dua keranjang berisi bibit tanaman. Manik terpental jatuh, sementara si kakek sedikit oleng, namun segera bisa menguasai diri.

Danang Febriansyah. (ist/lakeynews.com)

Ringkel, orang tua itu menatap Manik. Dilihatnya Manik meringis menahan sakit sambil mengusapkan ludah ke luka lecet di kakinya.

“Hanya lecet. Lelaki tak pernah menangis karena lecet, Ringkel membetulkan tali keranjangnya yang hampir terlepas dari pikulan dan segera berlalu.

Manik melihat dua keranjang berisi bibit pohon. Untuk apa bibit pohon di desa yang subur ini? Pikirnya. Kemudian ia berjalan mengikuti Ringkel.

“Kenapa kamu mengikutiku? Kenapa tidak ikut keramaian di balai Desa bersama teman-temanmu mempersiapkan karnaval lusa?” Ringkel bertanya pelan dan terdengar berat.

“Hanya ingin tahu. Kenapa kakek membawa bibit pohon dan berjalan menuju bukit yang subur? Manik menjawab dengan tenang.

Ringkel diam saja dan terus berjalan. Beberapa lama kemudian jalanan mulai menanjak. Meninggalkan rumah-rumah penduduk yang tak terlihat lagi dari sisi bukit. Jalanan makin menyempit. Hutan pinus terhampar dan pohon yang menyerupai cemara itu menjulang. Pada batangnya dipasang batok kelapa beberapa diantaranya menggunakan kaleng untuk menampung getah pinus dari batang yang telah digores.

“Sejak kapan pinus-pinus ini tumbuh? tanya Manik mengedarkan pandangan pada pohon-pohon pinus di bukit.

“Sejak kamu belum lahir dan orang tuamu masih seusia kamu saat ini.”

Ringkel berhenti dan duduk di sebuah batu. Dilepaskan topinya untuk mengipas badannya.

“Ini pekerjaanku tiap hari. Dan pinus-pinus ini adalah lahan penghasilan penduduk dengan getah-getahnya itu. Meskipun begitu kalau tidak ada air bersih yang mengalir ke rumah-rumah apa artinya?”

“Tapi bukankah desa kita subur? sanggah Manik.

“Subur, tapi mata air kering itukan aneh ? Kita orang desa dan tinggal di lereng perbukitan, tapi kekeringan. Tentu ada yang salah, urai Ringkel. Kalau saja hanya pinus yang tumbuh di bukit ini, semua penduduk desa sampai saat ini akan terus kekeringan.”

“Jadi ada pohon lain selain pinus yang tumbuh di bukit ini?”

“Ya. Dan pohon-pohon itu yang mengikat air dan meluberkan mata air yang kini telah kita rasakan semua. Sementara pinus tidak bisa mengerjakan tugas itu.”

“Pohon apa?”

“Beringin. Pohon yang mengikat air dan membuat desa kita tidak banjir lagi, kata Ringkel yang kemudian menanam bibit beringin di tepi jalan setapak yang dilaluinya.

Manik mengangguk mengamati Ringkel menanam pohon. Ia kemudian memanjat sebuah pohon yang tumbuh di tepi jalan setapak. Manik terlihat bahagia melihat buah pohon talok yang dipanjatnya memerah dan begitu ranum.

“Itu makanan buat monyet. Ringkel menyahut Manik yang lahap memakan buah talok. Kalau tidak ada pohon talok ini, monyet hutan akan turun dan merusak pekarangan penduduk. Seperti dulu.”

“Kakek juga yang menanam pohon talok ini?”

“Ya. Sebab talok mudah tumbuh dan berbuah tidak kenal musim. Setiap hari berbuah dan setiap hari ada yang matang, memerah seperti itu.”

Mereka pun kembali berjalan dan tak lama kemudian pohon-pohon pinus kian jarang. Berganti pemandangan pohon-pohon beringin dan sejenisnya. Cicit burung ramai terdengar. Jalan setapak yang mereka lalui menyuarakan patahan ranting kering yang mereka injak. Selebihnya sepi.

“Sejak kapan kakek menanam pohon di bukit ini? tanya Manik. Meski matahari mulai naik, tapi seiring makin tinggi bukit yang mereka tapaki, pemandangan mulai berubah semakin sejuk seiring angin yang berhembus di perbukitan itu.

“Tahun 1995. Kamu belum lahir. Jauh sebelum itu dan beberapa tahun setelah itu, kemarau atau penghujan, desa kita selalu kekurangan air bersih. Bahkan tak jarang kalau musim penghujan tanah longsor dan banjir menimpa desa kita. Saat seperti itu, pohon pinus tidak berguna. Makanya, menanam pohon beringin akan jauh lebih bermanfaaat.”

Manik mencoba memahami apa yang dikatakan Ringkel. Matahari beranjak tepat di atas kepala. Bibit pohon yang mereka bawa telah habis ditanam. Mereka duduk menikmati semilir angin sambil melepas lelah sebelum nanti kembali menuruni bukit untuk pulang. Ringkel mengambil dahan-dahan kering dan dimasukkan dalam keranjangnya. Dari dahan-dahan kering yang berserakan di sekitar hutan itu, Ringkel esok akan menjualnya ke pasar untuk keperluan hariannya.

Sementara Ringkel mengumpulkan dahan-dahan, Manik masih memendam banyak pertanyaan yang mengendap dalam pikiranya. Mereka berjalan dengan diam. Hanya desau angin dan suara burung yang mengiringi mereka.

***
16 Agustus
Sepasang mata mengintip kegiatan Ringkel dan istrinya pagi ini dari samping rumah. Sepasang mata bening menyiratkan semangat masa depan. Ringkel menyadari hal itu.

“Kau libur? tanya Ringkel yang tahu kalau yang mengintip adalah Manik. Tidak masuk sekolah? tanyanya lagi setelah Manik mendekati mereka.

“Libur, jawab Manik singkat. Mau ke bukit lagi? Boleh ikut? lanjutnya terdengar seperti memohon.

“Kegiatan di Balai Desa mulai digelar. Kamu tidak ikut?”

“Ikut. Tapi nanti siang saja,” jawab Manik. Banyak tanaman cengkeh, buat apa? Bukankah cengkeh juga tidak menyerap air? Manik melihat banyak bibit cengkeh di sana.

“Banyak orang butuh bibit cengkeh. Di sini mereka tidak perlu beli. Cukup ditukar dengan bibit beringin. Nantinya bibit beringin itu kutanam di hutan sana.”

Manik mengangguk. Memahami yang dikatakan Ringkel. Ia kemudian duduk di depan Ringkel seakan siap mendengarkan yang dikatakan kakek tua itu, seperti murid yang siap mendengarkan pelajaran di kelas.

“Dulu tahun 1965, hutan di bukit desa kita ini terjadi kebakaran hebat. Dampaknya bukit menjadi gosong. Gundul. Padahal sebelum terjadi kebakaran, desa kita ini tak pernah kehabisan air. Desa kita ini begitu makmur. Tapi kebakaran yang terjadi secara alamiah itu menyisakan sumber mata air yang kian kecil dan mengering. Kita kehabisan air. Kekeringan terjadi pada saat kemarau, bahkan kekeringan juga terjadi di musim penghujan. Ringkel menjelaskan sebuah lintasan sejarah pada anak kecil itu.

“Lalu setelah itu tumbuh pinus?”

“Tidak. Itu terjadi beberapa tahun setelah kebakaran, sekitar tahun 1980-an. Pemerintah yang berinisiatif menanam pinus agar warga desa punya penghasilan dengan menyadap getah pinus. Tujuan pemerintah tersebut jelas sangat baik. Hutan tidak lagi gundul dan warga desa memiliki penghasilan.”

Obrolan mereka terhenti saat seorang yang memakai kacamata datang membawa bibit beringin.

“Wah, Nak Guru. Mau bibit cengkeh lagi? Ringkel menyambut kedatangan seorang pemuda berusia sekitar 25 tahun yang berprofesi sebagai guru dengan senyuman hangat.

Melihat cara menyambutnya, Ringkel terlihat sudah akrab dengan guru muda itu dan terlihat menghormati profesinya. Dan guru itu juga sudah sering datang ke rumah Ringkel.

“Biasa, Kek. Belum berangkat ke Balai Desa? Kabarnya ada perayaan Agustusan. Guru itu membetulkan letak kacamatanya yang agak melorot. Dia memilih bibit cengkeh.

“Mereka yang merdeka saja yang merayakannya.”

“Lha kita kan juga termasuk yang merdeka? katanya sambil mengambil sebuah bibit cengkeh yang dianggap baik.

“Beringin-beringin kecil ini belum tertanam semua. Masih banyak lahan hutan yang belum hijau. Kadang monyet masih ada yang nekat masuk pekarangan warga. Lalu, air belum semua orang merasakan air bersih setelah tahun-tahun sebelumnya merasakan kekeringan … Ringkel memberi jeda sejenak untuk menghela napas. Merdeka dari mana?”

Wah, konyol benar orang tua ini. Edan! Batin guru muda itu. Wajar kabar yang dihembuskan kepala desa kalau kakek ini gila. Namun pikiran-pikiran gila seperti itu hanya dimiliki orang-orang yang peduli.

Pemuda berkacamata itu rupanya salut dengan yang dikerjakan Ringkel. Sebenarnya dia mengamati apa yang dilakukan Ringkel sudah lama, maka Ringkel terlihat akrab dengannya yang memang sering berkunjung ke rumah itu.

Ia membenarkan apa yang dikatakan Ringkel. Air bersih belum mengalir ke rumah seluruh warga. Namun usaha Ringkel ini pelan tapi pasti mulai menunjukkan hasilnya. Air bersih mulai bisa dinikmati di desa ini.

Tetapi banyak orang tidak menyadari apa yang dilakukan Ringkel. Banyak yang menganggap sikap Ringkel yang selalu bergumul dengan bibit pohon hanya untuk menghibur tekanan hidup karena kemelaratannya. Karenanya banyak warga yang terpengaruh dan menganggap Ringkel benar-benar gila. Rumahnya terjepit diantara dua rumah yang cukup megah, berdinding bambu dan berlantai tanah, terlihat seperti kandang ternak.

Melihat kegigihan ini, aku tidak percaya dia gila. Dan apa yang kulakukan beberapa bulan lalu agar semua orang tahu usaha kakek tua ini pastinya tidak akan sia-sia. Aku yakin, apa yang dilakukannya akan mempengaruhi banyak orang untuk peduli pada lingkungannya. Setidaknya ada simpati yang tumbuh. Guru muda itu membatin. Saat tersadar dari lamunan. Dia membetulkan letak kacamatanya yang melorot dan memasukkan bibit cengkeh pada tas yang dibawanya. Setelah itu dia mengucap salam dan meninggalkan rumah Ringkel.

Ringkel melihat Manik masih ada di sana. Pulanglah, Nak. Ikutlah perayaan dan lomba-lomba itu. Kabarnya besok juga ada pawai. Ikutlah, sebelum bapakmu marah. Duniamu masih panjang. Jangan kau habiskan hanya melihat apa yang kulakukan ini. Nanti kau juga dianggap gila.”

“Aku ikut kamu saja. Aku ingin belajar, sahut Manik, mengabaikan saran Ringkel.

“Ingat, seseorang akan menilaimu dari siapa temanmu atau orang di dekatmu. Kalau kau berteman dengan orang tua sepertiku ini, apalagi dianggap gila, bisa-bisa kau juga dianggap gila. Kasihan bapakmu yang kepala desa itu. Jangan sampai bapakmu malu dan memarahimu karena tahu kamu main ke sini.”

“Memang sejak bapak menjadi kepala desa, aku dilarang main ke sini.”

“Maka pulanglah.”

“Baiklah, Manik akhirnya menyerah. Tapi berjanjilah kamu akan mengajariku cara menghijaukan bukit.”

“Ya, aku janji. Ringkel tersenyum tulus.

“Tak hanya menghijaukan. Tapi memilih pohon yang mampu menyerap air. Kelak, aku ingin meneruskan usahamu ini. Biar tak hanya desa kita saja yang teraliri air, tapi air yang bersih juga mengalir ke desa-desa lain yang juga sering kekeringan seperti yang kau ceritakan.”

Ringkel terkekeh mendengar Manik dan semangatnya itu. Tampak Manik berbeda dengan bapaknya yang penuh dendam semenjak kemenangannya yang tipis pada pemilihan kepala desa.

Melihat Manik, ia seperti merasakan oasis di sebuah bukit. Air dalam kantung air. Tak terasa air matanya turun. Terkenang anaknya saat seusia Manik harus meninggal karena kebakaran hutan. Sekejap, kenangan pada anaknya puluhan tahun lalu itu muncul.

Belum sempat Manik pergi, bapaknya dengan langkah yang mantap dan panjang datang dengan amarah. Manik tampak ketakutan. Sementara Ringkel terlihat tenang. Kepala desa yang merupakan bapak Manik langsung menggenggam tangan anaknya dengan erat.

“Kau kakek tua! Kalau kau tak ingin diamuk warga atau tak mau dipasung, jangan pernah mendekati wargaku yang waras! Silakan gila sendiri bersama orang yang kau dukung dulu. Jangan ajak wargaku. Apalagi anakku! teriak Kepala Desa sambil menunjuk Ringkel.

“Aku juga wargamu. Warga desa ini, sanggah Ringkel tenang.

“Hah, apa kau bilang? Saat pemilihan kades lalu kau tak memilihku. Sekarang kau bilang wargaku. Jangan muluk kalau berharap. Tak cukupkah kau kukabarkan gila? Itu hukumanmu. Dan juga orang-orang sepertimu! Kepala Desa berkacak pinggang lalu segera pergi menarik anaknya.
“Orang-orang yang datang ke sini mencari bibit cengkeh. Ringkel masih bicara, napasnya naik turun.

Kepala Desa berhenti dan berbalik lagi. Kau pikir mereka butuh? Mereka hanya kasihan padamu! Pada orang tua yang gila!” sahut Kepala Desa bersungut-sungut, sebentar lalu pergi begitu saja.

Istrinya keluar menenangkan suaminya. Ringkel hanya diam, mulutnya mengatup rapat. Pikirannya berkecamuk pada makian Kepala Desa.

“Melihat Manik aku merasa anak kita kembali hadir. Dia akan meneruskan usaha kita.” Suara Ringkel terdengar bergetar menahan gemuruh di dadanya.

Lalu Ringkel beranjak mengambil keranjangnya dan berangkat menuju bukit.

***
17 Agustus
Di rumahnya, Ringkel duduk di teras sambil memandangi tanamannya. Istri Ringkel keluar dan mendekatinya. Cicit burung emprit saling bersahutan di dahan-dahan pohon. Seekor kadal melintas cepat di jalan depan rumahnya lalu menyelinap ke dalam semak.

“Tidak ke bukit? Istrinya membuka pembicaraan.

Ringkel diam tak menjawab. Pandangannya jauh ke depan. Menembus batas ruang dan sampai di lapangan kecamatan. Berdiri tegap matanya memandang ke depan menyimak dengan seksama pembacaan teks proklamasi. Membayangkan saat Bung Karno membacakannya dengan penuh wibawa yang didengarnya dari radio yang di putar di balai desa.

“Masih sakit hati dengan Kepala Desa? istrinya memancing pembicaraan.

“Baru kemarin Kepala Desa memakiku sedemikian rupa. Kini Ringkel membuka suara. Memang aku sering mendengar Kepala Desa masih membenci para pendukung lawannya saat pemilihan kepala desa. Saat itu aku kurang percaya, dia menang jadi buat apa mendendam? Namun baru kemarin aku rasakan dan ternyata dia juga yang membuat kabar burung kalau aku gila. Ringkel menarik napas dalam, membuang ruang paru-parunya yang penuh dengan beban pikiran.

“Jangan kamu berhenti berbuat baik meski banyak orang mencibirmu, hibur istrinya yang dijawab dengan helaan napas Ringkel.

Tak berapa lama kemudian terlihat iring-iringan mobil melintasi jalan desa yang berbatu. Hal itu tak lepas dari penglihatan pasangan tua tersebut.

“Karnaval rupanya telah dimulai, gumam Ringkel.

Iring-iringan mobil semakin jelas terlihat dari rumahnya dan sesaat kemudian iring-iringan mobil tersebut berhenti di depan rumah Ringkel.

“Bukan karnaval. Lihat, ada pejabat turun dari mobil. Salah apa dengan kita? Ringkel terlihat bingung.

Dilihatnya seorang turun dari mobil paling depan dengan pakaian jas berwarna putih. Dikepalanya tertutup topi berwarna putih juga. Orang itu berjalan dengan memandang Ringkel sambil tersenyum. Di belakangnya Kepala Desa juga berjalan dengan agak menunduk. Lalu disusul beberapa orang yang terlihat turun dari mobil. Seketika ramai penduduk melihat kejadian di rumah Ringkel tersebut.

“Kenapa Kepala Desa berjalan menunduk di belakang orang itu. Kegagahannya dan kesombongannya hilang di belakang pejabat yang berjalan di depannya.”

Manik menyeruak dari dalam rombongan dan berlari mendahului langkah orang-orang itu.

“Dia Pak Camat. Dia tahu usaha kakek menanam pohon. Dia akan memberikan penghargaan, kata Manik terengah-engah.

Belum sempat menanggapi apa yang dikatakan Manik, Ringkel kaget dengan banyaknya lampu kilat kamera yang mengarah padanya. Rupanya dalam rombongan itu juga turut serta beberapa wartawan. Penduduk makin berjubel melihat dari luar pagar.

“Kau mampu membaca alam dan berpikir ke depan, lalu berbuat tanpa pamrih dan membuat banyak orang merasakan air bersih. Kau pahlawan bagi banyak orang. Pak Camat berkata dengan suara yang mantap kemudian menjabat tangan keriput Ringkel dengan erat.

Ringkel masih belum begitu bisa mencerna apa yang dikatakan Pak Camat. Dirinya masih terkejut kedatangan banyak orang di rumahnya.

“Kakek mendapat penghargaan. Lihat piala itu, sela Manik sambil menunjuk sebuah piala berbentuk pohon yang dibawa ajudan Pak Camat.

Kemudian Pak Camat menyerahkan piala tersebut pada Ringkel sambil memberikan sejumlah uang dan beberapa bibit pohon beringin. Semua itu sebagai penghargaan padanya sebagai orang yang berjasa terhadap lingkungan. Namun Ringkel hanya tersenyum kecil menerima semua itu.

“Saya hanya orang gila. Tanya saja Pak Kepala Desa. Saya tidak pantas menerima semua ini. Berikan saja ini pada yang waras, Pak Kepala Desa misalnya, kata Ringkel terdengar menyindir. Ringkel melirik sekilas pada Kepala Desa yang masih menunduk. Lalu menatap Pak Camat kembali. Saya menanam pohon karena saya butuh air. Itu saja. Tidak butuh penghargaan seperti ini.”

“Nah, kaulah yang paling waras, Pak Tua. Lihat saja, banyak wartawan yang akan mewartakan kisahmu dengan baik. Juga mewartakan Kepala Desamu bersama sejumlah kasusnya yang ditutupi, ujar Pak Camat.

Seseorang diantara penduduk mengawali sebuah tepuk tangan. Dan perlahan tepuk tangan menggema diantara para penduduk. Mereka mengelu-elukan Ringkel.

Diantara penduduk yang berjubel itu, ada seorang yang terlihat tersenyum puas atas informasi yang disampaikannya pada pejabat Kecamatan. Seorang yang mengawali tepuk tangan. Setelah bertepuk tangan dengan semangat, seorang itu membetulkan letak kacamatanya yang melorot.

 

)* Penulis pernah tergabung FLP Solo. Kini mencoba mengelola taman baca di desa. Tinggal di Wonogiri. Karyanya sudah banyak dipublikasikan di media dan dibukukan.