Kapolres Bima Kabupaten AKBP M. Eka Fathurrahman, SH, S.Ik. (ist/lakeynews.com)

AKBP Eka: Sampai Kapan Ini Terus Terjadi? Saya Merasa Sedih dan Menangis

Belakangan ini Kabupaten Bima dilanda konflik warga antarkampung bertubi-tubi. Yang terbaru, meletusnya bentrok antarwarga Desa Penapali dengan Desa Dadibou, Kecamatan Woha. Peristiwa itu cukup menyita perhatian luas karena disertai pemblokiran jalan dan berlangsung selama beberapa hari.

===========

MASALAH tersebut tentu saja memantik perasaan warga Bima dimanapun. Baik mereka yang ada di Kabupaten dan Kota Bima, Kabupaten Dompu hingga di Kota Mataram, maupun di luar Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), begitu prihatin.

Perasaan yang sama juga dialami Perwira Menengah (Pamen) Polisi AKBP M. Eka Fathurrahman, SH, S.Ik. Putra asli dan kelahiran Bima sekitar 42 tahun lalu itu, kini dipercaya menjabat Kapolres Bima Kabupaten.

Eka (sapan akrabnya) tidak mampu menyembunyikan perasaan dan kebatinannya terkait bentrokan antarwarga yang terus menerus serta silih berganti terjadi di daerah asalnya.

Hal itu terkuak dalam wawancara Lakeynews.com dengan lelaki yang tangis pertamanya meledak pada tahun 1975 tersebut. Saat chatting via WhatsAPP pribadinya yang berlangsung hingga lewat tengah malam, Jumat (2/6/2017) pukul 00.48 Wita, Eka menumpahkan perasaannya.

“Sampai kapan kita biarkan konflik yang berkepanjangan ini terjadi dan terjadi terus? Saya sebagai orang Bima merasa sedih dan menangis,” tutur pria yang dikenal low profile tersebut.

Eka tidak habis pikir. Dengan nada tanya, dia kemudian mengatakan, apakah setiap penyelesaian suatu sengketa (hukum dan perselisihan) harus diselesaikan dengan cara-cara mereka sendiri? Memaksakan kehendak?

Dan, yang lebih parah lagi harus meletuskan senjata api (Senpi) rakitan, mengayunkan parang, melepaskan anak busur panah sampai melakukan pemblokiran jalan.

“Sebenarnya apa sih yang terjadi dengan masyarakat kita ini,” tanyanya. “Sampai kapan semua permasalahan konflik antarwarga ini akan berakhir,” lanjut Eka, juga dengan nada tanya.

(Dengan tidak bermaksud seolah menyetujui bentrok dengan komunitas lain) Eka mengatakan, kalau konfliknya terjadi dengan suku atau agama (ras) yang berbeda, mungkin masuk akal. “Tapi ini terjadi dengan saudara sendiri,” tegasnya.

Eka mengaku hanya bisa berdoa dan mengharapkan bantuan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. “Semoga segala konflik yang terjadi dan dilakukan oleh sesama saudara kita ini bisa segera selesai,” harapnya.

“Ya Allah… segala puji pujian hanya milik-Mu… penguasa seluruh alam semesta serta isinya ini… Engkau yang menciptakan kami… Kami pasti akan kembali pada-Mu… Ampunilah segala dosa-dosa kami, segala dosa-dosa warga Bima ini… Berilah mereka taufik serta hidayah-Mu… Jadikanlah kami manusia-manusia yang istiqomah, yang selalu pandai bersyukur atas segala yang telah Engkau berikan kepada kami… Jauhkan kami dari sifat iri dan dengki… Kabulkanlah doa kami ini… Amin Allahumma Amin… ya Robbal Allamin,” doa Eka lumayan dalam.

Di penghujung chatting-an, Eka mengaku, ungkapan tersebut datang dari lubuk hatinya yang paling dalam. “Ungkapan ini datang dari lubuk hati saya yang paling dalam, sebagai warga Bima yang sangat peduli dengan tanah leluhur saya,” paparnya. (sarwon al khan)