
Terganjal Kebijakan Moratorium; Sekelumit Kilas Balik Perjuangan; Rekomendasi Para Bupati/Wali Kota dan Ketua DPRD; Kongres Rakyat “PPS Harga Mati”; RDPU Komisi II DPR dengan KP3S; Gubernur NTB Usulkan Pembentukan PPS; KP3S Serahkan Berkas ke DPR; Elit Politik Gombal?; Akankah Presiden Cabut Moratorium? Menkumham Jaminannya.”
CATATAN: Sarwon Al Khan, Lakeynews.com
PERJUANGAN berbagai elemen masyarakat Pulau Sumbawa untuk terbentuknya Daerah Otonomi Baru (DOB) bernama Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) sudah berlangsung lama. Bahkan telah mencapai 24 tahun lebih. Namun, sampai pertengahan Mei 2025 ini tak kunjung berujung. Justeru makin suram, buram, kelam, dan gelap.
Karena itu, ribuan warga dari lima kabupaten dan kota se-Pulau Sumbawa berkumpul dan menggelar unjuk rasa di Cabang Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat pada Kamis (15/5/2025). Lima daerah dimaksud; Kabupaten Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, Bima dan Kota Bima.
Sedianya, aksi dibawa kendali Komite Percepatan Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP4S) itu direncanakan berlangsung hingga Senin (19/5/2025).
Namun, berkat kesigapan para pihak terkait dalam melakukan penggalangan, koordinasi dan negosiasi, akhirnya aksi yang sempat diwarnai penutupan Pelabuhan Poto Tano tersebut hanya berjalan sehari.
Hari pertama aksi, arus lalu lintas macet total. Antrean kendaraan mengular sampai beberapa kilometer. Hingga Pelabuhan Poto Tano juga lumpuh total selama beberapa jam.
Aksi nekat warga Pulau Sumbawa tersebut, antiklimaks dan wujud kekecewaan karena harapan besar serta perjuangan panjang untuk PPS belum juga terwujud.
Massa menuntut Pemerintah Pusat (Pempus) agar membuka mata dan membuka hati terhadap aspirasi warga Pulau Sumbawa. Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto segera mencabut moratorium (penundaan sementara) pembentukan DOB untuk kabupaten/kota dan provinsi.
Terganjal Kebijakan Moratorium
Dari berbagai informasi yang dihimpun Lakeynews.com, moratorium atau pemberhentian sementara pembentukan (pemekaran) DOB berlaku sejak tahun 2006. Kebijakan moratorium itu diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Moratorium tersebut tidak berlaku bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal tersebut karena ada amanat pembentukan daerah baru dalam Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001.
Alasan lain sehingga ada pengecualian pada dua provinsi itu, menurut mantan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin pada pers, karena daerah-daerah tersebut memiliki kondisi khusus yang memerlukan penanganan lebih intensif.
Tujuan moratorium, mengevaluasi pelaksanaan pemekaran daerah dan kinerja DOB. Memastikan bahwa pemekaran daerah tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat, dan tidak hanya menambah beban anggaran pemerintah pusat.
Evaluasi dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Beberapa waktu lalu diketahui, hasil evaluasi menunjukkan sebagian besar DOB tidak berkembang. Menyusul tidak adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan anggaran belanja daerah sebagian besar digunakan untuk belanja rutin.
Setelah moratorium, pemerintah fokus pada pembangunan infrastruktur, peningkatan pelayanan publik, dan penanganan masalah-masalah sosial yang dihadapi daerah otonomi yang sudah ada.
Sejauh ini, belum ada kepastian kapan moratorium akan dicabut. Masih seputar rencana yang belum kelar-kelar. Pernyataan demi pernyataan dari pejabat pemerintah pusat maupun DPR RI dinilai hanya untuk mengulur-ulur waktu.
Drama pertemuan dan rapat wakil rakyat bersama wakil pemerintah pun telah berulang kali dipertontonkan. Seiring dengan itu, pejabat-politisi dan kembali melontarkan pernyataan (penjelasan) pada publik yang berkutat dan masih bermain pada wilayah janji.
Kendati demikian, usulan dan aspirasi pembentukan DOB tak terbendung. Tetap bermunculan, baik provinsi dan kota/kabupaten, maupun daerah istimewa dan otonomi khusus baru.
Pengamatan media di, lagi-lagi pembentukan atau pemekaran DOB terus menjadi wacana di lembaga legislatif. Tentu berbarengan dengan obrolan terkait isu pencabutan moratorium.

Sekelumit Kilas Balik Perjuangan
Catatan Lakeynews.com, seperti disampaikan di awal tulisan (di atas), perjuangan untuk mewujudkan harapan terbetuknya Provinsi Pulau Sumbawa sudah berlangsung lebih dari 24 tahun.
Diawali dengan Deklarasi Pembentukan PPS oleh tokoh-tokoh dan warga Pulau Sumbawa di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada 14 Januari 2001 (informasi dari Ketua KP3S Jakarta H.M. Saleh Umar dilansir Donggonews.com, red).
Rekomendasi Para Bupati/Wali Kota dan Ketua DPRD
Singkat cerita, setelah hampir enam tahun kemudian, para Bupati/Wali kota dan Ketua DPRD se-Pulau Sumbawa mengeluarkan rekomendasi. Menyetujui dan menyepakati terbentuknya PPS.
Hal tersebut berdasarkan Surat Persetujuan Bersama Para Bupati/Wali Kota dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota Se-wilayah Calon PPS, tanggal 19 November 2006.
Persetujuan bersama itu untuk menyikapi aspirasi yang berkembang dari masyarakat dan dalam kerangka menciptakan pemerintahan yang efektif, sehingga tercapai tujuan pembangunan, masyarakat Pulau Sumbawa yang adil dan makmur.
Selain menyepakati terbentuknya PPS, persetujuan bersama tersebut memuat dua poin lain. Salah satunya menyebutkan, Ibukota PPS di Sumbawa Besar.
Poin lain menyebutkan, apabila dari hasil kajian Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) Pusat dan atau lembaga/instansi lain menyatakan bahwa Sumbawa Besar tidak layak menjadi Ibukota PPS, maka Pemkab Sumbawa dan Sumbawa Barat akan menarik diri dari pembentukan PPS.
Belakangan ini, Surat Persetujuan Bersama tersebut kembali beredar luas dan berantai di beberapa platform media sosial.
Kongres Rakyat “PPS Harga Mati”
Sekitar lima tahun kemudian, Komite Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP3S) yang diketuai Hj. St. Maryam R. Salahuddin atau biasa disapa Ina Ka’u Mari (almarhumah) menyelenggarakan Kongres Rakyat Pulau Sumbawa.
Kongres yang dirangkaikan dengan Deklarasi “PPS Harga Mati” itu dipusatkan di Kabupaten Sumbawa. Tepatnya, di Lapangan Karato, Sumbawa Besar, Minggu (27/2/2011).
Pantauan penulis saat itu, ribuan warga dari berbagai penjuru Pulau Sumbawa hadir memadati lapangan. Penulis hadir di sana atas undangan Ina Ka’u Mari dan Ketua Panitia Kongres H. Sulaiman Hamzah (almarhum) dari Bima.
Beberapa anggota DPR dan DPD RI asal NTB, beberapa anggota DPRD NTB, para bupati/wali kota, para anggota DPRD kabupaten/kota se-Pulau Sumbawa, serta mantan Gubernur NTB H. Harun Al Rasyid pun hadir kala itu.
Sayangnya, meski kabarnya diundang, tak satupun pejabat Provinsi NTB yang hadir. Termasuk Gubernur TGH. M. Zainul Majdi yang biasa disapa Tuan Guru Bajang (TGB).
Pada kesempatan itu, tokoh-tokoh Pulau Sumbawa yang hadir, tampil menyampaikan orasi. Salah seorang diantaranya, Bupati Bima H. Ferry Zulkarnaen (meninggal dunia dua tahun kemudian, 26 Desember 2013).
“Mari kita doa bersama agar Provinsi Pulau Sumbawa terwujud,” harap Ferry yang berorasi setelah H. Harun Al Rasyid.
Pada segenap masyarakat NTB, Ferry menyampaikan permohonan maaf. “Bukan kami ingin memisahkan diri. Tapi, karena rakyat Pulau Sumbawa ingin lebih sejahtera,” katanya.
“Juga bukan karena kami benci dengan keluarga kami dari Lombok. Tetapi, kami ingin lebih maju lagi dari hari ini,” sambung almarhum yang akrab disapa Dae Ferry itu.
RDPU Komisi II DPR dengan KP3S
Hanya sekitar 13 hari setelah Kongres Rakyat Pulau Sumbawa, Komisi II DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan KP3S, 9 Maret 2011. Bersama KP3S dalam RDPU itu, ada Komite Pembentukan Kota Samawa Rea (KPKSR) Provinsi NTB, dan Bupati Tolikara.
RDPU yang dihadiri 32 dari 49 anggota Komisi II DPR itu dipimpin Ketua Komisi II, H. Chairuman Harahap.
Hadir pula saat itu, Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Sumbawa, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Bima, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Ketua DPRD Kabupaten Sumbawa Barat, dan Ketua DPRD Provinsi NTB. Berikutnya, unsur KPKSR, selain Bupati Tolikara.
Agenda RDPU, penyampaian aspirasi pembentukan PPS dan Kota Samawa Rea. Ketua KP3S Hj. St. Maryam R. Salahuddin dan Bupati Sumbawa Barat H. Jamaluddin Malik, menyampaikan panjang lebar terkait perjuangan pembentukan PPS.
Disinggung juga masalah belum adanya tanggapan Gubernur NTB dan mendesak Gubernur agar segera memroses rekomendasi serta usulan pembentukan PPS.
Komisi II DPR mengapresiasi KP3S, KPKSR, dan Bupati Tolikara. Namun, khusus kepada KP3S, DPR punya catatan terkait dengan persyaratan yang kurang. “Surat Keputusan Gubernur NTB harus segera dilengkapi, juga kekurangan lainnya,” arahan Ketua Komisi II DPR H. Chairuman Harahap, saat memimpin RDPU.
2013, Gubernur NTB Usulkan PPS
Gubernur NTB kala itu, TGH. M. Zainul Majdi menandatangani usulan pembentukan PPS pada 4 Januari 2013, dua tahun setelah kongres rakyat. Kemudian menyampaikan usulan tersebut ke DPR RI.
Itu dilakukan mantan Gubernur NTB yang akrab sapa Tuan Guru Bajang (TGB) setelah semua dokumen administrasi pendukung dinyatakan rampung. Termasuk menyangkut dukungan anggaran dan aset.
Dengan ditandatanganinya berkas usulan tersebut, Pemprov NTB sebagai provinsi induk secara resmi mengajukan usulan pembentukan PPS.
Berkas usulan itu, antara lain, rancangan dukungan APBD Provinsi NTB untuk dua tahun PPS. Masing-masing, Rp. 8 miliar untuk tahun pertama dan Rp. 8 miliar untuk tahun kedua.
“Kemudian rancangan dukungan anggaran Rp. 9 miliar untuk penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Pulau Sumbawa,” kata Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Setda NTB (saat itu) H. Lalu Sajim Sastrawan, sebagaimana dilansir Kabarntb.com.
Ada juga dokumen rencana pelimpahan sejumlah aset berupa tanah dan bangunan, dokumen penyerahan 3.054 orang PNS (pegawai negeri sipil) dari Pemprov NTB kepada Pemprov Pulau Sumbawa juga sudah ada.
KP3S Serahkan Berkas ke DPR
Sebelumnya telah diserahkan sejumlah berkas persyaratan usulan pembentukan PPS dari Pemprov NTB ke DPR RI. Namun, dianggap masih kurang dan diminta agar menyerahkan yang lebih lengkap, mencakup semua hal yang disyaratkan.
Karena itu, sesuai arahan pimpinan Komisi II DPR, KP3S kembali menyerahkan berkas usulan pembentukan PPS dimaksud ke Komisi II dalam pertemuan koordinasi di Jakarta pada Kamis (14/3/2013).
Disamping KP3S, Wakil Gubernur NTB (saat itu) H. Badrul Munir, para pejabat terkait dari Pemprov NTB dan lima pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sumbawa, juga ikut menghadiri rapat koordinasi itu.
Komisi II DPR RI merespons positif upaya koordinasi terkait usulan pembentukan PPS itu. Bahkan, pascapertemuan tersebut, pimpinan Komisi II turun ke Pulau Sumbawa untuk melihat langsung kondisi daerah yang hendak dimekarkan menjadi provinsi baru.
Meski demikian, kesan tarik ulur pembahasann usulan pembentukan PPS ditunjukkan oleh DPR dan Pempus saat itu. Indikatornya, PPS tidak masuk bersama 19 usulan pembentukan DOB yang dibahas dan ditargetkan segera tuntas.
Bahkan, dari 19 usulan pembentukan DOB itu, baru lima usulan yang diagendakan untuk dibahas dan dituntaskan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013. Sementara 14 usulan lainnya dituntaskan kemudian.
Informasi yang diperoleh dari beberapa sumber saat itu, setelah tuntas 19 usulan tersebut, baru dilakukan pembahasan usulan pembentukan PPS bersama sejumlah usulan dari daerah lain.
Elit Politik Gombal?
Diketahui, kebijakan moratorium pembentukan DOB yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berlaku sejak tahun 2006. Dan, hingga kini belum dicabut.
Anehnya, hampir setiap suksesi politik, baik tingkat nasional maupun provinsi, baik Pemilu (Pilpres dan Pileg) maupun Pilgub NTB, isu mewujudkan PPS selalu muncul dan menguat.
Parahnya lagi, “permainan” kata-kata dan janji-janji yang dinilai gombal untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat itu kerap terlontar dari ucapan sejumlah elit nasional asal NTB. Bahkan juga dari Pulau Sumbawa sendiri.
Pada momen Pilpres 2024 lalu misalnya. Salah seorang politisi “papan atas” Indonesia, H. Fahri Hamzah pernah melontarkan pernyataan yang menyenangkan.
Mantan Wakil Ketua DPR asal Pulau Sumbawa itu mengatakan (lebih kurang), “Jika pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden (2024-2029), maka Provinsi Pulau Sumbawa akan terbentuk.”
Prabowo-Gibran telah dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 oleh MPR dalam Sidang Paripurna di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Minggu (20/10/2024). Artinya, sudah lebih dari setengah tahun menjabat.
Janji pria yang kini menjabat Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman itu belum ada tanda-tanda diwujudkan. Perbincangan soal PPS nyaris terlupakan oleh Fahri dkk, moratorium diketahui masih langgeng di tangan penguasa negeri.
Hingga antiklimaks dari semua itu, akhirnya masyarakat Pulau Sumbawa yang digawangi KP4S menggelar aksi besar-besaran sampai memblokade Pelabuhan Poto Tano, Kamis (15/5/2025).
Selain menuntut dan mendesak Presiden Prabowo mencabut moratorium DOB, juga berteriak menagih janji yang diucapkan Fahri. (Masih diupayakan konfirmasi Fahri Hamzah, red).
Jika dalam waktu tujuh hari terhitung mulai tanggal 16 Mei 2025, Presiden (Pemerintah Pusat) belum merespons tuntutan tersebut, masyakarakan mengancam akan kembali melakukan aksi besar-besaran. Juga dengan target dan sasaran yang tidak kalah mengkhawatirkan.
Pada sisi lain, masyarakat dan pemuda di Kota dan Kabupaten Bima juga terpantau tengah melakukan penggalangan untuk melakukan aksi serupa. Targetnya, melumpuhkan Bandara Muhammad Salahuddin Bima dan Pelabuhan Bima.
Jauh sebelum Fahri Hamzah, yakni pada Oktober 2013, Anggota Komisi II DPR utusan NTB H. Nanang Samodra, juga pernah mengungkapkan, bahwa usulan pembentukan PPS segera ditetapkan DPR.
Penetapan yang dilakukan dalam sidang paripurna dewan itu bersamaan dengan penetapan usulan 65 provinsi dan kabupaten/kota baru. Termasuk Kabupaten Lombok Selatan (KLS) yang juga perbincangannya hilang dari permukaan.
Nanang sempat berdalih, akan menunggu tanggapan presiden setelah disurati pimpinan DPR. Biasanya karena banyak yang diusulkan, akan disetujui secara bertahap.
“Mudah-mudahan pada tahap awal, termasuk usulan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dan Kabupaten Lombok Selatan,” harapnya sebagaimana dilansir Antaranews.com. (Nanang Samodra masih diupayakan konfirmasi kembali, red).
Akankah Presiden Cabut Moratorium? Menkumham Jaminannya
Sejauh ini Presiden Prabowo belum merespon dan memberikan tanggapan secara resmi. Namun, politisi Gerindra yang saat ini menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Dr. Supratman Andi Agtas, berani menggaransikan dirinya.
Ketika berbicara melalui telepon video (video call) dengan massa yang beraksi di Cabang Poto Tano, Kamis lalu, Supratman menegaskan komitmennya untuk mengawal pembentukan PPS.
“Saya pastikan, saya kawal. Salah satu DOB yang akan dibentuk adalah Provinsi Pulau Sumbawa,” tandasnya.
Pada Pileg 2024 lalu, Supratman maju sebagai calon anggota DPR RI melalui Dapil NTB 1 (Pulau Sumbawa). Namun, tidak terpilih.
Meski demikian, Supratman mengaku, memiliki keterikatan emosional dan sejarah perjuangan bersama masyarakat Pulau Sumbawa. Hal ini membuatnya merasa bertanggung jawab secara moral.
“Jiwa saya akan tetap bersama teman-teman di Pulau Sumbawa. Momentum ini harus dijaga, harus diperkuat. Tapi ingat, jangan ganggu ekonomi rakyat dan jangan rusak fasilitas umum,” imbuhnya.
Hebatnya lagi, Supratman sangat memahami kondisi psikologi massa yang beraksi. Dia menjaminkan dirinya.
“Selama saya hidup dan punya kesempatan, saya akan berdiri di depan, bersama kalian memperjuangkan Provinsi Pulau Sumbawa,” paparnya dengan nada semangat. (*)