Oleh: Suherman *)
Saat ini, seluruh partai politik (Parpol) di daerah yang menggelar Pilkada Tahun 2024 membuka pendaftaran bakal calon yang akan diusung. Itu dilakukannya sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam proses rekrutmen tersebut, sekurangnya ada tiga hal yang penulis soroti.
Pertama, rekrutmen bakal calon yang dilakukan oleh partai politik tampak masih sangat elitis. Artinya dalam proses rekrutmen hanya melibatkan (dilakukan) oleh segelintir orang/elit dalam partai politik. Mulai dari kepengurusan tingkat daerah (DPD/DPC), lebih-lebih di tingkat pusat (DPP). Yang terlibat dalam proses itu, tak lebih dari ketua dan sekretaris partai politik.
Kedua, tertutup. Hampir seluruh proses rekrutmen tidak bisa dilihat, diakses dan bahkan dinilai oleh publik. Yang terbuka hanya pengumuman pendaftarannya saja karena disebarkan lewat spanduk dan sosisal media.
Akan tetapi apa kriteria bakal calon yang akan disusung, bagaimana proses penilaian sehingga bakal calon itu diusung, semuanya serba tertutup.
Padahal dalam UU Pilkada menyebut bahwa rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai AD/ART.
Memang tidak ada pemaknaan yang jelas dalam AD/ART partai politik terkait dengan demokratis dan terbuka. Sehingga ini sering dimaknai “dangkal” oleh segelintir elit partai politik yang kemudian kembali kepada dalil otoritas. Atas dalil otoritasnya selalu partai politik, lalu mengabaikan hak-hak publik.
Sejatinya secara umum makna demokratis itu dapat dilihat dalam literatur Pemilu, dimana bahwa makna demokratis adalah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam setiap proses Pemilu.
Dalam konteks rekrutmen bakal calon di partai politik, itu dapat dimaknai sebagai memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mendaftarkan diri menjadi bakal calon di partai politik.
Sementara terbuka bermakna bahwa setiap proses tahapan Pemilu harus bisa diketahui dan diakses oleh setiap orang. Dalam konteks rekrutmen bakal calon di partai politik, seharusnya semua orang dapat mengetahui dan mengakses seluruh rangkaian proses tahapan pendaftaran bakal calon di partai politik.
Ketiga, minimnya partisipasi publik. Dalam rekrutmen tersebut, tidak ada sama sekali partisipasi atau pelibatan publik dalam proses rekrutmen bakal calon tersebut.
Padahal ujungnya nanti, pemilihlah yang memberikan gak pilihnya di TPS. Mestinya sejak awal, rekrutmen bakal calon itu dilibatkan publik, seperti memberikan saran dan masukan, proses rekrutmen melalui konvensi, uji publik atau debat visi dan misi bakal calon dan hal lainnya yang relevan.
Jika selama ini, publik bahkan elit partai politik sendiri selalu resah dengan maraknya politik uang dalam Pemilu atau Pilkada. Maka, praktik itu dapat diminimalisir, jika dalam proses rekrutmen bakal calon di partai politik, benar-benar dilaksanakan dengan baik yakni merekrut bakal calon yang memiliki rekam jejak, integritas dan kapasitas yang baik.
Bukan malah memilih-merekrut orang-orang yang memiliki rekam jejak buruk seperti mantan napi, orang-orang yang memiliki uang atau memilih orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.
Pada sisi lain, para bakal calon mengeluarkan begitu banyak biaya sejak “membeli” kursi, biaya lobi-lobi, biaya transportasi dan akomodasi begitu banyak. Belum lagi, ketika para bakal calon itu sudah ditetapkan sebagai peserta Pilkada. Mereka harus keluar lagi biaya untuk sosialisasi dan kampanye dan bahkan untuk “membeli” suara. Maka, sesungguhnya itulah awal benih-benih korupsi saat mereka terpilih nanti. Pada akhirnya, proses pembangunan menjadi terhambat.
Lalu, apa yang harus dilakukan parpol saat rekrutmen bakal calon?
Hemat penulis, pertama, seluruh proses dilaksanakan secara terbuka dan dengan melibatkan partisipasi publik di dalamnya. Partisipasi publik itu, dalam upaya memberikan masukan, tanggapan, dan pertimbangan dalam menentukan bakal calon yang akan diusung partai politik.
Kedua, kedepan perbaikan regulasi. Selama ini, regulasi soal politik transaksional-politik uang diatur saat tahapan Pemilu saja. Sehingga pada tahapan itu saja yang dapat diawasi dan dicegah serta ditindak oleh penyelenggara Pemilu (Bawaslu). Namun di luar itu, termasuk dalam proses rekrutmen bakal calon tidak diatur. Mestinya sebagai pintu masuk, proses ini juga harus diawasi, dicegah dan bahkan ditindak oleh penyelenggara Pemilu.
Ketiga, partai politik dibiayai negara. Selama ini, proses transaksi di partai politik dalam rekrutmen bakal calon, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan-pembiayan partai politik. Meskipun sudah mendapatkan hibah dari negara uang pembinaan berdasarkan jumlah perolehan suara sah dalam Pemilu, namun dirasa masih kurang.
Pembiayaan Parpol oleh negara sangat realistis dan relevan sebagaimana dilakukan oleh negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Namun, pemberian dan penggunaan uang negara itu juga harus selektif, transparan dan diawasi (diaudit) dengan ketat.
Partai politik adalah pilar utama penyangga demokrasi. Siapa yang ingin menjadi pemimpin di negeri ini, apakah di lembaga eksekutif, legislatif bahkan di lembaga yudikatif, pintu masuknya lewat partai politik. Jika, pintu masuknya buruk, maka buruk pula orang-orang yang masuk lewat pintu tersebut. Allahu ‘alam bissawab. (*)
*) Penulis adalah pengamat politik, pegiat Pemilu dan demokrasi.