Kamaludin: Dari 12.967 Peserta, Hanya 1.914 Orang yang Aktif Bayar Iuran
SANTER diklaim bahwa angka kemiskinan di Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), terus menurun. Naifnya, pada sisi lain, terungkap fakta, angka tunggakan iuran BPJS Kesehatan bagi Peserta Mandiri di daerah ini selalu meningkat.
Diketahui, Peserta Mandiri merupakan anggota masyarakat yang masuk kategori mampu membayar sendiri iuran BPJS Kesehatan-nya. Dibayar dengan penghasilan dari profesi yang mereka jalani; petani, nelayan dan lainnya.
Terkait penurunan angka kemiskinan Kabupaten Dompu, dirilis BPS melalui dompukab.bps.go.id pada 13 Januari 2022. Di sana disebutkan, dalam 10 tahun terakhir (2011-2020) angka kemiskinan di Kabupaten Dompu mengalami penurunan.
Kecuali pada tahun 2021, persentase penduduk miskin meningkat 0.44 poin dari tahun 2020.
Berdasarkan rilis BPJS tersebut, persentase penduduk miskin di Kabupaten Dompu pada bulan Maret 2021 sebesar 12.60 persen atau mencakup 33.26 ribu jiwa.
Sedangkan pada Maret 2020, angka kemiskinannya hanya 12.16 persen atau 30.97 ribu jiwa. “Persentase penduduk miskin meningkat 0.44 poin,” demikian dirilis BPS.
Pada Lakeynews.com, Kepala BPJS Kesehatan Kabupaten Dompu Kamaludin, membeberkan Peserta Mandiri BPJS Kesehatan Kabupaten Dompu sebanyak 12.967 orang. Namun, yang aktif membayar iurannya hanya 1.914 orang (12-13 persen dari total jumlah peserta mandiri).
“Persentase tunggakan tahun 2022 meningkat sekitar 1-2 persen dari tahun sebelumnya (2021),” kata Kamal (sapaan Kamaludin) ketika ditemui di ruang kerjanya, Jumat (6/1) sore.
Di antara yang menunggak tersebut, ada yang tidak membayar karena tidak punya kemampuan. Tapi, ada juga yang sebenarnya memiliki kemampuan tapi enggan membayar.
“Kedepan kita harapkan kesadaran mereka untuk rutin membayar iuran setiap bulan,” imbuh Kamal.
Apa saja pekerjaan (profesi) para penunggak atau peserta mandiri ini?
Kamal mengaku, BPJS Kesehatan belum ada pemetaan ke arah itu. Tapi melihat mayoritas masyarakat Dompu yang bermata pencaharian sebagai petani (bertani), maka diperkirakan peserta mandiri tersebut didominasi petani.
“Ada kemungkinan begitu. Cuma itu tadi, kita belum pemetaan ke arah itu,” tutur pria berkumis tebal itu.
Dijelaskan Kamal, dari total peserta (BPJS Kesehatan) yang terdaftar, peserta mandiri sekitar 6 persen. Dan, dari enam persen itu didominasi oleh peserta mandiri yang dibantu pemerintah. Jumlahnya 54 persen dari populasi.
Dia menegaskan, sasaran BPJS Kesehatan Mandiri ini adalah orang yang mampu membayar iuran sendiri dengan penghasilan dari profesinya. “Bisa jadi mereka dari petani atau profesi lainnya,” tandasnya
Apa saja yang dilakukan untuk mengurangi angka tunggakan yang mencapai 87-88 persen tersebut?
BPJS Kesehatan Dompu berupaya melakukan penagihan secara langsung melalui telepon. BPJS juga mengerahkan kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menagih ke rumah-rumah peserta penunggak.
BPJS Kesehatan juga mempunyai program baru. Namanya Program Rehab. Program ini untuk mencicil tunggakan. “Penunggak boleh membayar dengan cara mencicil selama 6 kali total tunggakannya,” urainya.
BPJS Kesehatan juga miliki kebijakan untuk meringankan beban penunggak. Misalnya, peserta yang menunggak lima tahun, hanya ditagih dua tahun (24 bulan). “Sisanya diputihkan. Ini semata-mata untuk meringankan beban penunggak,” tandasnya.
Meski demikian, pada kenyataannya, masih ada peserta atau penunggak yang enggan membayar tunggakannya.
Namun, BPJS Kesehatan dibantu oleh regulasi pemerintah. Antara lain, ketika penunggak iuran BPJS Kesehatan mengurus SIM atau STNK di kepolisian syaratnya harus melunasi dulu tunggakannya BPJS-nya.
Begitu juga di BPN. Kalau ada transaksi jual beli tanah, terutama bagi pembelinya harus terlebih dahulu melunasi tunggakan BPJS-nya.
Di sekolah pun demikian. Bagi calon siswa baru, dipastikan dulu menjadi peserta BPJS Kesehatan dan aktif membayar iurannya.
“Itu antara lain langkah dan upaya kita dalam mengurangi angka tunggakan BPJS Kesehatan ini,” papar Kamal.
–
“Banyak Peserta Mandiri Bayar Iuran Saat Ada Kebutuhan Saja”
Kamal lalu mengungkapkan salah satu contoh kasus yang dijumpainya. Ada keluarga yang melahirkan anak pertama di rumah sakit. Setelah persalinan dan menjalani perawatan beberapa hari, keluar dari rumah sakit.
“Selanjutnya mereka tidak pernah bayar lagi BPJS-nya. Baru mengurus lagi dan membayarnya, saat kembali masuk rumah sakit untuk melahirkan anak kedua,” jelasnya disambung tawa.
Kasus lain dan tidak kalah menggelitik, menurut Kamal, banyak peserta yang baru mengurus dan membayar BPJS-nya pas masuk rumah sakit.
Kenapa bisa terjadi seperti itu? Jangan-jangan para peserta tersebut belum paham? Atau mungkin belum mendapat sosialisasi yang utuh?
“Ini yang sedang juga kita cari selanya. Kami tetap lakukan sosialisasi,” jawabnya.
Ditambahkan, seharusnya, informasi tentang itu mereka sudah dapat. Karena, ketika mereka bersentuhan atau berhubungan dengan BPJS, informasi tersebut disampaikan BPJS.
“Kita ingatkan mereka supaya rutin membayar iuran setiap bulan. Sebab, jika ada tunggakan, datanya tidak aktif. Tidak bisa digunakan lagi,” cetus Kamal.
Selain tidak aktif dan tidak bisa digunakan lagi, juga akan ada denda pelayanan yang harus dibayar peserta.
Ketika masuk rumah sakit dan harus melunasi tunggakan itu, ada denda layanannya. Nilai dendanya 5 persen dari biaya yang muncul di rumah sakit, dikalikan jumlah bulan tunggakan.
“Maksimal 24 bulan. Maksimal total nilai dendanya Rp. 30 juta,” jelasnya.
Tidak sedikit peserta mandiri yang merasa kaget. Karena, nilai dendanya lebih besar dari nilai tunggakan. Misalnya, iuran hanya Rp. 900 ribu tapi dendanya bisa Rp. 1 juta atau Rp. 2 juta.
Walau begitu, kata Kamal, jika peserta atau si tertunggak masuk kategori kurang mampu, pihak BPJS Kesehatan akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
“Kita tetap berkoordinasi dengan Pemda, misalnya melalui Dinas Sosial. Apakah peserta yang menunggak itu dimasukkan ke kuota kabupaten atau pusat,” akunya. (tim)