MATARAM – Direktur Lembaga Kajian Sosial Politik Mi6 Bambang Mei Finarwanto melontarkan pernyataan keras terkait lembaga survei.
“Keberadaan berbagai lembaga survei sebatas entertain politik untuk menyemarakkan konstestasi pesta demokrasi, khususnya menjelang Pilpres maupun Pilkada serentak 2024,” nilai pria yang akrab disapa Didu itu.
Karena itu, dia mengingatkan publik tidak mudah hanyut oleh pesona beragam publikasi media yang dilakukan lembaga survei terhadap pasangan calon (paslon) atau kandidat calon atas hasil pengambilan random sampling.
“Sebab hal itu ia bukan mencerminkan perolehan suara di TPS,” tegas Didu dalam pernyataan persnya yang diterima Lakeynews.com, Rabu (2/11) malam ini.
Sebagai tools atau alat untuk melihat agregasi tingkat elektabilitas, keberterimaan atau popularitas, hasil kajian dan analisis lembaga survei bisa dijadikan pegangan maupun second opini dalam menilai peta kekuatan politik maupun kecendrungan persepsi publik.
“Hasil kajian lembaga survei tidak boleh dianggap kepastian kemenangan,” tegas mantan direktur eksekutif Walhi NTB ini.
Menurutnya, pengambilan sample responden setiap lembaga survei selalu menyebutkan durasi waktu, metodologi maupun jumlah responden, karena hal tersebut menyangkut persepsi responden pada saat dilakukan survei.
“Lembaga survei harus melakukan survei berkali-kali dalam rentang waktu tertentu untuk mengukur cerminan. Misalnya pergeseran (migrasi) dukungan persepsi terhadap Paslon tertentu pada waktu dilakukan survei tersebut,” urai Didu.
Namun demikian, Didu menganggap, keberadaan lembaga survei dalam kontestasi politik hal yang lumrah. Tidak perlu diperdebatkan, apalagi menyangkutkan hasil analisis maupun hipotesa karena itu kajiannya empirik akademik yang bisa dipertanggungjawaban secara metodologi.
“Sekarang tergantung publik menyikapi beragam hasil survei. Misalnya soal Pilpres, mana figur yang bisa dipercaya atau sekadar pencitraan semata,” paparnya.
–
Antitesa Survei Politik
Untuk mengetahui kecenderungan persepsi publik secara merata tapi dengan metodologi pengambilan sample yang tidak rumit, Mi6 menilai polling bisa dijadikan alternatif karena lebih praktis, efisien dan lebih legitimate. Tergantung jumlah responden dan tingkat sebarannya.
“Polling bisa jadi menjadi Antitesa dari Survei Politik karena prosedurnya tidak rumit. Makin banyak responden yang terlibat, makin kuat legitimasinya,” tuturnya.
Meski polling secara metodologi terlihat sederhana, kata Didu, hasilnya dapat dijadikan panduan untuk mengetahui mapping peta dukungan publik. Hal ini tentu tergantung dari materi lembar pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan kalimat langsung.
“Dari perspektif legitimasi, polling lebih kuat jika jumlah responden berkali-kali lipat dengan tingkat sebaran yang merata di semua strata sosial,” paparnya. (tim)