Oleh: Ir. Muttakun *)
–
GUBERNUR Nusa Tenggara Barat (NTB) harus aktif, koordinatif serta fasilitatif dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagai wakil pemerintah pusat.
Ini terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur NTB sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
Pada Pasal 1 ayat (1) diuraikan, bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota dan tugas pembantuan oleh daerah kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
Selanjutnya dalam ayat (2) diuraikan, bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai tugas:
- Mengkoodinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota.
- Melakukan monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.
- Memberdayakan dan memfasilitasi daerah kabupaten/kota di wilayahnya.
- Melakukan evaluasi terhadap Raperda, RPJPD, RPJMD, APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, “TATA RUANG DAERAH”, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
- Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketika melihat uraian tugas Gubernur NTB merujuk pada pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 33 Tahun 2018 tersebut di atas, maka jika terjadi konflik lahan yang terjadi di areal HGU maupun dalam kawasan hutan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, itu terjadi karena Gubernur NTB kurang aktif, koordinatif dan fasilitatif dalam mengantisipasi munculnya konflik.
Peran Gubernur NTB dalam kasus sengketa lahan di areal HGU dan Kawasan Hutan menjadi sangat penting. Selama ini, Gubernur NTB tidak pernah hadir untuk mengantisipasi konflik lahan yang sudah diketahui sejak 2019 dengan adanya sengketa lahan antara petani ternak dengan peladang (petani).
Sengketa lahan yang sudah menimbulkan konflik terbuka ini sangat disayangkan terjadi. Menyerahkan penanganan konflik untuk ditangani hanya oleh Pemkab Dompu, ini menjadi dosa besar seorang Gubernur yaitu dosa politik dimana Gubernur NTB dalam menjalankan tugasnya harus memastikan seluruh rakyat NTB hidup dalam suasana yang aman dan damai serta hidup dalam lingkungan yang sehat dan bersih.
Areal HGU dan areal Kawasan Hutan dalam pengurusan dan pengelolaannya adalah menjadi kewenangan Gubernur NTB yang merupakan wakil pemerintah pusat. Jika Gubernur NTB tidak melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh PP 33 Tahun 2018 maka celakalah bagi rakyat dan daerah Dompu.
Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, saya sebagai anggota DPRD Kabupaten Dompu belum pernah melihat Gubernur NTB yang ketika datang Kunker di Dompu, mengundang Pimpinan dan Anggota DPRD untuk sharing dan diskusi terkait berbagai persoalan yang dihadapi dalam pembangunan daerah.
Sengketa HGU dan Kawasan Hutan yang makin mengemuka sejak dilantiknya Zulkifliemansyah menjadi Gubernur NTB nyaris tidak pernah diangkat dan dibahas dalam forum-forum multipihak.
Areal HGU dan kawasan hutan dengan bejibun masalah sosial dan lingkungan serta dampak yang menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi rakyat dan daerah Dompu. Ini semua terjadi karena tidak hadirnya negara dan pemerintah yang diwakili oleh Gubernur NTB sesuai TUGASNYA yaitu MENJADI WAKIL PEMERINTAH PUSAT untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana amanat PP Nomor 33 Tahun 2018.
Mestinya dalam melaksanakan tugas sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur NTB tidak membiarkan sendiri BPN Kabupaten Dompu dan 3 BKPH dalam menyelesaikan masalah-masalah HGU yang ditelantarkan oleh Perusahaan. Kerusakan-kerusakan hutan yang terjadi tanpa sekalipun mencarikan solusi untuk menyelesaikan apalagi melakukan tindakan tegas terhadap oknum-oknum baik dari perusahaan maupun dari pelaku perusakan hutan.
Munculnya masalah sosial dan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat dan daerah di Kabupaten Dompun dikaitkan dengan persoalan HGU dan Perusakan Hutan, ini terjadi lebih disebabkan oleh pembiaran yang dilakukan oleh Gubernur NTB. Gubernur NTB tidak pernah hadir dan tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan dan pelaku perusakan hutan.
Hasil evaluasi Deputi Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat terhadap Hasil evaluasi pelaksanaan Kep.Ka.BPN 24/02, pada umumnya Kantor Pertanahan mengalami kendala teknis, administratif maupun dukungan pembiayaan dalam pelaksanaan ketentuan tersebut.
Kendala internal di BPN, antara lain belum jelasnya unit kerja yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah telantar, terbatasnya tenaga pelaksana serta belum jelasnya pembiayaan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut. Sedangkan kendala eksternal, antara lain, mekanisme hubungan koordinatif berbagai pihak yang melibatkan instansi teknis di Pusat dan Daerah, Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat.
Berdasarkan pengamatan sepintas terhadap tanah telantar HGU di Kabupaten Dompu menunjukkan bahwa secara teknis keberadaan tanah terlantar dapat diidentifikasi wujud dan penyebabnya. Tanah yang tidak sesuai dengan peruntukan pada areal HGU di Desa Soritatanga, Kecamatan Pekat, disebabkan adanya pencaplokan areal PT. ATI dan PT. UTL oleh masyarakat lebih disebabkan tidak adanya tindakan tegas kepada perusahaan yang menelantarkan HGU untuk tujuan sebagaimana pengajuan HGU-nya kepada BPN.
Sikap lamban Gubernur NTB menyikapi HGU telantar, tidak adanya tindakan tegas untuk perusahaan dan pelaku perusakan hutan, serta tidak hadirnya Gubernur NTB dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan, mengakibatkan open access terhadap Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Hutan (SDH), sehingga memicu masyarakat untuk menguasai dan melakukan perusakan.
Ketika terjadi open access, maka siapa yang kuat itulah yang akan menguasai Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Hutan (SDH). Dan gejala-gejala ini sudah terlihat dengan munculnya konflik terbuka yang terjadi di Desa Soritatanga Kecamatan Pekat yang terjadi kemarin (Minggu, 10/10/2022) yang menimbulkan korban pembacokan.
Merujuk pada peraturan yang ada, secara operasional, tanah-tanah HGU yang penggunaan tanahnya melebihi 75 persen merupakan tanah kosong, tegalan atau semak belukar dapat digolongkan terindikasi tanah telantar. Rekomendasi yang diberikan terhadap tanah-tanah tersebut adalah:
a. Optimalisasi, apabila areal HGU lebih 75 persen ditanami dengan tanaman pokok.
b. Penertiban, apabila areal HGU 50-75 persen ditanami dengan tanaman pokok.
c. Konversi, apabila areal HGU kurang dari 50 persen ditanami dengan tanaman pokok.
Mestinya Gubernur NTB yang menjadi wakil pemerintah pusat sudah harus menetapkan arah tindakan pengendaliannya. Namun langkah operasional pendayagunaan tanah telantar itu belum dapat ditetapkan lebih konkret. Ini menjadi PR buat Gubernur NTB dalam waktu dekat. Tentunya memerlukan koordinasi dengan instansi terkait maupun Pemerintah Daerah.
Adapun terkait perusakan hutan, maka Gubernur NTB tidak boleh lagi membiarkan perusakan hutan terus terjadi di Kabupaten Dompu. Saat ini konflik memang belum muncul dan terbuka. Namun yang perlu menjadi perhatian Gubernur NTB adalah konflik yang dapat muncul sewaktu-waktu dari anak cucu kami di masa mendatang karena mengetahui hutan ini sudah banyak dikuasai oleh penduduk dari luar Dompu dengan cara-cara merusak dan menguasai secara tidak sah. Banjir dan tanah longsor yang terjadi dan dipicu oleh kerusakan hutan dan jika nantinya akan menimbukan korban jiwa maka ini juga akan menjadi trigger dari sengketa dan konflik, tentu saja harus mampu diantisipasi oleh Gubernur NTB.
Kesimpulan:
Tindakan tegas harus diambil untuk menghentikan konflik di areal HGU dan di areal Kawasan Hutan, baik terhadap perusahaan maupun pada pelaku perusakan hutan. (*)
*) Penulis adalah Anggota DPRD yang juga Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Dompu, Provinsi NTB.