Penulis, Suherman. (ist/lakeynews.com)

(Catatan dari Dialog 100 Hari AKJ-Syah)

Oleh: Suherman *)

Saya bersama Ir. Muttakun, Ikhwayudin, dan Ilyas Yasin menjadi Narasumber acara dialog terbuka yang diselenggarakan oleh Ruang Demokrasi Institut pada Minggu, 25 Juli 2021. Menurut penyelenggaranya karena PPKM, acara ini dilaksanakan secara virtual melalui zoom meeting dengan tema “100 Hari AKJ-Syah, Jarapasaka Mimpikah?

Secara konseptual bahwa program 100 hari tidak dikenal dalam sistem perencanaan pembangunan daerah. Yang ada adalah rencana program jangka pendek, menengah dan panjang. Lalu darimana istilah Program 100 Hari? Istilah ini dimulai atau diperkenalkan pertama kali oleh SBY-Boediono pada tahun 2009-saat periode kedua kepemimpinan SBY sebagai Presiden RI.

Program ini kemudian menjadi trend dan diikuti oleh kepala-kepala daerah hasil Pilkada setelahnya. Baik kepala daerah petahana terlebih kepala daerah pendatang baru yang terpilih. Padahal idealnya program 100 hari dibuat dan direncanakan oleh petahana. Petahana akan melajutkan program yang tertuang dalam dan Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang belum sempat dituntaskan pada periode sebelumnya.

Menurut saya, 100 hari kerja tidak relevan diwacanakan dan diprogramkan oleh para kepala daerah baru alias bukan petahana. Kenapa? Karena visi, misi dan program kerja kepala daerah terpilih tidak bisa langsung dilaksanakan karena masih mengacu pada RPJMD dan RKPD pemerintah sebelumnya. Praktis, bagi kepala daerah terpilih untuk dapat melaksanakan visi, misi dan programnya harus menuangkan dalam RPJMD dan RKPD dan itu memakan waktu paling lama enam bulan setelah pelantikan.

Para pembicara dalam dialog terbuka “100 Hari AKJ-Syah, Jarapasaka Mimpikah?” yang digelar Ruang Demokrasi Institut, Minggu, 25 Juli 2021. (ist/lakeynews.com)

Visi, Misi dan Program AKJ-Syah

Saat mencalonkan diri dalam Pilkada 2020 lalu, AKJ-Syah telah menyusun dokumen visi, misi dan program yang disampaikan bersama dokumen pencalonan ke KPU sebanyak sembilan halaman.

Visi dan misi secara politik kalau dilihat sepintas dengan visi dan misi dalam dokumen RPJMD secara tekhnokratis berubah. Redaksional visi berubah dari “Mewujudkan Dompu Sebagai Daerah Agribisnis Yang Mashur” menjadi “Mewujudkan Dompu Yang Mashur”. Misi-nya pun berubah redaksi dan jumlah yang semula jumlahnya enam menjadi lima. Menurut beberapa sumber bahwa perubahan itu karena adanya penyesuaian dan penyelarasan.

100 Hari AKJ-Syah

Dalam pemberitaan beberapa media, pascadilantik, AKJ mengungkapkan bahwa ada tiga program kerja 100 harinya. Yakni air bersih, reformasi birokrasi dan penerangan lampu jalan. Kalau dihitung 100 hari itu sejak tanggal pelantikan, 26 Februari 2021 sampai dengan 6 Juni 2021.

Yang menarik dari pengamatan saya adalah di dalam 24 program perioritas dan unggulan tidak tercantum program penerangan lampu jalan. Anehnya, program ini mampu diwujudkan. Artinya aoutputnya berupa lampu jalan bisa dilihat secara kasat mata dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Meskipun ada kritik bahwa mestinya penerangan lampu jalan itu memberikan multy player efek terhadap perekonomian, misalnya.

Untuk program air bersih, jangankan AKJ-Syah, HBY saja yang 10 tahun memimpin Dompu, kewalahan mengatasi soal ini. Anehnya, AKJ berani atau bahkan nekat menyelesaikan air bersih dalam 100 hari kerja. Kondisi sekarang, jangankan air bersih. Airnya saja langka di beberapa wilayah. Itu dapat dilihat dari beberapa pemberitaan di media.

Sementara untuk program reformasi birokrasi. Kalau makna reformasi birokrasi yang dimaksud AKJ adalah mengisi atau mengganti pejabat sebagaimana diungkapkannya, maka, dalam 100 hari itu sangat sulit dilakukan. Karena UU Pilkada melarang kepala daerah terpilih melakukan mutasi pejabat enam bulam setelah dilantik.

Jadi, kalau bicara air bersih dan reformasi birokrasi, harus jujur diakui belum dapat dilihat dan dirasakan secara langsung hasilnya selama 100 hari.

Tantangan dan Harapan

Ada beberapa tantangan AKJ-Syah dalam mewujudkan Dompu yang Mashur. Pertama, pemerintahan baru. Sebagaimana diketahui bahwa AKJ-Syah adalah Kepada Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang tidak pernah menjabat sebelumnya. Ada proses adaptasi, komunikasi dan koordinasi yang membutuhkan waktu dan energi untuk menyatukan pemaham dan persepsi dengan birokrasi dan masayarakat gar visi, misi dan programnya bisa dilaksanakan secara baik.

Kedua, birokrasi. Meskipun idealnya dalam sebuah pemerintahan yang berjalan itu adalah sistem. Kepala Daerah boleh berganti namun sistem birokrasinya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sayangnya ditengah sistem politik yang tidak sehat, birokrasi terkadang menjadi agen politik Pilkada. Ketika kepala daerah terpilih, maka birokrasi yang paling banyak “resah” karena soal jabatan dan lain sebagainya terlebih bagi briokrasi yang berbeda pilihan politik dengan kepala daerah terpilih. Imbasnya menurunkan semangat, dedikasi dan pengabdiannya kepada kepala daerah terpilih.

Ketiga, pandemi. Lebih dari satu tahun pandemi Covid-19 telah melanda yang membuat cara dan sistem sosial menjadi berubah termasuk cara dan sistem kerja birokrasi. Pada saat yang sama, anggaran daerah juga banyak yang “disunat” atau dialihkan untuk mengatasi pandemi.

Keempat, masa jabatan. Ditengah banyaknya program kerja perioritas dan unggulan AKJ-Syah, menjadi pertanyaan dasar adalah mampukah direalisasikan dengan kondisi masa jabatan yang terbatas-hanya sekitar 3,6 tahun.

Secara kalkulasi politik bahwa hanya dua tahun AKJ-Syah efektif menjalankan roda pemerintah. Dengan kata lain, di waktu itu, dia dapat melaksanakan janji-janji politik secara efektif. Karena untuk tahun pertama, habis waktu untuk menyusun RPJMD dan RKPD, konsolidasi, komunikasi dan sosialisasi program. Satu tahun terakhir, sudah mulai disibukkan dengan persiapan menghadapi Pilkada selanjutnya.

Menghadapi tantangan di atas, ada beberapa harapan untuk pemerintahan AKJ-Syah. Pertama, baiknya ada program prioritas yang difokuskan di beberapa sektor. Misalnya, di sektor pertanian. Komoditas apa yang harus menjadi fokus perhatian untuk dikembangkan. Pun dengan sektor lainnya. Saya tidak yakin, bahwa semua program kerjanya bisa dilaksanakan secara paralel dan bersamaan ditengah tantangan yang ada.

Kedua, rekrut perangkat daerah yang tipe pekerja. Sebagus apapun visi, misi dan program kerja dalam RPJMD kalau tidak bisa dilaksanakan secara teknis oleh perangkat daerah, visi, misi dan rogram itu akan menjadi lembaran-lembaran usang. Maka, dalam proses rekrutmen prangkat daerahnya, AKJ-Syah harus benar-benar selektif, memilih orang-orang yang benar-benar mau bekerja bukan yang pandai “cari muka”. Tapi juga pada saat yang sama memastikan dalam proses pengangkatan tersebut tanpa mahar.

Ketiga, membangun sistem dan budaya kerja yang efektif, efisien dan transparan. Ditengah pandemi dan perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara pandang dan sistem kerja pemerintah daerah. Untuk itu kerja-kerja yang memakan biaya, energi dan waktu yang banyak perlu dipangkas. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Keempat, inovasi, kreativitas dan kolaborasi. Jika pemerintahan daerah atau perangkat-perangkat daerah selalu berpikir tidak dapat melaksanalan program karena terbatasnya anggaran, pola pikir itu harus dibalik atau diubah. Justru dengan keterbatasan anggaran, harusnya lebih inovatif dan kreatif untuk menciptakan terobosan-terobosan. Termasuk dengan membangun kolaborasi dengan semua pihak.

Terakhir, membangun harapan dan peradaban tidak mudah. Tidak cukup hanya dengan waktu 100 hari, satu atau dua periode kepemimpinan. Namun, janji-janji politik yang diucapkan saat kampanye harus ditunaikan. (*)

*) Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik.