Penulis, Suherman. (ist/lakeynews.com)

Oleh: Suherman *)

Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusuan Nomor : 56/PUU-XVII/2019 yang pada intinya menyatakan bahwa mantan terpidana korupsi boleh mencalonkan diri dalam Pilkada setelah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.

Menindak lanjuti Putusan MK tersebut, KPU kemudian merevisi peraturan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pilkada untuk yang ketiga kalinya menjadi Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020.

Di dalam pasal 4 ayat 2d Peraturan KPU tersebut disebutkan bahwa jangka waktu 5 (lima) tahun telah selesai menjalani pidana penjara terhitung sejak tanggal bakal calon yang bersangkutan telah selesai menjalani pidananya sampai dengan pada saat pendaftaran sebagai bakal calon.

Ketika membaca pasal di atas, sebagian akan memberikan tafsir yang berbeda-beda karena memang penjelasannya masih bersifat umum. Apakah yang dimaksud dengan telah selesai menjalani pidana penjara tersebut adalah bagi terpidana bersyarat, narapidana karena pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas.

Menjawab itu, KPU mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 735/PL.02.2-SD/06/KPU/IX/2020 prihal penjelasan mantan terpidana, tertanggal 5 September 2020.

Surat edaran yang terdiri dari 5 (lima) poin inilah yang menjelaskan dan menegaskan secara detail khusus penjelasan tentang mantan terpidana.

Diantaranya, pertama, menjelaskan sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (3) huruf a dan b UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur bahwa pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap terpidana bersyarat dan narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas.

Kedua, menjelaskan dan sekaligus menegaskan kembali bunyi pasal 1 ayat 21 Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 soal pengertian dari mantan terpidana.

Bahwa mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani pidana, dan tidak ada hubungan secara teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Ketiga, menegaskan bahwa klien pemasyarakatan yang masih dalam bimbingan BAPAS adalah seseorang yang masih berstatus terpidana atau narapidana sehingga belum dapat dikategorikan sebagai mantan terpidana.

Keempat, secara umum mengenai syarat pencalonan bagi mantan terpidana. Dan kelima, soal masa jeda lima tahun.

Kalau merujuk pada surat di atas, dapat disimpulkan bahwa mantan terpidana adalah seseorang yang telah berstatus bebas akhir atau bebas murni, bukan bebas bersyarat atau cuti menjelang bebas.

Bagaimana dengan fatwa Mahkamah Agung (MA) Nomor: 30/Tuaka.Pid/IX/2015 Tangal 16 September 2015, Perihal Jawaban atas Permohonan Fatwa Mahkamah Agung RI kepada Ketua Bawaslu RI?

Memang antara Fatwa MA dan peraturan KPU terjadi perbedaan pengertian tentang mantan terpidana.

Dalam fatwa MA, bahwa mantan terpidana adalah seseorang yang telah menjalani pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Termasuk mengategorikan bahwa seseorang narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat itu juga mantan terpidana.

Berbeda dengan pengertian dan maksud mantan terpidana dalam peraturan dan surat edaran KPU.

Perbedaan pengertian dan maksud inilah yang menyebabkan perbedaan penafsiran. Sehingga terjadi diskursus dan perdebatan publik, ada yang berpedoman pada peraturan dan surat edaran KPU. Sebagian lagi berpedoman pada fatwa MA.

Lalu ketika terjadi perbedaan pengertian dan maksud yang menyebabkan perbedaan penafsiran tersebut, yang mana dijadikan dasar hukum? Dan apakah fatwa MA dapat menggugurkan peraturan KPU?

Menurut pendapat saya bahwa yang dijadikan rujukan adalah peraturan dan surat edaran KPU. Adapun fatwa MA tidak dapat menggugurkan atau dijadikan dasar untuk mengabaikan peraturan atau surat edaran tersebut.

Kenapa? Pertama, fatwa MA itu ditujukan kepada Bawaslu yang meminta fatwa yang dijadikan sebagai pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan berkaitan dengan proses pencalonan mantan terpidana.

Kedua, peraturan KPU adalah turunan dari Undang-undang yang telah disusun dan setujui bersama oleh para pihak yakni antar DPR, Pemerintah dan KPU yang bersifat mengikat.

Ketiga, sebagaimana pendapat Bagir Manan, mantan ketua MA bahwa fatwa MA bersifat tidak mengikat dan tidak mempunyai mekanisme apa-apa agar dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berperkara. Sebab fatwa MA bukan putusan pengadilan, kekuatan hukumnya bersifat etik semata-mata.

Pada sisi lain, menurut UU bahwa yang dapat menggugurkan atau membatalkan isi peraturan KPU adalah putusan MA melalui judicial review.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa putusan MA yang telah membatalkan isi peraturan KPU yang dinilai bertentangan dengan Undang-undang. Salah satunya, putusan MA yang membatalkan pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU Nomor 20/2018 terkait dengan larangan mantan napi korupsi menjadi bakal calon anggota legislatif dalam Pemilu 2019.

Hingga saat ini, peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang pencalonan dan surat edaran KPU Nomor: 735 belum dibatalkan atau masih berlaku. Dengan demikian, penyelenggara pemilu (KPU) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya pada konteks pencalonan masih berpedoman pada peraturan dan surat tersebut.

Lantas bagaimana dengan pemenuhan syarat admimistratif pencalonan bagi mantan terpidana?

Sebagaimana ketentuan pasal 42 ayat (1) huruf f menyebutkan, bahwa bagi mantan terpidana salah satu kewajiban administrasinya adalah menyerahkan surat keterangan telah selesai menjalani pidana penjara dari kepala lembaga pemasyarakatan.

Surat keterangan tersebut menjadi kunci untuk mengetahui kapan seseorang telah berstatus sebagai mantan terpidana. Sehingga dapat dihitung jangka waktu 5 (lima) tahun telah selesai menjalani pidana penjaranya sampai dengan pada saat pendaftaran sebagai bakal calon, apakah memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat.

Berharap Pilkada 2020 termasuk Pilkada Dompu berjalan secara demokratis, jujur dan adil. Dimana semua pihak, apakah itu penyelenggara, pemilih terlebih pesertanya melaksanakan seluruh tahapan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan sebuah produk hukum atau kebijakan, maka seyogyanya menempuh saluran hukum yang disediakan oleh Undang-undang. Dengan demikian, kita berdemokrasi dengan beradab! (*)

*) Penulis adalah Anggota KPU Dompu Periode 2014-2019 dan Pengamat Sosial Politik.