Penulis, Suherman. (dok/lakeynews.com)

Oleh: Suherman *)

BERDASARKAN pleno hasil verifikasi faktual dukungan Bapaslon perseorangan di 5 (lima) KPU Kabupaten/Kota se NTB ditemukan fakta bahwa dari 7 (tujuh) Bapaslon perseorangan, hanya satu Bapaslon perseorangan yang telah dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) dan berhak mendaftarkan diri pada 4-6 September mendatang. Yaitu Bapaslon perseorangan Talif-Sudirman di Kabupaten Sumbawa.

Selebihnya atau 6 (enam) Bapaslon perseorangan lainnya dinyatakan Belum Memenuhi Syarat (BMS), karena dari hasil verifikasi faktual masih banyak dukungan yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Termasuk Bapaslon perseorangan di Pilkada Dompu.

Namun demikian, Bapaslon-bapaslon tersebut masih diberikan kesempatan untuk menyerahkan dukungan pada masa perbaikan dengan syarat jumlah minimal dukungan yang disampaikan adalah dua kali lipat dari jumlah kekurangan atau yang telah dinyatakan TMS.

Yang menarik bagi penulis, dari data hasil verifikasi faktual tersebut adalah banyaknya dukungan yang dinyatakan TMS. Bahkan dari data itu, ada Bapaslon yang MS-nya hanya sekitar 10 persen dari jumlah yang telah verifikasi faktual.

Hal itu sungguh tidak logis dan ironis manakala pendukung yang telah menyerahkan foto kopi KTP-nya dan menandatangani surat dukungan bisa menyatakan tidak mendukung atau TMS pada saat verifikasi faktual.

Menurut penulis, secara garis besar terdapat dua hal untuk menjawab kenapa banyaknya dukungan yang TMS tersebut.

Pertama, pengumpulan foto kopi KTP yang “serampangan”, tidak dilakukan secara langsung dengan memintanya kepada pemilik KTP. Ini terbukti saat verifikasi faktual banyak pemilik KTP yang terkejut dan tidak jarang yang keberatan ketika melihat foto kopi KTP-nya berada di tangan PPS. Sehingga karena KTP-nya telah diambil secara tidak bertanggung jawab, sebagian dari mereka pun menghukum Bapaslon dengan menyatakan tidak mendukung atau TMS.

Logikanya sederhana, tidak mungkin pendukung “membantah” atau tidak menyatakan dukungan kalau KTP mereka dikumpulkan atau diminta dengan seizin dan sepengetahuannya.

Dengan bahasa lain, mestinya kalau pendukung yang sudah menyatakan dukungan dengan menyerahkan foto kopi KTP dan menandatangani surat dukungan, maka saat verifikasi faktual mereka pasti akan menyatakan mendukung. Namun faktanya tidak demikian, mereka justru tidak mendukung sehingga dinyatakan TMS.

Kedua, tim penghubung atau Liaison Officer (LO) yang telah dibentuk oleh Bapaslon di masing-masing desa/kelurahan tidak berkerja dengan baik. Ini dapat dibuktikan dengan tidak mampunyai LO mengumpulkan pendukung yang tidak dapat ditemui disuatu tempat atau menghadirkannya di sekretariat PPS Desa/Kelurahan untuk diverifikasi faktual.

Penyebabnya adalah karena LO bukan orang yang mengumpulkan KTP secara langsung, sehingga mereka tidak mengenal orang-orang yang harusnya dikumpulkan atau dihadirkan. Atau, walaupun mereka mengenal, akan tetapi mereka tidak memiliki biaya konsolidasi dan mobilisasi untuk mengumpulkan dan menghadirkan pendukung.

Alhasil, ketika LO tidak mampu mengumpulkan atau menghadirkan pendukung sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Maka, otomatis pendukung tersebut dinyatakan TMS.

Beda kondisinya, seandainya pengumpulan KTP dilakukan secara elegan dan LO-nya bekerja dengan baik dengan pembiayaan yang cukup. Maka, yang TMS tidak akan terlalu besar jumlahnya.

Kalaupun ada yang TMS, bukan karena tidak mendukung atau karena tidak bisa dikumpulkan atau dihadirkan, namun lebih karena persoalan teknis. Seperti pendukung telah pindah domisili, berubah status menjadi TNI/Polri, telah menjadi penyelenggara Pemilu atau sudah meninggal dunia dan hal-hal lainnya yang tidak begitu signifikan mempengaruhi jumlah yang TMS.

Hadirnya Bapaslon peseorangan adalah sebagai antitesa, “perlawanan” terhadap monopoli partai politik di Pilkada. Pada sisi lain, juga sebagai alternatif pilihan di tengah kejenuhan pemilih melihat pragmatisme partai politik.

Namun sayangnya, situasi ini tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Bapaslon perseorangan. Malah justru ikut terjebak dalam pragmatisme sebagaimana partai politik.

Idealnya, kalau pendukung yang telah menyerahkan foto kopi KTP dan menandatangani surat dukungan adalah juga sebagai basis pemilih yang akan memilih Bapaslon perseorangan di TPS. Maka, dipastikan bahwa peluang bagi Bapaslon perseorangan untuk memenangakan Pilkada sangat terbuka.

Akan tetapi kalau cara-cara pengumpulan KTP-nya yang serampangan dan kerja-kerja tim yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Jangankan untuk menang, untuk mendaftarkan diri saja sangat berat. Allahu ‘Alam Bissawab!! (*)

Penulis adalah peminat urusan sosial politik