
Oleh: Suherman *)
Minggu malam, 7 Juni 2020, penulis menjadi narasumber dalam diskusi milenial melalui aplikasi google meeting yang diselenggarakan oleh Narasi Milenial Dompu dengan tema “Catatan Kritis Pilkada Dompu 2020 dan Masa Depan Daerah.”
Selain penulis, ada dua orang narasumber lainnya yaitu Muttakun (anggota DPRD Kabupaten Dompu periode 2019-2024) dan Nazmul Wathan (mahasiswa S2 salah satu perguruan tinggi di Malaysia).
Dalam acara itu, penulis menyampaikan dua hal sesuai tema. Pertama, mengkritisi penyelenggaran Pilkada 2020 yang rencananya dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Kedua, bagaimana masa depan Dompu dalam perspektif Pilkada.
Ada beberapa kritik penulis terhadap Pilkada yang pada intinya sependapat dan setuju dengan pendapat dan pandangan para ahli, praktisi, pegiat dan pengamat yang meminta Pilkada diundur ditengah ketidakpastian kapan Covid-19 berakhir. Bahkan dengan membuat petisi.
Sepengetahuan penulis, ini pertama kalinya dalam sejarah Pilkada serentak yang telah dilaksanakan sejak tahun 2015 atau bahkan sejak Pilkada langsung dimana koalisi masyarakat sipil meminta untuk ditunda karena pandemi Covid-19. Bahkan ini sejarah pertama kali ada lembaga negara yaitu Komite I DPD RI secara resmi menolak Pilkada 2020.
Pilkada disaat pandemi Covid-19 tidak ramah terhadap manusia. Keselamatan jiwa orang-orang yang terlibat di dalamnya terancam. Apakah itu penyelenggara, peserta dan pemilih. Mereka akan sangat rentan terinveksi Covid-19, meskipun nanti dilaksanakan dengan protokol kesehatan Covid-19.
Pada sisi regulasi yakni UU 10/2016 masih mengatur tahapan Pilkada secara normal. Sehingga akan “kesulitan” bagi KPU untuk menyesuaikan dengan peraturan KPU agar tidak bertentangan dengan UU disatu sisi. Pada sisi lainnya agar peraturan dibuat menyesuaikan dengan protokoler kesehatan Covid-19.
Selain itu, Pilkada 2020 akan sangat rumit dan mahal. Rumit dari aspek teknis karena seluruh tahapan akan dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan.
Tidak mudah untuk melaksanakannya, terutama bagi penyelenggara Pemilu yang baru pertama kali melaksanakan tahapan disaat kondisi tidak normal karena pandemi. Butuh kerja keras dan komitmen tinggi. Melaksanakan tahapan dalam situasi normal saja, masih ditemukan banyak masalah dan kendala. Apalagi dalam kondisi yang tidak normal.
Demikian halnya Pilkada 2020 membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Itu konsekwensi dari pelaksanaan kegiatan yang harus sesuai dengan protokol kesehatan. Dimana penyelenggara pemilu diharuskan sekurang-kurangnya menyiapkan masker, sarung tangan, Alat Pelindung Diri (APD), hand sanitizer dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Termasuk akan menambah jumlah TPS untuk mengurangi jumlah pemilih yang akan memilih pada setiap TPS-nya agar tidak terlalu banyak berkerumun dan berkumpul serta agar bisa diatur jaraknya.
Dengan bertambahnya jumlah TPS, tentu kebutuhan akan sarana dan prasarana serta personel anggota KPPS akan bertambah. Sehingga “pembengkakan” jumlah anggaran tidak dapat dihindari. Dalam catatan, KPU sekurang-kurangnya membutuhkan anggaran tambahan sekitar Rp 4 sampai 5 triliun untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pilkada selain ada ruang kontestasi meraih kekuasaan, juga sarana mempertaruhkan masa depan daerah. Pilkada sejatinya adalah salah satu atau kalau tidak mau dikatakan satu-satu ruang dan cara yang disiapkan konstitusi untuk memilih calon-calon pemimpin, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan mewujudkan cita-cita bernegara sebagaimana tertuang dalam konstitusi yaitu mencerdasakan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
Di Pilkada, kita akan mempertaruhkan masa depan daerah lima tahun mendatang. Apakah masa depan daerah akan lebih baik atau sebaliknya, masa depan yang suram. Itu bergantung pada kualitas pasangan calon kepala daerah dan wakil yang akan diusung partai politik dan akan dipilih oleh pemilih.
Karena Pilkada ini diselenggarakan satu kali dan lima tahun, maka pemilih harus benar-benar mampu memilah dan memilih. Kalau mereka salah memilih, maka selama lima tahun masa depan daerah itu menjadi suram.
Sementara di sisi lain, tidak ada mekanisme koreksi yang diatur dalam konstitusi apabila ada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yang tidak melaksanakaan janji-janji politiknya, tidak merealisasikan visi dan misi serta program kerjanya dapat diberhentikan atau diganti. Kecuali terjerat kasus hukum dan ditetapkan menjadi terdakwa.
Oleh karena demikian, pemilih harus jeli memilah dan memilih pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berkualitas, memiliki kompetensi dan kapasitas untuk membangun daerah.
Ada begitu banyak tantangan sekaligus ujian Pilkada 2020 ditengah pandemi Covid-19 di antara bagi penyelenggara untuk memastikan bahwa seluruh tahapan Pilkada berjalan secara demokratis, jujur dan adil.
Ditengah tuntutan kepercayaan publik ditengah kasus yang menimpa komusionernya di pusat, penyelenggara Pemilu harus mampu menunjukan performa dan kerja terbaiknya dengan tetap menjaga integritas, kemandirian dan profesionalitasnya.
Tantangan dan ujian lain adalah soal politik uang, potensi abuse of power oleh petahana demi menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon dengan memanfaatkan bantuan sosial Covid-19, mobilisasi ASN, kepala dan aparat desa dan sebagainya.
Untuk itu, perlu dukungan dan partisipasi semua pihak di dalamnya untuk berkontribusi nyata agar tantangan dan ujian dalam Pilkada bisa diminimalisir, kalau tidak bisa dihilangkan. Sehingga terwujud Pilkada Dompu yang berintegritas dan bermartabat. Semoga!! (*)
*) Penulis adalah pengamat sosial dan politik.