Penulis Suherman. (dok/lakeynews.com)

Oleh: Suherman *)

SELASA, 12 April 2020, Komisi II DPR melakukan rapat virtual dengan Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP membahas terkait dengan Pilkada serentak. Dalam rapat tersebut telah disimpulkan dan disepakati dua hal.

Pertama, menyetujui dan menyepakati pemungutan suara Pilkada Serentak dilaksanakan pada Rabu, 9 Desember 2020. Ini sesuai dengan opsi A yang ditawarkan KPU.

Terhadap kespakatan ini, penulis berpandangan bahwa melanjutkan Pilkada serentak ditengah wabah Covid-19 tidaklah logis dan relevan serta terkesan terburu-buru.

Meskipun putusan akhir pelaksanaannya nanti tetap memperhatikan perkembangan penanganan Covid-19 dan memperhatikan kesiapan pelaksanaan tahapan lanjutan.

Namun, tetap saja kesepakatan tersebut menjadi beban psikologis dan berpotensi memecah belah konsentrasi ditengah seluruh elemen bangsa sedang bersama untuk fokus mengeluarkan energi, tenaga, waktu dan biaya menangani Covid-19.

Disaat lebih dari 40 negara di dunia (menurut catatan IDEA awal April) telah menunda Pemilu-nya hingga tahun 2021 akibat covid-19. Kita disini, di negara yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab malah “ngotot” ingin melaksanakan tahapan Pilkada ditengah musibah kemanusian melanda.

Terlepas soal Politik dan akomodasi kepentingan siapa, namun ini murni soal kemanusiaan. Bukankah Pilkada itu hasilnya adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat (manusia). Maka, pelaksanaan tahapannya semestinya memperhatikan aspek kemanusiaan. Pilkada dari, oleh dan untuk manusia.

Kedua, usulan agar pelaksanaan Pilkada kembali disesuaikan dengan masa jabatan 1 (satu) periode 5 (lima) tahun yaitu 2020, 2022, 2023, 2025 dan seterusnya.

Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa keserentakan pemilu yang konstitusional bagi penguatan sistem presidensial adalah Pemilu Presiden/Wakil Presiden serentak dengan Pemilu Anggota DPR dan DPD.

Sementara keserentakan pemilu lainnya tergantung pada pembuat UU (DPR dan Pemerintah).

Meski demikian MK memberikan 6 (enam) model pemilu serentak yang dinilai konstitusional:

  1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
  2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
  3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
  4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
  5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
  6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden.

Pada tahun 2024 sesuai dengan ketentuan pasal 201 ayat 8 UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada akan dilaksanakan pemungutan suara Pilkada serentak nasional yang akan bersamaan dengan pelaksanaan pemilu serentak nasional. Sehingga praktis pemilu ini nantinya pemilih akan memilih 7 (tujuh) jenis surat suara (model point 3).

Kalau model Pemilu memilih 7 (tujuh) surat suara ini dilaksanakan pada tahun 2024, maka ada beberapa konsekwensi yang muncul, sebagai berikut;

Pertama, menimbulkan beban kerja teknis yang sangat berat bagi penyelenggara. Berkaca pada pengalaman pemilu 2019 (Pemilu 5 kotak) yang meski penyelenggaraan-nya sukses, namun meninggalkan banyak masalah hingga menimbulkan lebih dari 500 orang petugas meninggal dunia.

Kedua, jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 katakanlah jadi dilaksanakan pada Rabu, 9 Desember 2020 atau bahkan nantinya ditunda lagi hingga 2021 membuat jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah semakin berkurang.

Ketiga, masa jabatan Penjabat yang mengisi jabatan kepala daerah dan kepala daerah akan semakin lama. Kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil Pilkada 2017 dan 2018 menjabat sampai 2022 dan 2023. Pada tahun 2022 dan 2023 tidak akan dilaksanakan Pilkada serentak. Sehingga jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hingga 2024 diisi oleh penjabat kepala daerah.

Menurut penulis, kedepan yang paling ideal, realistis, efektif dan efisien adalah penyelenggaraan keserentakan model 4 sesuai putusan MK di atas. Dimana pada tahun 2024 dilaksanakan pemilu serentak nasional yaitu memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR dan DPD atau pemilu memilih 3 surat suara. Setelahnya yaitu pada tahun 2026 dilaksanakan Pemilu serentak lokal yaitu memilih anggota DPRD Propinsi, DPRD Kab/Kota, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota atau pemilu memilih 4 surat suara.

Dengan demikian kedepan di Indonesia dalam kurun waktu 5 (lima) tahun akan dilaksanakan 2 (dua) kali pemilu yaitu pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal. Yang pintu masuknya harus mulai didesain dan dilaksanakan pada tahun 2024 sebagai pemilu serentak nasional dan tahun 2026 pemilu serentak lokal.

Sehingga periodesasi 1 (tahun) masa jabatan (5) tahun kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat terealisasi hingga tahun 2025. Dengan kata lain tidak ada pengurangan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta tidak ada penjabat kepala daerah yang menjabat terlalu lama.

Pada sisi lain, Pemilu serentak nasional dapat menguatkan sistem presidensial. Sementara pemilu serentak lokal dapat menguatkan sinergitas antara sesama unsur pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD) yang dimulai dari kesinkronan antara masa jabatan kepala daerah dengan DPRD. Sehingga ada chek and balances yang ideal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah antara kedua unsur pemerintah daerah tersebut.

Meski demikian, usulan melaksanakan Pilkada lanjutan pada Rabu, 9 Desember 2020 dan usulan rasionalisasi masa jabatan 1 (satu) periode 5 (lima) tahun dapat benar-benar terlaksana dan memiliki landasan hukum.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Pertama, mengeluarkan PERPPU yang merubah ketentuan pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Kedua, dicabutnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional. Termasuk dicabutnya Instruksi Presiden Republik Indonesia yang meminta seluruh masyarakat untuk bekerja, beraktivitas, dan beribadah di rumah, termasuk membatasi interaksi antarwarga.

Apapun pilihan-pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPR baik itu terkait pelaksanaan Pilkada pada Rabu, 9 Desember 2020 maupun keinginan rasionalisai masa jabatan 1 (satu) periode 5 (lima) tahun hendaknya memperhatikan semua aspek baik teknis dan non teknis. Termasuk dalam menyusun regulasi. Tidak seperti sekarang dan sebelum-sebelumnya, setiap 5 tahun Pemilu selalu berganti regulasi (UU)-nya. (*)

*) Penulis adalah mantan anggota KPU Kabupaten Dompu Periode 2014-2019. Juga, pemerhati masalah sosial politik di Dompu.