“Irae….de susa jara ngupa ngahae. Wati badeku pana liro rau, Pae…. (Aduuuh….. Susah sekali cari makan, tak tahu panas terik matahari, Pak…., red: Dompu-Bima).”
===========
ITULAH kalimat awal yang dilontarkan perempuan tua yang lagi asyik memungut dedaunan kering, sampah kertas dan plastik di ujung gang, beberapa puluh meter dari kediamannya.
Dia solah tidak lagi menggubris terik matahari yang menyengat kulit tuanya siang itu. Tak ada lagi kata yang terucap kecuali terus dan terus mengumpulkan sampah yang dilakukan dengan berdiri atau duduk saat memburu sampah-sampah.
Perempuan tua yang siang itu hanya mengenakan celana pendek, berbalut baju putih dengan rambut acak-acak tak terurus itu biasa dipanggil Ina Ndora. Oleh sebagian orang, wanita bernama asli Julaiha, 80-an tahun, warga Rasabou, Kelurahan Kandai II, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu ini sudah dianggap “gila”.
Saban hari dan waktu membersihkan gang, jalan, halaman masjid atau mushalla, bahkan Terminal Ginte pun jadi sasaran pembersihan wanita yang sudah keriput ini.
“Nais, Jumat Pak…, si’di-si’di lao kanira sigi (besok, Jumat Pak… pagi-pagi pergi bersihkan halaman masjid, red),” tutur Ina Ndora, ketika disampari Lakeynews.com pada suatu hari pekan lalu. Kata-kata itu terlontar dari binirnya, saat ditanya, “mengapa gak bersihkan masjid.”
Ketika seseorang menyodori lembaran uang senilai Rp. 10 ribu, Ina Ndora langsung mengelus kaki pemberinya sambil berdoa dalam bahasa Bima-Dompu, “Semoga Allah SWT menambahnya dengan satu miliar.” Sejurus kemudian, Ina Ndora lalu meraih bekas bungkusan semen untuk memasukkan sampah-sampah yang dipungutnya.
“Sebenarnya kami malu dengan apa yang dilakukan mertua kami itu (Ina Ndora, red),” kata Sudirman, 45 tahun, menantu Ina Ndora pada Lakeynews.com ketika ditemui secara terpisah di kediamannya, Lingkungan Ginte Kelurahan Kandai II.
Sudirman dengan istrinya sempat mengurung mertuanya untuk tidak keluar rumah. “Justeru kami kurung itu membuat dia sakit,” paparnya. Sudirman dan istrinya pasrah. Tidak kuasa lagi melarang Ina Ndora keluar rumah untuk membersihkan gang, jalan raya, masjid, mushalla dan terminal.
Ketika asyik berbincang-bincang di ruang tamu, muncul Sandora, istri Sudirman. Wanita 42 tahun itu merupakan putri Ina Ndora yang baru pulang dari sawah.
Senada dengan suaminya, Ndora (panggilan Sandora) juga mengaku harus pasrah dengan apa yang dilakoni ibunya. “Mau bilang apa lagi? Kalau kita larang keluar rumah, kaki Ibu (Ina Ndora, red) jadi lumpuh,” tuturnya.
Ndora mengaku, sesungguhnya dia juga malu terhadap tetangga karena membiarkan ibunya lontang-lantung memungut sampah-sampah seperti itu.
“Bapak bisa lihat halaman dan gang-gang ini bersih dari sampah karena dipungut oleh ibu,” katanya. Ndora kuatir dengan keselamatan ibunya saat membersihkan sampah di jalan. “Takut ditabrak kendaraan yang lalu lalang kesana-kemari,” ujar ibu tiga putri dan satu putra ini.
Ketika ditanya seputar awal kejadian sehingga ibunya mengalami perubahan perilaku ini, Sandora yang saat itu masih bersama suaminya mengisahkan, ibunya dikenal sebagai wanita pedagang yang gigih dan ulet. Namun semuanya berubah ketika bus antar kota yang ditumpangi ibunya mengalami kecelakaan. Ina Ndora termasuk menjadi korban kecelakaan. “Bahkan ibu sempat divonis sudah meninggal,” cerita Sandora dengan suara terbata-bata.
Tetapi Tuhan berkeputusan lain. Ina Ndora bahkan sembuh. Setelah sembuh, ibunya justru sering ke kuburan untuk membersihkan sampah-sampah yang ada di atas kuburan dan dianggap biasa saja.
Sikap ibunya makin berubah, setelah putri kedua dari suami keduanya, Sabatun (Atun), 30 tahun, yang kini bekerja di Arab Saudi tidak ada kabar beritanya. Bahkan, sudah hampir 10 tahun Sabatun jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi belum juga diperoleh kabarnya.
“Ada yang bilang sudah wafat. Ada juga yang bilang sudah patah kakinya karena disiksa majikan dan lain sebagainya,” ujarnya. “Berita yang tidak menentu seperti itu menambah shock ibu saya,” sambung Sandora.
Yang membuat Sandora terharu dan tak mampu menahan kesedihan ketika mendengar jeritan ibunya setiap malam hari. “Iyo Atun anae…, lao ngupa ratu juta ‘di-oha sapingga. (Aduuh Atun anakku…., pergi mencari uang ratusan juta rupiah untuk nasi satu piring…, red),” tutur Sandora menirukan kata-kata sang ibu yang menyesali kepergian putrinya.
Sandora memberikan keyakinan bahwa ibunya tidak gila. Dan ibunya juga berasal dari keluarga baik-baik. “Ibu saya tidak gila, tapi kadang orang ganggu dengan Sabatun yang tidak akan pulang,” sesalnya.
Sandora dengan berderai air mata, tidak mampu menyembunyikan kesedihannya mengingat kesedihan ibunya yang menunggu kabar putrinya. “Dengar ibu yang setiap malam meratapi dan menyesali kepergian anaknya membuat kami juga ikut sedih mendengarnya,” kata Sandora yang juga terus menangisi ibunya dan adiknya yang belum diketahui nasibnya.
Lurah Kandai II, M. Yunan Helmi, S.Sos secara terpisah ketika dihubungi di kediamannya mengakui, sebenarnya Ina Ndora (Julaiha) ini adalah perempuan normal. “Mungkin karena faktor pikiran, sehingga kadang ngelantur,” akuinya.
Namun terkait kegigihan Ina Ndora memungut dan membersihkan sampah, kata Lurah, merupakan sebuah pembelajaran bagaimana menjaga kebersihan lingkungan. (nasuhi)