(Pemilik Modal Vs Pedagang Kecil di Kabupaten Bima)
Oleh: Satria Madisa )*

Lebih dari sepekan terakhir masyarakat Kabupaten Bima dihebohkan dengan kehadiran retail modern di Kecamatan Bolo, Alfamart. Kehadiran Alfamart sontak mendapatkan reaksi dan aksi dari masyarakat luas, pro-kontra menggema di ruang publik, lebih-lebih sosial media.
Beragam aksi penolakan masyarakat terhadap kehadiran Alfamart dengan alasan mendiskreditkan pedagag kecil. Kebanyakan opini publik bahwa retail modern pasti mencampakkan pedagang kecil. Apalagi di sepanjang jalan utama di Bolo dipenuhi pedagang kecil yang memang mengais rezeki sebagai sumber kehidupannya di tempat itu.
Bagaimanakah dengan kehadiran Alfamart terhadap nasib pedagang kecil?
Alfamart atau sejenisnya adalah konspirasi ekonomi yang “menghisap” kelas ekonomi kelas bawah, seperti halnya pedagang kaki lima dan pedagang kecil lainnya. Alfarmart itu simbol dan praktik dari keberadaan ekonomi kapitalis yang sengaja diarahkan untuk menghancurkan pedagang kecil.
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pernah mengatakan, “Satu Alfamart bisa membuat 20 warung kecil di sekitarnya gulung tikar.” Hal itu diungkap Jusuf Kalla dalam pidato penutupan Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional, sebagaimana dilansir dari mata sulawasi selatan.com.
Ini artinya, satu Alfarmart di Bolo bisa mematikan 20 warung atau UKM/Toko di sekitarnya.
Pemda Kota Bima tidak mengizinkan Alfamart berada di kota itu. Begitu juga Pemda Dompu.
Ada contoh yang layak untuk Pemkab Bima. Wali Kota Padang tegas menolak kehadiran Alfamart dengan alasan takut perekonomian masyarakat itu mati (pedagang kecil dan toko-toko di sekitarnya habis digilas sistem ekonomi kapitalis itu) dan mewacanakan, “Halal Mart” yang nantinya memasarkan prodak dari kota padang. Beda halnya dengan Pemda Kabupaten Bima. Kemana muka DPRD dan Pemda?
Dengan dalih itu ada izinnya dan dengan dalih sosialisasi dua kali di kantor camat, bukan menjadi alasan pembenar. Justru pemerintah daerah seharusnya menolak kehadiran Alfamart. Enak sekali Bupati Bima mengatakan menyebarluaskan investasi. Tapi, juga harus lihat dampak Dong.
Pemerintah daerah perlu jalan-jalan melihat daerah yang bagaimana ekonomi masyarakatnya sejahtera karena kehadiran retail modern tersebut.
Pemerintah daerah kita perlu berkaca pada sikap pemimpin yang lain. Bukankah kebijakan itu mendiskreditkan pedagang kecil?
Anggap saja satu Alfamart bisa mengakomodasi 10 tenaga kerja (dampak positifnya), lantas bagaimana dengan toko kecil yang terancam tutup karenanya?
Kebijakan pemerintah daerah juga harus dikorelasikan dengan fakta sosiologis masyarakat Bima, bagaimana ekonominya, dan apa mata pancaharian yang menghidupkan perekonomiannya.
Di Bolo, sepanjang jalan, masyarakatnya adalah pedagang kecil. Mata pancaharian hanya dengan hasil dagang.
Memberikan izin Alfamart merupakan bukti riil keberpihakan Bupati Bima pada pemilik modal yang notabenenya kaum kapitalis. Pemda tidak berpihak pada kepentingan ekonom masyarakat Bima.
Bukankah ada wacana Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mart, yang katanya sahamnya 85 persen dari Pemda? Beda dengan Alfamart yang 85 persen sahamnya asing. Kok yang didukung itu Alfamart? Seharusnya BUMDes Mart itu yang diprioritaskan
Kalau Bupati Bima cerdas, BUMDes Mart itu lebih menjanjikan dan tentunya tidak mematikan pedagang kecil. Paling tidak Kita tidak menghamba pada kaum kapitalis yang menghisap dan menghancurkan perekonomian masyarakat kecil. Sekaligus ikhtiar memodernisasi Bima dengan konsep dan tekad yang lahir dari daerah itu sendiri.
Keberadaan ekonomi masyarakat Bima yang menurut hemat saya belum menunjukan tingkat kesejahteraan, Pemda seharusnya merumuskan dan konsisten dengan BUMDes Mart, bukan malah memberi izin Alfamart. Ataukah BUMdes Mart mau disandingkan dengan Alfamart?
Pemda harus mengevaluasi izin Alfamart dengan alasan bahwa Bima belum membutuhkan itu. Pedagang-pedagang kecil akan sangat berbahaya eksistensinya. Andai kata BUMDes Mart itu sulit diwujudkan oleh Bupati, maka upaya memodernisasi pasar itu langkah keharusan.
Semoga Bupati Bima selalu sehat! (*)
)* Penulis adalah Mahasiswa Hukum Universitas Mataram.