
BIMA, Lakeynews.com – Konflik antarwarga (horizontal) itu ibarat sebuah pohon. Penanganan konflik sosial pun ibaratnya upaya menumbangkan sebuah pohon.
“Agar pohon itu tidak bisa hidup lagi, tidak cukup dengan hanya menebangnya. Tapi, lebih dari itu, harus dicabut akarnya. Jika ditebang, suatu waktu tunasnya akan tetap tumbuh,” kata Kapolres Bima Kabupaten AKBP M. Eka Fathurrahman, SH, S.Ik.
Saat diskusi ringan dengan Lakeynews.com di kantornya, beberapa waktu lalu, Eka menegaskan, demikian pula dalam penanganan konflik horizontal antarwarga (antarkampung), harus dicabut dari akar-akarnya.
Lalu bagaimana strateginya untuk mencabut akar konflik sosial yang sudah mengkronis di daerah ujung timur NTB itu?
Secara gamblang, Eka tidak menjelaskan secara detail langkah-langkah dan strategis yang diterapkan pihaknya. Namun, secara umum dia menguraikan, konflik sosial terjadi karena pola pikir warga (masyarakat) yang masih korsa terhadap desa/kampung.
Menurut Kapolres, tanpa melihat benar atau salahnya, karena jiwa korsa terhadap desa atau kampunya, warga asal bela saja. Misalnya ada perkelahian warga tertentu, yang sering terjadi selama ini, mereka tidak menyebut personel orangnya tapi langsung kampungnya.
“Jiwa korsa kampung tanpa melihat atau mengetahui dulu benar-salahnya ini yang sedang diubah. Inilah yang mau kita cabut akarnya, bukan menebang pohonnya,” tegas Kapolres Eka.
Selain itu, tanggungjawab terhadap keamanan ini, menurut Eka, bukan hanya polisi. Tapi merupakan tugas semua pihak, sesuai bidang dan kapasitasnya masing-masing. “Keamanan ini tugas bersama kita semua,” imbuhnya. (won)