Tim Ahli Konservasi Tanah dan Air UGM Jogjakarta Dr Ir Agus Maryono, tengah mendemonstrasikan penggunaan alat-alat panen air hujan itu, kantor Walikota Bima, Rabu (19/01). (foto ist/lakeynews.com)

KOTA BIMA, Lakeynews.com – Selama ini, yang diketahui kalau hujan deras itu kerap menjadi sumber banjir dan bencana. Air hujan pun mengalir dengan sia-sia saja. Namun, tak usah kuatir lagi. Sekarang sudah ada teknologi dan peralatan canggih untuk memanen air hujan, sehingga karunia Tuhan itu tidak sia-sia.

Hari ini, Kamis (19/01), Tim Ahli Konservasi Tanah dan Air Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, hadir ke Kota Bima untuk sosialisasi Gerakan Restorasi Sungai dan Memanen Air Hujan kepada Pemerintah dan Masyarakat Kota Bima. Tim Ahli itu, Prof Dr Hari Kusnanto, DrPH, dan Dr Ir Agus Maryono, didampingi dua asistennya, Bayu Fardhi Achmad, S.Kep.Ns.M.Kep, dan Rifqi Amrillah Abdi.

Dalam pertemuan yang berlangsung di ruang rapat Walikota itu, tim memaparkan secara detail Gerakan Restorasi Sungai dan Memanen Air Hujan di hadapan sejumlah pejabat di daerah itu. Diantaranya, Asisten II Setda Kota Bima Dr Syamsudin, M.Si.

Hadiri juga dalam pertemuan itu, pejabat dari Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah, Dinas Pertanian, Dinas Komunikasi dan Informatika, Dinas Pariwisata, serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, pejabat dari Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Ketahanan Pangan, Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

“Gerakan restorasi sungai perlu menjadi perhatian serius. Gerakan ini tidak boleh hanya dilaksanakan oleh pemerintah. Masyarakat juga harus terlibat,” kata salah seorang Tim Dr Ir Agus Maryono.

Banjir bandang, jelas Agus, biasanya hanya terjadi sekali dan tidak ada banjir bandang susulan. Sifat banjir bandang adalah langsung menyapu bersih semua material atau sumbatan sepanjang sungai tersebut. Jadi biasanya setelah ada banjir bandang di satu sungai, maka tidak ada banjir susulan.

“Jika sampai terjadi banjir bandang susulan seperti di Kota Bima, kemungkinan besar banjir pertama dan kedua berasal dari sungai yang berbeda,” jelasnya.

Agus menyarankan agar dilakukan gerakan susur sungai, atau mengecek aliran air sungai yang lain, apakah masih ada penyumbatan sehingga tidak menjadi penyebab banjir berikutnya. Material penyumbat aliran air sungai akan mengakibatkan air terakumulasi di beberapa titik sepanjang sungai, terutama di kawasan hulu.

Peserta sosialisasi Gerakan Restorasi Sungai dan Memanen Air Hujan, antusias mencermati pemapan dan demontrasi peralatan dari Tim Ahli Konservasi Tanah dan Air UGM. (foto ist/lakeynews.com)

“Pada saat ada curah hujan ekstrim (seperti yang terjadi pada Desember 2016), maka akumulasi air tadi tidak lagi tertampung dan mengalir sekaligus sehingga mengakibatkan banjir bandang. Air banjir hari ini merupakan akumulasi air hujan hari-hari sebelumnya, karena sungai tidak lancar alirannya,” tandas Agus.

Karena itu, dia mengajak masyarakat untuk memanfaatkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Menurutnya, air hujan saat ini belum dimanfaatkan maksimal. Hanya dibiarkan turun dan mengalir, hingga kadang membanjiri wilayah.

“Suatu kondisi yang ironis jika pada musim kemarau kekurangan air, sementara pada musim hujan kita kebanjiran,” katanya seraya menambahkan, pemanenan atau menampung air hujan sudah diterapkan di berbagai negara maju seperti Jerman dan Australia.

Kedatangan Agus bersama tim membawa dua contoh alat penampung air hujan yang juga memiliki fungsi penyaringan, sehingga air yang tertampung sudah bersih dan bisa digunakan untuk keperluan memasak.

Agus saat itu kemudian mendemonstrasikan penggunaan alat-alat itu.

Dua unit peralatan tersebut akan diberikan kepada Pemerintah Kota Bima untuk dimanfaatkan. Dia berharap, ke depan pemerintah bisa menggerakkan masyarakat agar program memanen air hujan bisa menjadi gerakan komunal. (sarwon al khan)