Ilustrasi HIV/AIDS. (istimewa/lakeynews.com)

DOMPU, Lakeynews.com – Sepanjang tahun 2016, sembilan warga Kabupaten Dompu meregang nyawa karena penyakit HIV/AIDS. Meski pendampingan terus dilakukan, tidak mampu menekan angka kematian karena kondisi kesehatannya sudah sangat kritis. Angka kematian tersebut, sebagain kecil dari pengidap HIV/AIDS yang mencapai 37 orang.

Ketua Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Kabupaten Dompu Dahlia Wahyuni, S.Sos mengatakan, mereka yang meninggal itu rata-rata penyakitnya sudah tingkat AIDS. Artinya sudah terjadi komplikasi di dalam tubuhnya.

“Kalau AIDS ini sudah terjadi komplikasi. Penyakit ini sudah timbul semua seperti penyakit paruh, penyakit kulit, ginjal,” jelasnya pada wartawan baru-baru ini.

Dijelaskan, penyakit menular yang paling tinggi ditangani sepanjang 2016 ini, Inveksi Menular Seksual (IMS). Angkanya mencapai 75 kasus. Kemudian yang positif HIV 24 kasus dan AIDS 13 kasus. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2015.

Meski demikian, katanya, upaya pengobatan yang dilakukan membuahkan hasil. “Alhamdulillah juga kami punya satu pasien sekarang sudah negatif. Dapat mukjizatlah dia. Awalnya dia positif mengidap HIV, kini terselamatkan,” ujar Dahlia.

Penderita HIV maupun AIDS terdapat hampir di seluruh wilayah Kabupaten Dompu, baik di perkotaan maupun pedesaan. Penderita didominasi oleh pekerja yang rentan keluar masuk daerah. Mereka yang postif HIV/AIDS, sudah dilakukan penindakan seperti, pemenuhan nutrisi pasien, pengobatan Antir Retrovira (ARV) untuk menambah kekebalan tubuh. “Kalau ada kasus kita tetap koordinasikan dengan teman-teman provinsi untuk mendapatkan ARV,” ungkapnya.

Pandangan buruk terhadap penderita HIV /AIDS, kata Dahlia, harus dihilangkan. Orang dengan HIV/AIDS atau ODA sama dengan penderita penyakit lainnya. Faktanya kasus kematian tertinggi selama ini banyak disumbang penyakit tidak menular, seperti jantung, gagal ginjal, kanker dan lainnya.

Untuk itu, lanjut Wahyuni, dalam pelaksanaan program pemerintah, harus ada dukungan dan partisipasi masyarakat, baik dalam hal penerimaan penderita saat interaksi sosial maupun dukungan selama proses pengobatan. “ODA sama saja dengan mereka atau penderita penyakit lain,” tegasnya. (far)