Suaidin Usman. (foto ist/lakeynews.com)
Suaidin Usman. (foto ist/lakeynews.com)

 

Oleh : Suaidin Usman

(Praktisi Pendidikan Indonesia, Pengawas SMA/SMK Kabupaten Dompu – NTB)

 

Malapraktik ternyata tak hanya terjadi di dunia kedokteran. Di dunia pendidikan, kasus malapraktik pun banyak ditemukan, terutama pada kelas pemula di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) yakni kelas 1, 2 dan 3. Siswa malas belajar, menjadi pasif, dan takut terhadap jenis mata pelajaran tertentu, serta prestasi siswa tidak optimal, ini bisa jadi indikasi malapraktik. Padahal, saat di TK siswa-siswa itu kreatif.

Indikasi demikian banyak ditemukan pada anak didik. Namun tidak banyak guru yang menyadari bahwa apa yang terjadi pada siswa-siswi tersebut sebenarnya merupakan bentuk malapraktik dalam dunia pendidikan.

Malapraktik ini dapat terjadi akibat beberapa hal. Diantaranya, guru kurang memahami latar belakang dan bakat siswa, serta perbedaan budaya antara guru dengan lingkungan sekolah, guru dalam melaksanakan tugasnya tidak sesuai atau tidak memenuhi Standar Proses, Standar Penilaian, Standar Isi dan SKL dalam pembelajaran di kelas.

Idealnya, guru dalam melaksanakan tugasnya (mengajar, melatih, mendidik) ratusan anak dalam sehari adalah untuk menyelamat manusia dari kebodohan dan tidak berkarakter baik. Bayangkan saja bila manusia dalam kebodohan dan tdk berkarakter baik di negara Indonesia ini akibat malapraktek dalam dunia pendidikan, apa yang terjadi?

Jika kita amati lebih dalam, bentuk-bentuk malapraktik dalam dunia pendidikan, sesungguhnya tidak hanya terjadi di lingkungan SD saja, pada jenjang pendidikan di atasnya pun tampaknya masih dapat ditemukan berbagai bentuk tindakan malapraktik yang (diduga) dilakukan oleh para pendidik, baik pada tingkat SLTP, SLTA, bahkan Perguruan Tinggi.

Oleh karena itu, diperlukan kearifan dari para guru yang memegang siswa-siswa kelas bawah ini. Dalam hal ini, pemenuhan persyaratan kompetensi sebagai guru SD tampaknya menjadi mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berbekal kompetensi yang memadai  inilah diharapkan tidak tejadi lagi aneka bentuk malapraktik atau malatreatment dalam pendidikan.

Merujuk pada istilah malapraktek di bidang kedokteraan, menurut Coughlin’s Dictionary Of Law, “bahwa malapraktek di bidang pendidikan bisa diakibatkan karena sikap kurang kehati-hatian seorang guru dalam pelaksanakan kewajiban profesional. Misalnya guru dalam mengajar di kelas harus sesuai standar proses. Guru menilai kompetensi siswa harus mengacu pada standar penilaian. Guru membuat persiapan pembelajaran harus mengacu pada standar isi. Dan, lain sebagainya.

Pengaduan “kasus malapraktik” dalam dunia pendidikn memang belum marak, seperti kasus malapraktek di dunia kedokteran. Namun tidak menutup kemungkinan di era informasi dan globalisasi tanpa batas sekarang ini akan meluas ke dunia pendidikan.

Maraknya orangtua melakukan tindakan kekerasan terhadap guru, atau banyaknya siswa melawan guru adalah suatu pertanda. Bisa jadi, orangtua atau siswa merasa tindakan yang diambil guru, menurut pemahaman mereka, merupakan tindakan guru tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan Undang-undang yang berlaku, yang mengakibatkan sakit secara fisik pada dirinya.

Beberapa ciri profesionalisme tersebut yang merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi guru ditambah dengan sikap altruis (rela berbagi ikhlas mendidik untuk anak bangsa). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.

Untuk menyelamatkan siswa dari malapraktik pada masa-masa yang akan datang, satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh pemerintah adalah “menempatkan posisi Profesi Guru di atas dan atau sama dengan Profesi Dokter. Sebagaimana salah satu hasil Studi penulis yang tergabung dalam Tim 12 PTK Prestasi Nasional + 3 Pendamping dari Kemdikbud RI ke beberapa negara di Eropa, seperti Rusia, Swedia dan Finlandia tahun 2014 sudah menempatkan profesi guru pada level teratas, dalam hal ini di atas profesi dokter. Karena profesi guru yang tidak kompotensi atau tidak profesional dikuatirkan akan berisiko tinggi terhadap keselamatan bangsa dan negara.

Oleh karena demikin, standarisasi guru harus dimuali dari awal seleksi masuk mahasiswa calon guru di LPTK maupun di FKIP tidak terkecuali negeri maupun swasta dipeketat dengan standar tinggi. Maka, akan tercetak guru guru hebat, kepala sekolah hebat, pengawas hebat, juga Mendikbud diangkat dari guru dan atau pengawas hebat, akhirnya dunia pendidikan pun akan hebat. Karena, “sesuatu yang biasa, jika diserahkan pada ahlinya maka menjadi luar biasa” (Om Won).

Hasil studi di atas sejalan dengan pemikiran Dr. Mayong Maman, salah seorang dosen senior Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Makassar (UNM) dalam diskusi online di Fb: Suaidin Dompu tentang judul di atas. Dalam diskusi tersebut, beliau menanggapi, “Kalau melihat hasil UKG yang masih rendah saat ini, apakah pemerintah tertarik untuk menaikkan tunjangan guru setara dengan tunjangan dokter? Untuk memulai perbaikan kualitas guru, perlu diawali dengan seleksi calon guru yang bermutu dan yang berbibit unggul. Pemantauan dilakukan sejak di TK sampai di SMA. Siswa SMA/SMK/MA yang dipilih untuk calon guru hanya lima terbaik di setiap kelas. Lima terbaik seluruh Indonesia inilah diuji kompetensinya yang meliputi tes IQ/EQ, akhlak agama, bidang studi, sikap, bakat, fisik, dan minat keguruannya. Pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk seleksi calon guru ini. Siapkah pemerintah utk hal ikhwal ini?

Untuk mengantisipasi terjadinya malapraktik, sebenarnya pemerintah telah menerapkan ujicoba program induksi untuk guru pemula (setelah guru lulus CPNS) pada enam kabupaten percontohan, yakni Sumedang, Bantul, Pasuruan, Padang, Banjarbaru dan Minahasa Utara.

Pogram induksi adalah semacam orientasi bagi guru pemula (CPNS) untuk mengenal dan memahami tugas-tugasnya sebagai pendidik, dengan mengedepankan pengenalan lingkungan dan siswa yang akan dihadapi. Program yang akan diterapkan selama setahun tersebut bakal melibatkan kepala sekolah maupun guru-guru senior untuk menjadi mentor saat guru pemula melakukan tugas pengajaran di kelas untuk menghindari malapraktek tersebut.

”Jika dalam evaluasi ternyata guru yang bersangkutan tidak layak mengajar, maka ia tidak bisa dipaksakan menjadi guru. Ia bisa saja dialihkan ke tugas lain seperti administrasi atau petugas perpustakaan.” Program induksi ini untuk sementara hanya diberlakukan pada guru-guru pemula. Pertimbangannya, selain keterbatasan dana, umumnya guru pemula belum banyak mengenal lapangan dan Standar Nasional Pendidikan seperti diuraikan di atas. Namun, belum bisa dipastikan kapan program induksi ini bakal diterapkan secara menyeluruh di Indonesia.

Jika standarisasi guru tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah, kedepan sangat wajar (berdasarkan logika dan kajian ilmiah sederhana di atas) pemerintah Indonesia menyamakan besaran Tunjangan Dokter dan Tunjangan Guru. Mengapa demikian? Kita ketahui bahwa Tunjangan Dokter itu tinggi karena menyangkut pekerjaan menyelamatkan nyawa manusia dan memperkecil terjadinya malapraktek. Sedangkan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya; mengajar, mendidik, melatih ratusan anak dalam sehari adalah juga untuk menyelamat manusia dari kebodohan dan tidak berkarakter baik. Bayangkan saja bila manusia dalam “kebodohan” dan “tdk berkarakter baik” di negara Indonesia ini, apa yang terjadi?

Namun ancaman malapraktek dan kriminalisasi guru dalam dunia pendidikan di Indonesia di era globalisasi saat ini tidak menutup kemungkinan akan bernasib sama dengan ancaman malpraktek yang dialami oleh dokter dewasa ini.

Kriminalisasi terhadap dokter akibat tuntutan malapraktek tanpa disadari akan berdampak sangat luas pada pelayanan dokter terhadap pasien di Indonesia. Paling dirugikan nantinya adalah masyarakat miskin dan masyarakat daerah terpencil. Salah satunya, dokter akan menerapkan Defensive medicine atau praktek kedokteran defensif. Defensive medicine juga disebut pengambilan keputusan praktek kedokteran defensif, mengacu pada praktek dokter merekomendasikan tes diagnostik atau pengobatan yang belum tentu pilihan terbaik bagi pasien dan sesuai dengan indikasi medis. Tapi praktek kedokteran defensif merupakan pilihan utama untuk melindungi dokter terhadap gugatan pasien sebagai potensi penggugat dan vonis hakim terhadap malpraktek dokter.

Hal senada akan terjadi pada profesi guru, maraknya kriminalisasi terhadap guru yang dilapori orangtua siswa ke polisi tidak sedikit yang berujung ke “jeruji besi”. Belum lagi tindakan brutal orangtua murid memukul guru sampai babak belur di lingkungan sekolah karena menghukum siswa yang tidak disiplin melanggar tata tertib sekolah yang belum tentu merupakan tindakan malapraktek. Akibatnya tanpa disadari juga berdampak sangat luas terhadap lemahnya pelayanan pendidikan di sekolah. Yang paling dirugikan nantinya adalah murid yang “nakal” dan sulit diatur di sekolah yang memerlukan pelayanan pendidikan standar oleh guru Bimbingan Konseling (BK), tidak mendapatkan layanan pendidikan yang maksimal. Salah satunya guru akan menerapkan pola pembiaran atau hanya teguran tanpa tindakan yang belum tentu sesuai dengan masalah siswa. Tapi pola teguran tanpa tindakan adalah merupakan pilihan utama untuk melindungi guru terhadap gugatan malapraktek oleh orangtua.

Mengingat beratnya risiko tugas profesional guru dan dokter selayaknya pemerintah Indonesia perlu memikirkan kedepan untuk menyamakan besaran Tunjangan Dokter dan tunjangan guru.

 

KESIMPULAN :

Pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar (SD), khususnya pada kelas bawah  merupakan bentuk pendidikan yang amat vital dan mendasar. Kegagalan proses pendidikan pada masa ini akan berpengaruh bagi perkembangan individu  pada masa berikutnya.

Oleh karena itu,  diperlukan kearifan dari para guru yang memegang siswa-siswa kelas bawah ini. Dalam hal ini, pemenuhan persyaratan kompetensi sebagai guru SD tampaknya menjadi mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Berbekal kompetensi yang memadai  inilah diharapkan tidak tejadi lagi aneka bentuk malapraktik atau maltreatment dalam pendidikan.

Jika kita amati lebih dalam, bentuk-bentuk malapraktik dalam dunia pendidikan, sesungguhnya tidak hanya terjadi di lingkungan SD, pada jenjang pendidikan di atasnya pun tampaknya masih dapat ditemukan berbagai bentuk tindakan malapraktik yang dilakukan oleh para pendidik, baik pada tingkat SLTP, SLTA, bahkan Perguruan Tinggi.

Tentunya, dalam hal ini saya (penulis) mendukung sepenuhnya  gagasan program induksi bagi para guru pemula yang ditawarkan oleh Kemdikbud sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan harapan, semoga dapat semakin memperkokoh penguasaan kompetensi bagi para guru yang bersangkutan.

Melalui program induksi ini diharapkan dapat terlahir guru-guru kontruktivis yang mampu membangun dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didiknya. Bukan sebaliknya,  menjadi perusak perkembangan peserta didik alias destruktivis.

Oleh karena itu, sasaran program induksi ini pun seyogianya dapat diperluas lagi, tidak hanya disiapkan bagi para guru pemula di lingkungan SD tetapi juga dapat diberikan kepada para guru pemula di SLTP dan SLTA.

Apakah pemerintah tertarik untuk menaikkan tunjangan guru setara dengan tunjangan dokter? Untuk memulai perbaikan kualitas guru, perlu diawali dengan seleksi calon guru yang bermutu dan yang berbibit unggul. Pemantauan dilakukan sejak di TK sampai di SMA. Siswa SMA/SMK/MA yang dipilih untuk calon guru hanya lima terbaik di setiap kelas. Lima terbaik seluruh Indonesia inilah diuji kompetensinya yang meliputi tes IQ/EQ, akhlak agama, bidang studi, sikap, bakat, fisik, dan minat keguruannya. Pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk seleksi calon guru ini. Siapkah pemerintah untuk hal ikhwal ini?

Bagaimana teknis implementasi dari program induksi ini? Bagaimana  pula peran pengawas sekolah dalam program ini? Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya! (*)