Liputan Khusus di SP II Nangakara (4)
Laporan : Sarwon Al Khan – Dompu
Jembatan di Satuan Pemukiman (SP) II Nangakara, Desa Sori Tatanga, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), ternyata pernah hendak dibuat oleh pemerintah. Dananya pun sudah ada, namun gagal diwujudkan. Kenapa?
===========
KEPALA Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Dompu H Burhan, SH, secara jantan mengakui bahwa jembatan di pemukiman transmigrasi SP II Nangakara, belum pernah dibuat oleh pemerintah pusat. “Jembatan di sana (SP II Nangakara, red) memang tidak ada karena belum dibuat oleh pusat,” kata Burhan.
Satu-satunya fasilitas (sarana) pendukung di SP II Nangakara tidak pernah dibuat pemerintah pusat sejak awal hingga diserahkan ke Pemkab Dompu adalah jembatan. Setelah penyerahan tugas, wewenang dan tanggungjawab dari pusat ke kabupaten pada akhir 2015 hingga sekarang pun, sarana itu belum juga dibuat.
Tahun 2015 pernah mau dibuatkan salah satu jembatan dengan dana dari pusat Rp 75 juta. Pada tahun pengajuan anggaran, jumlah dana itu dirasa cukup untuk pembuatan satu jembatan (posisinya di jembatan darurat buatan warga yang sudah putus).
Seiring dengan perkembangan waktu, harga bahan-bahan bangunan melonjak, sehingga dana Rp 75 juta yang tersedia menjadi tidak cukup. Apalagi jembatan yang hendak dibangun itu lumayan lebar, panjang dan dalam.
Kendati begitu, Burhan dan jajarannya tetap berhasrat mewujudkan jembatan tersebut. Soal anggaran yang dirasa kurang, baginya bisa disiasati. Caranya, agar dananya mencukupi dan tetap bisa dimanfaatkan sesuai peruntukan, dirinya berupaya memindahkan titik jembatan yang akan dibangun.
Lokasinya tidak jauh dari rencana semula, hanya beberapa meter. Persisnya, di sebelah kanan (atas) dari arah Dompu. “Di lokasi yang baru ini, posisinya rendah, tidak terlalu dalam (dangkal) dan tidak panjang. Hitungan kita, dana Rp 75 juta itu cukuplah,” papar Burhan.
Hanya konsekuensinya, ketika memindahkan lokasi jembatan maka lahan yang terpakai untuk jembatan dan jalan adalah milik warga. Sementara pemilik lahan “pelit”, tidak rela tanahnya dipakai untuk jalan dan jembatan tersebut. Beberapa kali dilakukan pendekatan dengan beragam pola, yang bersangkutan tetap tidak mau. “Alasannya, dia rugi kalau tanahnya dipakai untuk pembuatan jalan dan jembatan,” ujarnya.
Mungkin warga itu menginginkan ganti rugi dari pemerintah. Pernahkan mereka menyampaikan hal itu kepada pemerintah melalui Dinsosnakertrans? Atau mungkin Dinsosnakertrans sendiri, penahkah menawarkan ganti rugi kepada warga pemilik lahan?
“Mereka tidak pernah menyinggung atau meminta ganti rugi. Mereka cuma tidak mau tanahnya dipakai. Itu saja,” jawab Burhan singkat.
Tetapi hal itu bertolak belakang dengan pengakuan beberapa warga yang ditemui di Lakeynews.com. Mereka mengaku, pemilik lahan tidak pelit, bahkan sangat rela tanahnya dipakai untuk jalan maupun jembatan.
“Memang pernah mau dipakai tanah warga untuk lokasi jembatan yang baru. Warga pemilik lahan bertahan karena pihak pemerintah tidak mau memberikan ganti rugi,” kata salah satu tokoh masyarakat SP II Nangakara, H Yusuf.
Dinsosnakertrans tidak putus asa. Usaha mewujudkan salah satu dari kebutuhan tiga jembatan, tak berhenti sampai di situ. Kali ini, lokasi jembatan hendak dipindahkan ke saluran (sungai) di sebelah barat. Lokasi itu juga direncanakan akan dibuat jembatan karena sangat dibutuhkan warga sebagai penghubung ke lahan usaha (pertanian) mereka.
Lagi-lagi di tempat itupun Dinsosnakertrans menemui hambatan dan kendala yang sama. Lahan tidak diikhlaskan oleh pemiliknya. Tidak tanggung-tanggung. Pemilik lahan itu adalah oknum Kepala Desa (Kades) Sori Tatanga sendiri yang notabene membawahi kawasan SP II Nangakara.
“Di lokasi kedua rencana pemindahan tempat pembuatan jembatan ini justru kepala desa sendiri yang tidak mau sebagian kecil lahannya dipakai untuk pembuatan jembatan. Sulit memang,” tandas Burhan.
Sayangnya, oknum Kades Sori Tatanga Muhammad Tahir, belum berhasil dikonfirmasi. Saat didatangi, kantornya tengah disegel. Didatangi di rumahnya pun, Tahir tidak ada di tempat. Bahkan, handphone (HP)-nya dihubungi beberapa kali tidak aktif.
Kesulitan demi kesulitan dijumpai Dinsosnakertrans. Akhirnya, dana Rp 75 juta dikembalikan ke negara. Praktis, salah satu jembatan pun gagal dibuat. “Mau bagaimana lagi. Daripada bermasalah di kemudian hari, terpaksa dana itu kita kembalikan,” tegas pria berkumis itu. (bersambung)