Pendidikan Indonesia saat ini tersandera oleh sederet masalah. Ada politik neoliberal, sehingga biaya pendidikan menjadi sangat mahal. Pemberian jabatan guru besar kepada politisi, seperti Ketua DPR/MPR Bambang Soesetyo (Golkar) dan Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra) yang sempat heboh. Juga skandal profesor abal-abal pada akademisi, seperti 11 guru besar di Universitas Lambung Mangkurat.
–
ITU antara lain persoalan pendidikan yang membuat gelisah salah seorang Dosen STKIP Yapis Dompu Ilyas Yasin. Kegelisahannya ditulis dan direfleksikan dalam buku berjudul “Pendidikan yang Tersandera” yang diterbitkan HDF Publishing, Mataram, Juli 2024.
Buku kritis tersebut telah dibedah oleh Penerbit Narasi Kita Publishing Dompu bekerja sama dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Dompu dan Komunitas Jejak Literasi Dompu. Kegiatan berlangsung di kampus STIE Yapis Dompu, akhir pekan lalu.
Pada Rabu (31/7/2024) pagi tadi, Ilyas bertandang ke Redaksi Lakeynews.com, bercerita, berdiskusi ringan seputar buku itu dan menyerahkan satu eksemplar kepada penulis (baca: saya, red).
Buku “Pendidikan yang Tersandera” ini merupakan buku keempat yang ditulis Ilyas tahun ini. Tiga buku sebelumnya berjudul, Gagasan dan Kritik: Pergulatan Islam, Modernisme dan Feminisme; Islam, Pluralisme Agama dan Demokrasi; dan, Demokrasi Yang Tersandera: Esai-Esai Politik.
“Buku keempat dengan tebal 254 halaman ini merupakan refleksi kegelisahan saya terhadap berbagai masalah pendidikan, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi,” ungkap Ilyas.
Berbagai masalah dibahas dalam buku ini. Antara lain, terkait komersialisasi pendidikan sehingga mengakibatkan biaya pendidikan mahal. Seperti yang heboh, Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kemudian, masalah politisasi pendidikan, kekerasan di sekolah baik yang dilakukan oleh guru, siswa maupun orang tua siswa terhadap guru.
Selanjutnya, persoalan pendidikan dan dunia kerja, pentingnya kesetiaan pada profesi guru, pendidikan dan kemiskinan ekonomi, keterbatasan sarana-prasarana pendidikan di sekolah, hingga problem linearitas keilmuan di perguruan tinggi.
“Tapi tidak melulu kelamnya dunia pendidikan. Dalam buku ini, saya juga membahas beberapa sosok guru inspiratif,” tutur Ilyas.
Meski membahas beberapa masalah pendidikan, tapi buku Ilyas ini bukan karya akademik. Bukunya ditulis secara popular yang berasal dari hasil pengamatan, pengalaman, renungan, refleksi maupun hasil bacaannya terhadap berbagai problem pendidikan.
Ilyas sengaja menulis buku yang disajikan secara ringan dan popular untuk memancing minat baca, terutama bagi para mahasiswa. Berdasarkan pengalamannya sebagai dosen, para mahasiswa cenderung cepat bosan jika membaca buku akademik yang berat.
“Karena itulah, meski buku ini sarat berbagai kritikan terhadap pendidikan, jangan membayangkan isinya seperti kritik Paulo Freire atau Ivan Illich,” kata diiringi tawa.
Pendidikan Indonesia saat ini, lanjutnya, tersandera oleh beberapa masalah. Antara lain politik neoliberal, sehingga berujung pada biaya pendidikan yang sangat mahal. Terutama pada beberapa kampus negeri yang berstatus Badan Hukum Milik Negara, komersialisasi pendidikan tersebut kian nyata.
“Dulu UGM (Universitas Gadjah Mada) itu dikenal sebagai kampus anak desa. Anak petanipun bisa kuliah di UGM asalkan memiliki kemampuan akademik yang memadai,” tutur Ilyas mencontohkan.
Contoh lain, mahalnya biaya pendidikan di Fakultas Kedokteran. Dia lantas menceritakan pengalamannya bertemu dengan dua orang tua mahasiswa asal Dompu yang anaknya kuliah kedokteran di Mataram dan Semarang.
“Bayangkan, uang sumbangannya saja mencapai Rp. 100 juta,” sorotnya.
Meski bersifat sukarela, besaran nilai sumbangan ini bisa memengaruhi kelulusan calon mahasiswa baru. Orang tua kerap melakukan apapun asal anaknya diterima di kedokteran. “Ini belum SPP dan lainnya,” ujarnya prihatin.
Ilyas mensinyalir, uang sebagai penyaring utama masuk kedokteran dapat menimbulkan implikasi negative. Mulai dari potensi malpraktik hingga lemahnya jiwa sosial dokter lantaran biaya pendidikan yang supermahal tersebut.
Masalah lain di dunia pendidikan ini, sebut Ilyas, adalah mental feodal dan masyarakat yang tergila-gila dengan gelar akademik. Dia mencontohkan pemberian jabatan guru besar kepada dua politisi yang heboh beberapa waktu lalu. Yakni kepada Ketua DPR/MPR RI Bambang Soesetyo (politisi Golkar) dan Sufmi Dasco Ahmad (politisi Gerindra).
“Sebenarnya skandal profesor abal-abal ini tidak hanya terjadi pada pesohor dan politisi, tapi juga pada akademisi. Seperti 11 guru besar di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin,” ungkapnya lagi.
“Sebagai alat perjuangan, pendidikan seharusnya menjadi kekuatan pembebasan termasuk dari budaya feodalistik,” tegas Ilyas menambahkan.
Dibedah di Kampus STIE Yapis Dompu
Sebagaimana tertulis di atas, buku “Pendidikan yang Tersandera” dibedah oleh Penerbit Narasi Kita Publishing Dompu. Bekerja sama dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Dompu dan Komunitas Jejak Literasi Dompu.
Kegiatan yang berlangsung di kampus STIE Yapis Dompu pada Sabtu (27/7/2024) lalu itu, diikuti 50 peserta. Mereka adalah mahasiswa, komunitas dan pegiat literasi di Bumi Nggahi Rawi Pahu.
Bedah buku dipandu Nurul Khotimah, aktivis IMM Dompu. Sedangkan narasumbernya, selain Ilyas Yasin sebagai penulis buku, juga menghadirkan dua pembedah. Yakni Baharudin yang akrab dengan sapaan La Ndolo Conary (Penulis dan Pegiat Literasi dari Bima), dan H.M. Amin, Dosen STKIP Yapis Dompu yang juga Praktisi Pendidikan.
Ketua Panitia Bedah Buku yang juga Direktur Penerbit Narasi Kita Publishing Fahrudin Ahmad berkomitmen untuk terus membantu menerbitkan karya-karya, terutama penulis lokal.
“Kami juga akan melakukan roadshow bedah buku seperti ini, baik di kampus-kampus Dompu maupun Bima,” ujar dosen STIE Yapis Dompu ini dalam sambutannya. (sarwon al khan)