”AJI, IJTI, PWI mesti jalan bersama karena saat ini banyak yang ingin merongrong pers.” Yadi Hendriana, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)

Animasi Hari Pers Nasional. (ist/lakeynews.com)

JAKARTA, Lakeynews.com – Hasil pembahasan kemungkinan revisi Hari Pers Nasinonal (HPN) oleh tiga organisasi profesi wartawan di Hall Dewan Pers, Jakarta, Kamis (16/02), akan disampaikan ke Dewan Pers.

Ketiga organisasi yang terlibat membahas dan mengkaji revisi HPN yang selama ini diperingati setiap 9 Februari itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Pembahasan berbentuk seminar bertajiuk “Mengkaji Ulang Hari Pers Nasional” ini menghadirkan tiga pembicara, Asvi Warman Adam (LIPI), Atmakusumah (Tokoh Pers), Muhidin M. Dahlan (Peneliti Sejarah Pers).

“Pro dan kontra terhadap HPN ini harus segera diselesaikan,” kata Ketua AJI Indonesia Suwarjono pada seminar bertajiuk “Mengkaji Ulang Hari Pers Nasional” itu.

Peringatan HPN selama ini berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 5 Tahun 1985. Penentuan ini dikritik karena penetapan hari pers nasional hanya berdasar HUT PWI, 9 Februari.

Suwarjono menekankan, kajian penentuan kembali HPN dari sudut pandang sejarah dan ideologis melibatkan sejarawan, peneliti sejarah pers pergerakan dan tokoh pers, diharapkan dapat menjadi solusi agar HPN dapat diperingati bersama. “Duduk bersama bertukar pikiran, menjadi langkah awal mencari model, format dan hari yang tepat untuk HPN,” katanya.

Sementara Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana, mengatakan, wacana perubahan HPN dalam seminar ini akan menjadi tonggak baru sejarah Indonesia. “Kita ingin buat kesepakatan bersama untuk komitmen bergerak bersama, perbaikan konten dan ingin pers yang lebih baik,” katanya.

Yadi mengingatkan organisasi-organisasi jurnalis yang menjadi konstituen Dewan Pers tetap menjaga kebebasan pers, menyatakan pendapat dan kebebasan berekspresi. Dalam sejumlah regulasi yang dikeluarkan pemerintah yang sarat membatasi pers, organisasi pers harus bergerak bersama untuk mengawasi hal ini.

“AJI, IJTI, PWI mesti jalan bersama karena saat ini banyak yang ingin merongrong pers,” katanya.

Sedangkan Ketua PWI Margiono yang juga hadir dalam diskusi ini menegaskan, tak mempersoalkan pengubahan tanggal HPN. Menurutnya, yang paling mendasar dari peringatan HPN adalah kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pers.

“9 Februari cocok atau tidak untuk hari pers, itu tidak terlalu penting (bagi saya, red). Saya terbuka untuk dikaji ulang asal ada dasar kajian yang kuat. Bukan debat kusir,” katanya.

Perubahan hari pers, lanjutnya, harus jadi milik bersama dan dapat memperbesar gaung HPN. “Itu yang harus diutamakan,” kata Margiono.

Sejumlah rekomendasi tanggal muncul dari ketiga pembicara seminar (Asvi Warman Adam, Atmakusumah dan Muhidin M. Dahlan). Diantaranya, tanggal 1 Januari, mengambil momentum lahirnya penerbitan pertama milik pribumi yang mengusung semangat kebangsaan dan nasionalisme, Medan Priyai pada 1907. Direkomendasikan juga tanggal 7 Desember, bertepatan dengan wafatnya tokoh pers nasional tahun 1918, Tirto Adhi Soerjo.

Menurut Atmakusumah, tidak hanya tanggal yang penting mendapatkan perhatian. Proses pelaksanaan juga memperhatikan semangat kebersamaan. “Peringatan HPN idealnya dibiayai perusahaan-perusahaan pers, tidak menggunakan dana negara,” katanya.

Moderator Diskusi Iman D. Nugroho menyampaikan, tim perumus akan memperhatikan rekomendasi, landasan historis dan ideologis yang muncul dari usulan-usulan dalam forum seminar. “Tim Perumus selanjutnya akan menyampaikan rekomendasi itu ke Dewan Pers agar ditindaklanjuti,” tandasnya. (zar)