Pemerhati Sosial Politik dan Pemerintahan, Suherman. (dok/lakeynews.com)

 

Oleh: Suherman *)

 

100 hari sudah pemerintahan Bambang Firdaus dan Sirajuddin (BBF-DJ), Bupati dan Wakil Bupati Dompu, berlangsung.

Meski secara resmi tidak ada program unggulan untuk 100 hari yang diluncurkan, namun selama 100 hari pemerintahan BBF perlu diberikan sorotan, catatan, dikritisi, dievaluasi dan dikoreksi secara proporsional.

Secara umum, penulis mencatatat perjalanan pemerintahan BBF-DJ kedalam dua sudut pandang atau persepsi. Yakni persepsi negatif dan persepsi positif.

Persepsi negatif adalah pandangan atau penilaian yang kurang baik tentang pemerintahan BBF-DJ. Sebaliknya, persepsi positif adalah pandangan yang baik tentang pemerintahan BBF-DJ. Tentu saja persepsi itu tentang kinerja/kebijakan.

 

Persepsi Negatif

Pertama, di awal pemerintahan BBF-DJ muncul SK Tim Percepatan Pembangunan (TP2D) yang kemudian menimbulkan polemik di tengah publik.

Dalam isu ini, hampir sebagian publik, baik yang tidak mendukung BBF-DJ saat Pilkada maupun yang mendukungnya “kompak” mempertanyakan SK tersebut. Bahkan Wakil Bupati Dompu sendiri memberikan “kritik” tajam terhadap keberadaan SK tersebut.

Publik menganggap SK tersebut tanpa alas hukum yang jelas. Ada pula yang mempertanyakan urgensinya di tengah kebijakan efisiensi. Terlebih nama yang ada dalam SK adalah tim sukses BBF-DJ saat Pilkada. Kemudian kesan akomodasi kepentingan tim sukses dalam kekuasaan tak mampu dielakkan.

Kedua, rendahnya harga jagung. Meski Bupati telah melakukan inspeksi mendadak (Sidak) ke gudang-gudang jagung, harga jagung tetap tidak sesuai dengan HPP sebesar 5.500/Kg. Hal ini kemudian menimbulkan “gejolak” di masyarakat. Terlebih Bulog tidak mampu menyerap jagung petani secara maksimal.

Ketiga, penggunaan tongkat komando. Penulis sempat kaget di suatu acara apel, Bupati Dompu menggunakan tongkat komando. Penulis pikir, hanya saat itu digunakan. Namun ternyata terus digunakan bahkan di acara resmi maupun tak resmi.

Tongkat komando lazimnya digunakan pada kemiliteran dan jabatan sipil sesuai aturan perundang -undangan. Lebih lanjut jika dicek di Wikipedia, daftar pemegang tongkat komando di Indonesia, tidak satupun menyebutkan adanya kepala daerah.

Pakaian resmi kepala daerah diatur dalam Permendagri Nomor 11 Tahun 2008. Dalam regulasi tersebut, tidak ada satupun yang menyebut tongkat komando. Justru yang ada tongkat komandonya adalah Satuan Pol PP, sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2019.

Meski memang tidak ada larangan dalam Undang-undang, penggunaan tongkat komando oleh Bupati tidaklah lazim. Kesan militeristik yang sistem komando dalam pelaksanaan tugas tidak dapat dihindari. Padahal Bupati itu adalah jabatan sipil yang demokratis.

 

Persepsi positif

Pertama, penertiban lapak. Penulis memberikan apresiasi dan mendukung kebijakan penertiban lapak yang tidak sesuai ketentuan. Hal itu sesuai dengan amanat Perda Kabupaten Dompu Nomor 11 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Ketertiban Umum agar kota kelihatan bersih, rapi dan indah.

Meski demikian, di dalam Perda itu bukan saja mengatur soal ketertiban lingkungan hidup (penertiban lapak). Namun, mengatur juga ketertiban lainnya, seperti tertib lingkungan masyarakat, tertib fasilitas umum, tertib usaha, tertib pemeliharaan hewan, tertib bangunan gedung, tertib penyelenggaraan alat peraga, tertib sosial, tertib kesehatan, tertib kawasan merokok, tertib keramaian. Yang juga perlu penertiban, jika mau menegakkan aturan.

Kedua, gerakan bersih-bersih. Gerakan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Bupati Nomor: 660/149/DLH/2025 tentang Gerakan Semesta Jumat Bersih. Kebijaka tersebut adalah kebijakan yang patut diapresiasi dan didukung agar daerah tetap bersih dari sampah.

Ketiga, komitmen pelestarian budaya. Komitmen ini diwujudkan dalam visi berbudaya. Beberapa implementasi dari kebijakan ini adalah penerapan pelajaran muatan lokal yang telah di-launching pada acara Hardiknas.

Selebihnya tetap meneruskan kebijakan pelestarian Muna Pa’a sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) melalui surat edaran penggunaan kain tenun setiap hari Kamis. Termasuk kebijakan agar dilaksanakannya minimal satu atraksi budaya pada setiap acara pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan.

Namun, salah satu yang terlupakan adalah Timbu yang juga merupakan WBTb, sama dengan Muna Pa’a. Tak seperti Muna Pa’a, Timbu sepertinya belum mendapatkan sentuhan program kebijakan.

Keempat, mendorong reformasi birokrasi. Di awal-awal pemerintahan BBF-DJ, hingga saat ini, BBF rajin turun langsung ke dinas/instansi melakukan inspeksi, apel bersama hingga rapat kordinasi. Satu pesannya agar ASN disiplin.

 

Jaga Legitimasi Politik

Persepsi negatif di tengah masyarakat sekiranya diperbaiki dan dikoreksi. Sementara persepsi positif, dipertahankan dan bahkan terus ditingkatkan. Sebab secara politik elektoral, jika persepsi negatif lebih besar dari persepsi positif, maka itu akan berbahaya bagi legitimasi rakyat terhadap BBF-DJ secara politik.

Harus disadari dan akui, di 100 hari belum ada kebijakan yang fundamental dan substansial yang dilakukan oleh BBF DJ. Alasan objektifnya adalah karena RPJMD 2025-2029 sedang proses penyusunan. Jadi praktis, yang dilaksanakan saat ini adalah melanjutkan program-program yang tertuang dalam RPJMD rezim sebelumnya.

Bicara soal RPJMD, menurut hemat penulis, idealnya disusun berdasarkan basis masalah. Apa masalah yang krusial di Dompu, itulah yang diselesaikan melalui strategi dan arah kebijakan yang konkret dalam RPJMD.

Salah satu masalah terbesar dalam membangun Dompu adalah terbatasnya anggaran. Hampir sebagian besar, anggaran pembangunan selama ini bersumber dari dana transfer pusat.

Jika menilik data, bahwa APBD Dompu tahun 2024 sebesar Rp. 1,256 triliun. Sementara PAD-nya sebesar Rp. 170 miliar. Parahnya lagi, APBD tersebut, sekitar Rp. 900-an miliar tidak bisa untuk belanja pegawai dan operasional.

Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana pemerintahan BBF-DJ kedepan melakukan inovasi dan kreativitas konkret untuk mendatangkan PAD.

Beberapa sektor perlu dioptimalkan seperti BUMD/Perusda, Retribusi dan Pajak, mendatangkan investasi.

Selebihnya, otimalisasi pelayanan rumah sakit agar seluruh pasien bisa terlayani di Dompu tanpa harus keluar daerah. Juga, upaya-upaya yang relevan lainnya.

Dengan demikian, ketergantungan akan dan transfer dari pusat semakin berkurang. Pada saat yang sama Dompu memiliki kemandirian fiskal. Dengan begitu, membangun apa saja, menunaikan mimpi-mimpi besar BBF-DJ akan mudah terlaksana. Semoga. (*)

 

*) Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik dan Pemerintahan.