
Oleh: Faisal Mawaataho *)
PADA 17 November 2025 lalu saya berkesempatan menghadiri acara Temu Budaya yang diadakan oleh Dewan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di sebuah hotel, di Pantai Amahami.
Pada sesi istirahat, saya keluar ruangan untuk mencari udara segar dan berdiri di balkon sambil memegangi pagar balkon. Pandangan saya tertuju ke parkiran hotel, ke arah timur. Belasan ekor monyet sedang menjelajah area parkiran entah untuk apa. Mungkin sedang mencari makanan.
Meskipun agak terkejut karena di area bukit gundul dekat pemukiman ini masih ada gerombolan monyet yang berkeliaran, namun saya tak heran ketika hewan-hewan itu melakukan hal tersebut. Hutan-hutan telah dibabat, bukit-bukit telah digunduli, dan itu adalah rumah mereka. Hutan dan bukit yang semula tempat mereka mencari makan kini rusak oleh tangan-tangan manusia.
Dengan dalih kesejahteraan, peningkatan taraf perekonomian rakyat, hingga dalih kemajuan daerah, hutan-hutan di sekitar hotel ini digunduli untuk menanam jagung.
Air hujan akhirnya tidak terserap optimal oleh pori-pori tanah. Air hujan itu berkumpul dan mengalir ke pemukiman serta jalan-jalan, memenuhi parit-parit dan saluran drainase kota.
Tidaklah mengherankan apabila jalan utama di depan hotel itu akan berubah menjadi sungai ketika hujan besar turun. Air bercampur lumpur akan turun dan meluncur deras dari atas perbukitan dan memenuhi jalan utama. Areal di sekitar SPBU Amahami adalah titik paling parah. Barangkali sudah ratusan kali saya menyaksikan adegan seperti itu setiap kali saya melewati tempat itu di kala hujan besar.
Pemandangan seperti itu bukan hanya terjadi di Amahami. Sejak peluncuran Program Pijar oleh Pemerintah Provinsi NTB tahun 2012, ngoho kembali merebak di Bima. Pijar yang merupakan akronim dari sapi, jagung dan rumput laut adalah program yang digagas oleh Pemerintah Provinsi NTB di masa pemerintahan Zainul Majdi-Badrul Munir. Program tersebut dirancang untuk menjadikan jagung sebagai salah satu komoditas utama pertanian di NTB, khususnya Pulau Sumbawa.
Mantan Wakil Gubernur NTB, Badrul Munir, menyebut bahwa saat itu Pemprov NTB menargetkan pengembangan komoditas tanaman jagung dapat menghasilkan satu juta ton jagung kering pada tahun 2013 (antaranews.com, 26/04/2013).
Kini, setelah belasan tahun digagas, NTB telah menghasilkan jutaan ton jagung pipilan kering melalui Program Pijar. Pada tahun 2023, NTB memproduksi sekitar 1,28 juta ton jagung pipilan kering dengan kadar air 14 persen dengan total lahan terpakai seluas 179,03 hektare.
Kemudian pada tahun 2024, NTB memproduksi sekitar 1,15 juta ton jagung pipilan kering dengan kadar air 14 persen dengan total lahan terpakai seluas 173,19 hektare. Lalu pada tahun 2025, NTB memproduksi sekitar 1,20 juta ton jagung pipilan kering dengan kadar air 14 persen dengan total lahan terpakai seluas 176,05 hektare. Penyumbang utama produksi jagung tersebut yakni Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota Bima (ntb.bps.go.id).
Di Kabupaten Bima dan Kota Bima, program pemerintah ini direspon dengan sangat antusias oleh masyarakat. Masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan merasa bahwa bertani jagung adalah solusi instan untuk menaikkan taraf kehidupan mereka. Mulailah mereka menanam jagung secara massal di sawah-sawah, tegalan, ladang, bahkan hingga membabat hutan negara yang menutupi gunung dan perbukitan. Hutan yang selama ini menghidupi mereka dengan menyediakan air dan perlindungan dari bahaya ekologis.
Keterbatasan lahan menanam jagung di dataran rendah mengakibatkan ekstensifikasi lahan penanaman jagung merambah areal hutan di pegunungan. Bagi masyarakat Bima sendiri, hal tersebut bukanlah hal baru. Sejak zaman nenek moyang dahulu, mereka telah memiliki tradisi bertani di pegunungan dan dataran tinggi yang disebut ngoho. Hanya saja, dulu tanaman utama mereka adalah padi. Sedangkan jagung hanyalah tanaman tumpangsari yang ditanam bersama palawija lainnya seperti wijen, sorgum, jelai, singkong, kacang panjang, dan berbagai jenis sayur-sayuran. Itupun yang ditanam adalah jenis jagung ketan dengan tujuan konsumsi domestik, bukan skala besar.
Pada zaman dulu, ngoho hanya dilakukan dalam skala kecil, sekadar untuk bertahan hidup dengan menanam tanaman pangan sebagai sumber makanan pokok seperti padi. Meskipun ngoho memiliki konotasi destruktif, akan tetapi dilakukan secara proporsional di bawah pengawasan ketat pemerintah daerah sehingga tidak sampai menimbulkan dampak negatif.
Namun, kini, dengan hadirnya program Pijar, ngoho di Bima telah menjelma menjadi mantra pemanggil makhluk destruktif bernama banjir bandang. Ya, akhir-akhir ini Kabupaten dan Kota Bima sering disambangi oleh banjir, tentu saja bencana tersebut berdampak buruk terhadap aktivitas perekonomian dan pemerintahan. Ngoho serta jagung dituding oleh banyak pihak sebagai penyebab utamanya.
Masih segar dalam ingatan kita banjir besar yang menerjang Kota Bima pada tanggal 21 dan 23 Desember 2016, sekira sembilan tahun lalu. Banjir setinggi 3 meter itu meluluhlantakkan 5 kecamatan yang mencakup 33 kelurahan di Kota Bima, 105.758 korban terdampak dan 104.378 terpaksa mengungsi (bnpb.go.id, 24/12/2016).
Demikian juga di Kabupaten Bima, pada tanggal 2 April 2021 banjir menerjang 4 kecamatan dan mengakibatkan 7.958 rumah terendam, 21.662 jiwa terdampak, serta 1 korban meninggal dunia. Banjir juga merusak sejumlah infrastruktur seperti jembatan sehingga beberapa desa terisolir (kompas.com, 03/04/2021).
Selang tujuh bulan kemudian, giliran Kota Bima yang didatangi banjir. Pada tanggal 28 November 2021, banjir kembali terjadi dan merendam 4 kecamatan di Kota Bima. Tercatat sebanyak 1.525 KK terdampak banjir ini (siaga.ntbprov.go.id, 29/11/2021).
Penulis sendiri merupakan salah satu korban dari banjir tahun 2021. Pada 2 April 2021, banjir ikut merendam tempat tinggal penulis di Desa Rato, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima.
Tidak berhenti sampai di situ, sejumlah banjir dengan intensitas besar maupun kecil masih terus menyerbu Bima dan Kota Bima sampai saat ini. Banjir bandang di Kecamatan Wera dan Ambalawi, Kabupaten Bima yang terjadi pada 2 Februari 2025 adalah bencana yang paling mengerikan dalam sejarah Bima.
Bencana tersebut sampai merenggut 8 korban jiwa, hanyut dan hilang berhari-hari. Banjir yang membawa material kayu dan batu ini menghancurkan pemukiman dan merusak jalan di beberapa desa di dua kecamatan tersebut (bnpb.go.id, 03/02/2025).
Pada bulan November lalu, banjir masih saja menerjang lima kecamatan di Kabupaten Bima dan menghancurkan sejumlah infrastruktur publik. Banjir yang terjadi pada 10 November 2025 ini, meskipun tak sebesar banjir tahun 2021, telah mengakibatkan sebanyak 2.347 jiwa terdampak (tempo.co, 11/11/2025).
Kepala Badan Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB Ahmadi menjelaskan bahwa bencana banjir di Pulau Sumbawa erat kaitannya dengan kerusakan hutan dan aktivitas berladang jagung yang sangat masif.
Vegetasi hutan yang berada di kawasan dengan topografi terjal sudah habis digunduli oleh para peladang. Kerusakan hutan mengakibatkan erosi lahan dan berbagai bencana alam seperti banjir. Ini karena tanaman jagung yang berakar serabut tidak mampu menahan dan menampung kelimpahan air (antaranews.com, 04/04/2025).
Dengan penjelasan ini, seharusnya pemerintah dan masyarakat Bima sadar bahwa bencana banjir yang secara konsisten melanda Bima dan Kota Bima ini merupakan dampak langsung dari ngoho dan penggundulan hutan untuk ditanami jagung. Artinya, tujuan mulia untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat harus dibayar mahal dengan bencana ekologis yang justru merusak infrastruktur dan menghambat kemajuan daerah.
Kerusakan hutan di Bima saat ini sudah sangat parah dan memprihatinkan. Sebut saja kawasan hutan di perbatasan Kecamatan Lambitu dan Wawo, Kabupaten Bima. 80 persen hutan di kawasan itu ditengarai telah rusak dan aktivitas pembabatan masih terus berlangsung (kahaba.net, 14/10/2025).
Di kawasan Kelurahan Lampe, Kota Bima, hutan yang tersisa pun tak luput jadi sasaran keserakahan manusia. Kerusakan hutan di kawasan Lampe, Wawo dan Lambitu ini berdampak pada air hujan tidak tertampung dan langsung mengalir ke Sungai Lampe yang mengalir ke arah Kota Bima. Hal inilah yang seringkali memicu terjadinya banjir di Kota Bima seperti banjir 2016 lalu.
Sementara itu pada tahun 2019 saja di Kecamatan Parado sudah 8.000 hektare hutan negara yang dibabat untuk ditanami jagung (kompas.id, 22/12/2019). Air hujan yang tidak mampu lagi ditampung oleh hutan-hutan di Parado, mengalir ke Kecamatan Monta, Woha, Madapangga dan Bolo.
Hal inilah yang barangkali memicu terjadinya bencana banjir pada tanggal 2 April 2021 di 4 kecamatan tersebut dan mengakibatkan 7.958 rumah terendam, 21.662 jiwa terdampak, dan 1 korban meninggal dunia.
Sampai tahun 2025, diperkirakan bahwa dari 167 ribu hektare (75 persen) dari 250 ribu hektare hutan di Bima telah rusak akibat dialihkan menjadi lahan penanaman jagung dan aktifitas illegal logging. Data tersebut merupakan data dari WALHI NTB (lombokpost.jawapost.com, 06/02/2025).
Jika kedepan hal ini tidak dihentikan, dikhawatirkan Bima akan mengalami bencana ekologis yang lebih mengerikan. Apa yang hari ini terjadi di 3 provinsi di Sumatera bisa saja terulang di Bima.
Oleh sebab itu, masyarakat Bima harus bersatu menolak aktivitas pembukaan lahan baru di hutan negara, karena hal tersebut akan memperparah banjir dan bencana ekologis lainnya di Bima. Sebaliknya, lahan-lahan kritis yang dahulu digunakan menanami jagung dan sekarang menganggur, sebaiknya dilakukan reboisasi besar-besaran. Berbagai lembaga, organisasi masyarakat hingga LSM harus digandeng untuk proyek besar ini.
Pemilihan pohon untuk melakukan reboisasi haruslah pohon yang memiliki akar yang kuat dan mampu menampung serapan air dari pori-pori tanah. Pohon beringin (due) misalnya dapat menjadi pilihan yang tepat. Pohon ini telah terbukti mampu menghijaukan lahan bahkan menciptakan mata air. Kita dapat berkaca pada perjuangan seorang warga asal Desa Geneng, Wonogiri, Jawa Timur bernama Mbah Sadiman yang berhasil menanam ribuan pohon beringin dan menghijaukan 250 hektare kawasan bukit gersang di desanya. Perjuangan yang dia lakukan selama 24 tahun ini telah membuahkan hasil, bahkan daerah yang dulu kering itu kini memiliki beberapa mata air (kumparan.com, 02/04/2021).
Kesadaran para petani jagung dan peladang di Bima pun harus terus dibina. Edukasi bahaya kerusakan hutan dan apa saja dampak ekologisnya harus terus digencarkan kepada mereka. Semua sarana seperti kampus, sekolah hingga perangkat desa harus dioptimalkan untuk membangun kesadaran bersama ini.
Di sisi lain, para petani dan peladang ini harus dicarikan komoditas lain yang setara dengan jagung untuk ditanam di lahan mereka. Jati, sengon, mahoni, kemiri dan jambu mete serta tanaman buah-buahan seperti mangga, alpukat, hingga durian patut dicoba. Jadi, petani dan peladang tidak semata dilarang, namun mendapatkan solusi terhadap kebutuhan ekonomi mereka. Jangan sampai mereka kembali menggaungkan adagium nyeleneh semacam; watisi ngoho, auku dingaha? (kalau tidak berladang, mau makan apa?).
Peran DPRD dan pemerintah pun tidak boleh ketinggalan. Pihak eksekutif dan legislatif harus menjadi garda terdepan dalam memperbaiki kondisi hutan dan mencegah bencana ekologis selanjutnya.
Pemerintah Provinsi NTB serta Pemerintah Kabupaten dan Kota Bima harus meninjau kembali Program Pijar dan mengkaji ulang dampak lingkungan penanaman jagung dengan menggunduli hutan.
Program pijar dan penanaman jagung bisa saja dilanjutkan, namun bukan dengan cara ekstensifikasi lahan yang menjurus pada pengrusakan hutan dan deforestisasi.
Pemerintah harus menggunakan pendekatan intensifikasi pertanian untuk mencapai swasembada jagung tanpa mengorbankan alam. Intensifikasi pertanian jagung, yakni melalui seleksi bibit unggul, perbaikan teknik pengolahan tanah, teknik pemupukan, pemberantasan hama, dll.
Di daerah, baik Kota maupun Kabupaten Bima, pemerintah harus mengoptimalkan fungsi Balai Produksi Benih Tanaman Perkebunan (BPBTP) melalui Dinas Pertanian atau Dinas Pertanian dan Perkebunan guna menghasilkan benih berkualitas unggul yang dapat dipanen dengan hasil melimpah meskipun memanfaatkan lahan yang terbatas. Selama ini, balai ini seolah hanya menganggur dan tidak melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya.
Teknik pengolahan tanah, pemupukan dan pemberantasan hamapun harus dipilih sedemikian rupa untuk menghasilkan tanaman jagung dengan panen melimpah. Fungsi penyuluh pertanian untuk mendampingi petani harus dioptimalkan, kerja sama dengan produsen obat-obatan pertanian dipererat, serta alur distribusi pupuk perlu diperbaiki. Dinas-dinas terkait perlu bersinergi dan melakukan kerja kolektif untuk mewujudkan semua ini. Jadi, Bima masih bisa swasembada jagung tanpa merusak hutan.
Terakhir, semua elemen pemerintahan harus bersinergi dan tidak boleh saling melempar tanggung jawab. Meskipun kini pengelolaan hutan menjadi tanggung jawab Pemrpov NTB, namun tidaklah haram bagi Pemkab Bima maupun Pemkot Bima untuk turun tangan secara aktif mencegah pembalakan liar, ngoho dan pembukaan lahan hutan baru untuk ditanami jagung. Sinergi dengan aparat Kepolisian dan TNI pun sangat diperlukan mengingat kultur dan karakter masyarakat Bima yang keras dan cenderung susah dinasihati.
Begitu juga edukasi terhadap para petani jagung dan peladang tentang pentingnya menjaga hutan dan alam harus terus dilakukan secara simultan dengan memanfaatkan berbagai perangkat yang dimiliki pemerintahan.
Semua itu hanya dapat tercapai jika para kepala daerah memiliki political will dalam menyelesaikan problem kerusakan hutan untuk mencegah bencana ekologis yang lebih dahsyat. Ketegasan kepala daerah dalam menindak oknum-oknum perusak hutan sangat diperlukan untuk menyemai rasa segan masyarakat untuk terus menggunduli hutan negara.
Jangan sampai terkesan ada pembiaran terhadap masyarakat yang merusak hutan dengan tujuan politik praktis di musim Pilkada. Jangan sampai kepala daerah terkesan takut kehilangan suara pendukungnya karena harus menentang syahwat ngoho mayoritas rakyat yang merupakan petani dan penanam jagung. Jangan sampai para pemimpin daerah ini terus menerus mewariskan dosa ekologis yang mengancam keselamatan dirinya dan rakyatnya di dunia maupun di akhirat.
DPRD Kabupaten dan Kota Bima juga tidak boleh ketinggalan dalam mengambil peran dan mengedukasi masyarakat terkait pentingnya menjaga hutan dan alam. DPRD harus menghasilkan produk hukum yang menjamin perlindungan hutan yang tersisa serta memberikan hukuman yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya.
DPRD juga harus menjalankan fungsinya sebagai legislatif yang menjamin tersedianya payung hukum untuk menyelesaikan permasalahan kerusakan hutan di Kabupaten dan Kota Bima. Jangan sampai ada oknum anggota DPRD yang malah memfasilitasi ngoho dengan memanfaatkan dana reses atau dana pokir untuk menyediakan alat berat untuk membuka jalan tani di bukit-bukit dan hutan yang seharusnya dilindungi. (*)
*) Penulis adalah Pendiri Gerakan Dakwah Muslim Bima (GARDA-IMBI), kini beralamat di RT. 01 RW 01 Desa Rato, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima.
