
DOMPU – Tenaga Ahli Bupati Dompu Arifuddin kali ini angkat bicara terkait peningkatan atau upaya mendongkrak nilai tambah sederet produk JARAPASAKA melalui Bisnis Bumdes, Koperasi, dan UMKM.
JARAPASAKA merupakan program unggulan Pemkab Dompu dibawa kepemimpinan Bupati H. Kader Jaelani dan Wakil Bupati H. Syahrul Parsan (AKJ-Syah). JARAPASAKA itu singkatan dari Jagung, Porang, Padu, Sapi dan Ikan.
Menurut Arifuddin, nilai tambah dalam konteks JARAPASAKA adalah diversifikasi produk. Namun demikian, ada fakta, dimana pasar menjadi salah satu kendalanya, meskipun itu bukan kendala utama yang mendasar.
“Diversifikasi produk betul merupakan cara meningkatkan nilai tambah. Tetapi itu tahap lebih lanjut, jika bisnis dari nilai utamanya sudah maksimal memberikan dampak ekonomi,” papar pria yang akrab disapa Dae Arif itu pada Lakeynews, pekan lalu.
Pernyataan itu dilontarkan Dae Arif menanggapi pertanyaan publik terkait peningkatan nilai tambah JARAPASAKA, serta bagaimana riilnya erat kaitannya dengan produk turunan peran UMKM, Koperasi dan BUMDES dalam hal ini.
Pertanyaan publik itupun mencuat ketika menanggapi pemberitaan media ini sebelumnya (Baca: ).
–
Matematika Jagung
“Luas pertanaman Jagung resmi yang tercatat lebih kurang 78 ribu hektare (Ha). Angka tersebut tidak termasuk lahan yang tidak resmi tercatat,” ungkap Dae Arif.
Putaran fiskal dari jagung dalam satu musim, menurutnya, bisa dihitung. Dengan rata-rata input Rp. 8 juta per Ha maka di musim tanam, petani Dompu membelanjakan uang Rp. 624 miliar (Input/Ha x Luas Tanam).
Jika rata-rata produksi per Ha sebesar 5000 Kg dengan harga Rp. 4200 per Kg, maka kapitalisasi produksinya sebesar Rp. 1,637 triliun. Sehingga, jumlah putaran uang dari jagung di Kabupaten Dompu adalah Rp. 2,261 triliun.
“Ini artinya, hasil jagung semusim setara dua kali APBD,” papar Dae Arif.
Tapi, ironisnya, kapitalisasi Jagung sebesar dua kali APBD tersebut tidak berdampak terhadap peningkatan PAD. Kenapa?
Dae Arif tidak menafikan hal itu. Jagung sebagai komoditas utama Dompu dengan skala yang sangat besar tersebut, belum dilihat dan dikelola sebagai sumber pendapatan masyarakat dan daerah secara berkelanjutan. “Setidaknya, tidak dioptimalkan,” tegasnya.
Pada sisi lain, kelembagaan ekonomi mulai dari Kelompok Tani, Koperasi, Bumdes hingga Perusda dapat menjadi instrumen usaha yang dapat dioptimalkan sebagai ekosistem ekonomi yang berdampak pada PAD.
–
PASAKA DESA; Aktivasi dan Optimasi Lembaga Ekonomi
PASAKA DESA merupakan instrumen pertumbuhan ekonomi berbasis komoditi dengan skala ekonomi besar seperti Jagung, Sapi, Ikan dan seterusnya.
PASAKA DESA, papar Dae Arif, optimalisasi peran kelembagaan ekonomi mulai dari Kelompok, Koperasi, Bumdes hingga Perusda, ditata sedemikian rupa. Dengan demikian, menjadi sebuah “Rantai Suplai” mulai dari hulu hingga ke hilir.
“Ini harusnya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi petani, desa hingga daerah (Dompu),” tuturnya.
Jika institusi ekonomi masyarakat seperti Koperasi, Bumdes hingga Perusda mengambil peran 20 persen saja dari putaran jagung di hulu, itu artinya Rp. 124 miliar uang yang berputar dapat dinikmati Koperasi, Bumdes atau Perusda.
Demikian halnya dari hasil panen. Jika institusi ekonomi daerah seperti Perusda berperan 20 persen saja dari putaran Rp. 1,637 triliun, berarti ada putaran uang sebesar Rp. 327 miliar. Dengan asumsi keuntungan 20 persen, Dae Arif meyakini, Perusda menikmati keuntungan Rp. 65 miliar per tahun sebagai PAD.
Bagaimana upaya untuk merealisasikan pemikiran tersebut?
Dae Arif menjelaskan, Pemerintah Daerah membuat kebijakan dan program optimalisasi kelembagaan ekonomi yang disebut PASAKA DESA.
“PASAKA DESA merupakan instrumen pertumbuhan ekonomi berbasis komoditi dengan skala ekonomi besar seperti Jagung, Sapi, Ikan dan seterusnya,” tegasnya.
Yang tantangannya, lanjut Dae Arif, problem fundamental dari UMKM, Koperasi dan Bumdes. Yaitu kemampuan SDM dengan sense of entrepreneur yang lemah. Sehingga, potensi bisnis yang besar alih-alih dapat dinikmati justeru menjadi penonton.
“Intinya, nilai tambah (produk JARAPASAKA) perlu dilihat secara luas dari sudut pandang bisnis yang lebih berskala ekonomi,” cetusnya. (tim)