Oleh: Sugerman *)
AKHIR-AKHIR ini media sosial di Indonesia diramaikan dengan munculnya jenis wacana baru yang mengindikasikan spesifikasi khas ragam bahasa politikus oposan. Keberadaan wacana khas politik tersebut memunculkan sikap skeptis, baik dari kalangan praktisi bahasa maupun masyarakat umum.
Meskipun fenomena tersebut bersifat situasional dan temporal karena hanya terjadi pada masa pemilihan umum, namun dampaknya cukup luas.
Saat ini bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi dan interaksi semata. Bahasa telah menjadi media perantara dalam pelaksanaan kuasa melalui ideologi. Bahkan bahasa juga menyumbang proses dominasi terhadap orang lain oleh pihak lain. Sebagaimana pendapat Fairclough bahwa bahasa telah menjadi komoditas politik.
Yang menarik, tokoh-tokoh politik Indonesia menggunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan ide, pendapat atau pikirannya, tetapi juga menyampaikan pikiran yang mengandung kepentingan-kepentingan kekuasaan yang harus dipertahankan dengan apapun caranya.
Dalam pelaksanaannya, setiap rezim-rezim pemerintahan dan kelompok politik menggunakan repertoar yang berbeda-beda. Karakter bahasa diantara mereka juga berbeda-beda, bergantung pada konteks politik yang berkembang saat itu.
Pada era perpolitikan masa lalu (orde lama dan orde baru), repertoar Bahasa Indonesia dibanjiri dengan penggunaan akronim dan eufemisme yang berlebihan (Kuntarto).
Pada era reformasi dan digital dewasa ini, penggunaan bahasa oleh kelompok politik oposan lebih memprihatinkan lagi. Repertoar bahasa politik bukan hanya sebatas pada penggunaan diksi yang menyimpang, melainkan lebih dalam lagi yakni pengubahan hakikat bahasa yang semula berfungsi untuk berinteraksi dan menjalin hubungan baik menjadi reportoar bahasa yang menyebarkan kebohongan, kebencian, anarkisme, sikap antisosial, pertikaian, bahkan peperangan.
Bahasa telah digunakan sebagai “senjata” untuk memusuhi lawan dan mengajak masyarakat untuk saling berperang verbal. Fenomena penggunaan bahasa oleh Kelompok Politik di Indonesia, tidak semata-mata berkaitan dengan aspek-aspek penggunaan bahasa (language use), namun berkaitan juga dengan perilaku sosial (social attitude), yang banyak diungkap dalam telaah psikologi behaviorisme (Redinger).
Dalam hubungannya dengan penggunaan gaya bahasa dalam bertutur di media sosial, teori behavioristik tampaknya sesuai untuk mengupas landasan filosofis penggunanya. Respon berupa perilaku untuk mendukung kelompok tertentu, dan sebaliknya menolak atau tidak mendukung kelompok tertentu menjadi tujuan utama para politisi dalam bertutur di media sosial untuk kepentingan politiknya.
Hal ini menarik untuk dikaji karena adanya ketidakbiasaan (anomali) dalam menggunakan bahasa sebagai alat interaksi sosial yang sering dibahas dalam telaah pragmatik dan kesantunan berbahasa. Jadi, jika bahasa kemudian menjadi alat untuk bermusuhan, maka tentu ada yang keliru dalam pemanfaatan bahasa sebagai alat interaksi.
Selanjutnya, menurut paham analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis), teks bukanlah sesuatu yang bebas nilai dan menggambarkan realitas sebagaimana adanya. Kecenderungan pribadi dari sang produsen teks dan struktur sosial yang melingkupi sang produsen teks ikut mewarnai isi teks. Bahasa tidak netral melainkan membawa pesan ideology tertentu yang dipengaruhi oleh sang pembuat teks.
Analisis Wacana Kritis memahami wacana tidak semata-mata sebagai suatu studi bahasa, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks yang dimaksud adalah konteks praktik kekuasaan yang bertujuan untuk memarginalkan individu atau kelompok tertentu melalui penggunaan kekuasaan dalam memproduksi teks atau wacana (Fairclough).
Fenomena-fenomena bahasa politik di Indonesia sangat bertolak belakang dengan esensi politik. Hardiman mengemukakan bahwa politik merupakan hubungan sebab akibat antara makhluk sosial yang hidup bersamaan. Sebagai makhluk sosial yang hidup dalam berdampingan dengan yang lain perlu adanya sebuah sistem tertentu yang dapat memenuhi kebutuhannya serta mengembangkannya secara kolektif dan harus ditaati secara kolektif juga, supaya tercapai suatu tujuan yang diharapkan.
Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial, sejatinya kita harus memahami politik itu sebagai suatu wadah untuk melaksanakan kehidupan sosial yang berkeadaban, bukan malah saling menjatuhkan satu sama lain.
Dalam kenyataannya negara dan partai politik, menjadikan bahasa politiknya sebagai instrumen politiknya, terlepas dari bahasa yang digunakan sarat akan benar atau salah yang penting dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Bahasa dipakai untuk memengaruhi individu atau kelompok sosial karena di dalam bahasa politik terkandung ideologi atau misi politik.
Dalam perkembangannya, politik kerap diartikan sebagai kepentingan kelompok yang memiliki relevansi dengan kekuasaan. Bahasa juga sebagai media komunikasi, sering kali dihubung-hubungkan dengan masalah politik. Dalam bahasa politik, sejatinya memiliki karakteristik-karakteristik yang penting untuk dianalisis dan dipahami karena bahasa-bahasa yang diungkapkan dan digunakan sangat sarat akan kepentingan dan kekuasaan. Bahasa dan politik itu seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam hubungannya dengan kelompok, untuk membangun stigma negatif pada diri lawan politik, kelompok oposan membentuk struktur skemata tertentu dengan kata-kata dan gaya berbicara. Struktur skemata tersebut dibangun melalui berbagai cara, termasuk membuat stimulus negatif tentang lawan politiknya melalui informasi hoaks.
Dalam politik, semua kegiatan komunikasi berkaitan dengan upaya untuk meraih simpati, memperluas jaringan, dan memperkuat hegemoni. Pesan politik dipertukarkan melalui simbol-simbol verbal dan nonverbal. Retorika angka (tokoh masyarakat, politisi, anggota legislatif, eksekutif, presiden, dll), yang mengungkapkan pernyataan, wawancara, pidato, siaran pers pada dasarnya memiliki niat politik.
Komunikasi dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai media, termasuk media daring. Dalam pandangan analisis wacana, setiap ucapan atau tulisan memiliki arti tertentu dan tujuan.
Karena itu, bahasa merupakan representasi pribadi yang dapat mewakili seseorang pada kapasitas tertentu; ulama, cendekiawan, politikus, birokrat, dan sebagainya (Kuntarto). Bagi bangsa Indonesia yang majemuk, isu-isu politik semacam itu dapat menjadi pendorong disintegrasi. Adanya hubungan yang erat antara bahasa dan politik, bahasa dan kekuasaan. Praktik penggunaan bahasa dalam wacana politik dilatarbelakangi oleh ideologi dan filosofis khas.
Pada wacana politik di Indonesia, latar belakang ideologis dan filosofis tersebut tampak nyata dalam penggunaan gaya bahasa yang dapat diamati pada pilihan kata, struktur kalimat, makna pragmatik, dan tujuan berwacana.
Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan model wacana khas politik di Indonesia yang merupakan interelasi (irisan) antara fungsi bahasa sebagai alat interaksi dan menjaga hubungan baik (fungsi pragmatik), fungsi bahasa sebagai alat kekuasaan (fungsi politik), dan fungsi bahasa sebagai alat untuk mendeseminasikan keyakinan (fungsi ideologis).
Model wacana politik khas Indonesia tersebut dicirikan dengan, (1) kecenderungan untuk menggunakan diksi yang bermakna sarkastik, melecehkan, membuli, menyudutkan, menyatakan yang sebaliknya, dan apriori; (2) kebenaran realistis dikalahkan oleh kebenaran praktis, (3) hilangnya sikap empati, penghargaan, dan kesantunan; (4) bahasa digunakan sebagai alat politik, dan bukan sebagai alat interaksi sebagaimana dimaksud dalam teori kesantunan berbahasa.
Sederhananya adalah bahwa bahasa yang diproduksi oleh politisi manapun sangat dipengaruhi oleh relasi kuasa (kekuasaan), ideologi kelompok (partai politik) tertentu, serta tidak ada kebenaran mutlak dari sebuah teks yang diproduksi oleh para politisi karena ditentukan oleh kepentingan tertentu. Semoga bermanfaat. (*)
*) Penulis adalah Dosen STKIP Yapis Dompu, Mahasiswa S-3 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang, Pegiat Wacana dan Diskursuf Bahasa Politik.