Suherman. (ist/lakeynews.com)

 

Oleh: Suherman *)

ISU netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjelang Pilkada 2020 belakangan ini sangat santer didengungkan baik melalui sosial media maupun di kehidupan sosial. Yang kemudian berujung pada dilakukannya klarifikasi oleh Bawaslu Kabupaten Dompu terhadap pihak-pihak (ASN) yang diduga tidak netral.

Menurut penulis ada dua hal yang menarik dari fenomena ini. Pertama, adanya semangat partisipatif. Kedua, semangat literasi masyarakat.

Partisipasi masyarakat secara sukarela untuk melakukan pelaporan adalah bentuk dari adanya kesadaran dan harapan masyarakat agar Pilkada 2020 berjalan jujur dan adil.

Disamping itu, ini juga mengonfirmasi bahwa semangat pengawasan partisipatif yang digaungkan oleh Bawaslu dapat dikatakan berhasil. Oleh sebab itu, Bawaslu harus merespon dan menyelesaikan persoalan yang dilaporkan ini secara profesional, transparan dan akuntabel sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.

Pada sisi yang sama, ada semangat masyarakat untuk terus membaca dan belajar (literasi) tentang UU ASN, Peraturan Pemerintah dan UU Pilkada untuk memperkuat argumentasi diskusinya melihat realitas ASN dalam politik Pilkada. Meskipun masing-masing menafsirkan dan memahami berbeda-beda soal isi Undang-undang dan Peraturan tersebut sesuai dengan kepentingan politik masing-masing.

Namun demikian semangat partisipatif dan literasi ini tidak boleh bersifat temporer, sesaat dan bersifat partisan, untuk kepentingan politik tertentu. Ia harus terus dilakukan oleh masyarakat sepanjang tahapan Pilkada berlangsung bahkan semangat partisipasi ini juga dilakukan dalam mengawal dan mengontrol kebijakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil Pilkada.

Netralitas ASN Dari Aspek Regulasi

Agar penyelenggaraan Pilkada 2020 terlaksana secara jujur dan adil, agar profesionalisme, marwah dan kehormatan ASN tetap terjaga, maka ASN harus netral meski memiliki hak pilih yang nantinya hanya disalurkan di TPS pada hari pemungutan dan penghitungan suara.

Netralitas ASN sudah sangat jelas dan terang benderang diatur Undang-undang No. 5/2015 tentang ASN, PP No. 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dan PP 53/2010 tentang Disiplin PNS. Apa-apa saja yang diperbolehkan dan apa-apa saja yang menjadi larangan semua sudah diatur baik secara hukum maupun secara etika.

Meski demikian UU No. 5/2014 tentang ASN disamping menegaskan soal asas netralitas, juga mengatur dan memberikan ruang bagi ASN berpolitik praktis, menggunakan hak politiknya untuk menjadi Calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. Dengan ketentuan harus menyatakan pengunduran diri secara tertulis sejak mendaftar yang surat pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali (Pasal 119 dan Pasal 123 ayat 3).

Kalau merujuk pada tahapan, program dan jadwal Pilkada 2020, pendaftaran pasangan calon dilakukan pada tanggal 16-18 Juni 2020. Maka, idealnya pada saat itulah seorang ASN yang ikut Pilkada 2020 mengajukan surat pengunduran diri tersebut.

Netralitas ASN juga diatur dalam UU No. 10/2016 tentang Pilkada dimana ASN dilarang menjadi tim kampanye, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye, bahkan bagi pejabat ASN dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon.

Netralitas yang diatur dalam UU ASN, PP dan UU Pilkada yang disebutkan diatas selain mempertegas larangan, juga mengatur soal sanksi atau hukuman bagi ASN yang melanggar.

ASN Posisi Dilematis

Dalam Pilkada, ASN mengalami posisi dilematis. Apalagi kalau ada petahana, keluarga petahana atau keluarga ASN yang mencalonkan diri sebagai calon Kepala Daerah atau calon Wakil Kepala Daerah.

Posisi serba salah ini membuat integritas ASN mudah “goyah”. Tidak mendukung dianggap tidak loyal dan bahkan akan mendapat intimidasi dan ancaman kalau calon kepala daerahnya petahana atau keluarga petahana. Dianggap bukan bagian dari keluarga kalau calonnya adalah keluarga. Bahkan ASN dalam posisi “diam” sekalipun tetap dianggap mendukung salah satu calon.

Hal itu diperparah lagi dengan situasi dimana promosi dan penempatan posisi jabatan ASN yang dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang dalam hal ini Kepala Daerah tidak melalui meryt system. ASN tidak ditepatkan sesuai dengan profesionalitas, integritas dan loyalitas kinerja yang dimilikinya, tidak ditempatkam sesuai degan golongan, pangkat, kualifikasi pendidikan dan keahliannya.

Namun lebih pada lertimbangan politik dukungan, hubungan kekerabatan dan keluarga. Sehingga konsekwensi logisnya, bagi ASN yang lemah imannya akan terlibat aktif dukung mendukung pasangan calon tertentu dalam Pilkada. Dengan harapan ketika pasangan calon yang didukungnya terpilih, maka ASN tersebut mendapatkan “upah” jabatan atau “upah” materi dalam bentuk proyek dan sebagainya.

Pada aspek lain, ketika ASN ingin mencalonkan diri dalam Pilkada juga mengalami posisi dilematis ditengah “ketidaksinkronan” regulasi. Disatu sisi, ASN yang mencalonkan diri dilarang melakukan pendekatan kepada partai politik, dilarang mempromosikan pencalonannnya melalui alat peraga sosialisasi dan mendeklarasikan dirinya sebagai calon Kepala Daerah atau calon Wakil Kepala Daerah.

Namun pada sisi lain, mereka tidak mungkin dapat menghindar dari realitas politik yang ada. Untuk mendaftar di KPU tentu diawali dengan mengikuti penjaringan bakal calon partai politik dalam bentuk sekurang-kurangnya mendaftarkan diri, menyampaikan visi dan misi. Dalam kondisi tersebut, pasti akan melakukan pendekatan dan komunikasi kepada partai politik.

Ditambah lagi soal pengunduran dirinya, dalam UU No. 5/2014 tentang ASN menyatakan pengunduran diri secara tertulis sejak mendaftar di KPU. Sementara dalam UU No. 10/2016 menyatakan pengunduran diri secara tertulis sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU.

Menurut penulis ada ketidakadilan hukum. Kalau mereka (ASN yang mencalonkan diri) mengajukan surat pengunduran diri saat mendaftar yang surat pengunduran diri itu tidak dapat ditarik kembali. Lalu dalam proses setelah mendaftar, saat dilakukan proses verifikasi dan penelitian berkas baik secara administratif dan faktual mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat kemudian mereka tidak ditetapkan menjadi pasangan calon. Ini menjadi dilematis dan tidak mencerminkan rasa keadilan kemanusian. Kan, kasihan. Status ASN-nya hilang dan menjadi calon-pun gagal. Ibarat kata pepatah sudah jatuh tertimpa tanggal pula.

Pilkada 2020 sudah didepan mata, meski tahapan dan jadwal pencalonan belum dimulai namun bagi ASN baik yang mencalonkan diri maupun yang tidak mencalonkan diri se dilematis apapun kondisinya, tetap menjaga marwah dan integritas diri dalam bingkai etika moralitas yang menjadi panduan hidup bersama. Dengan demikian, kita optimis Pilkada Dompu 2020 akan berlangsung secara jujur, adil dan bermartabat. Aamiin! (*)

*) Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Dompu Periode 2014-2019.