Dr. Masrin, M.Pd, anak keluarga miskin dari dusun terpencil yang berhasil meraih gelar doktor dalam usia baru berjalan 28 tahun. Masrin bersama ibundanya. (ist/lakeynews.com)

Telat Bayar Kuliah, Tiga Kali Dinonaktifkan dan Nyaris Di-DO

Menjalani dan menyelesaikan jenjang pendidikan S2, apalagi S3 sama sekali tidak pernah diimpikan Dr. Masrin, M.Pd. Dia sangat dengan kondisi ekonomi keluarga (orangtua) yang kurang mampu. Terlebih kondisi pahit dan pelik dirasakannya sejak masuk SMK PGRI Kota Bima. Tapi kenyataannya, dua jenjang pendidikan itu berhasil dituntaskannya dengan baik, meski sempat terancam di-DO (drop out) karena tiga kali kampus mengumumkan Masrin dinonaktifkan yang disebabkan keterlambatannya membayar uang kuliah.

===========

ALHAMDULILLAH, Allah SWT meluruskan jalan yang tidak pernah saya ketahui dan rencanakan,” kata Masrin pada Lakeynews.com mengisahkan perjalanan hidupnya dalam menyelesaikan pendidikan tertinggi.

Selepas wisuda S1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Tahun 2010 di Universitas Muhammadiyah Mataram, tanpa sepengetahuan orangtua dan keluarga, Masrin mencoba ikut tes di UPI Bandung. Dia dinyatakan lulus seleksi tahun 2011. Tetapi, karena biaya dan masalah keluarga, akhirnya berhenti kuliah dan kembali ke kampung.

Di kampung halamannya, Dusun Wonto, Desa Kananta, Kecamatan Soromandi (pemekaran Kecamatan Donggo), Kabupaten Bima, Masrin kurang merasakan ketenangan. Yang kuat justru kegelisahan. Sehingga, setelah beberapa bulan berada di kampung, dia sembunyi-sembunyi meninggalkan rumah. Masrin kabur ke Jakarta tanpa tujuan yang jelas.

Dalam perjalanan menuju Jakarta, terlintas di pikirannya untuk melanjutkan kuliah, tetapi tidak berani meminta pada orangtua.

Awal tiba di Jakarta, dia tidur di masjid kampus Universitas Jakarta (UNJ) selama 13 hari untuk mendaftar, mengikuti seleksi, sekaligus menunggu pengumuman hasil seleksi masuk di UNJ.

Hasilnya, dia lulus seleksi dan diterima untuk menjalani Pendidikan Magister dengan Jurusan Bahasa Indonesia. Dia mencoba mengikuti perkuliahan tanpa sepengetahuan orangtuanya.

“Kebetulan pada tahun 2012 sampai 2014, UNJ belum menerapkan aturan yang ketat seperti sekarang. Jadi, biaya kuliah masih bisa utang dulu, tetapi tidak bisa menyusun tesis sebelum melunasi tunggakan,” urainya.

Setelah selesai mata kuliah, barulah Masrin berani meminta kepada orangtuanya untuk menjual semua (jika ada) barang, tanah, ternak, atau apapun atas nama dirinya. Yang tidak boleh dijual adalah buku-buku yang dia simpan di rumah kakaknya.

Akhirnya, orangtuanya pun menjual semua milik Masrin tanpa sedikitpun yang tersisa. Dan, berkat uang tersebut, dia bisa melunasi tunggakan, kemudian fokus menyelesaikan tesis dan wisuda tahun 2014.

Dari 57 orang (mahasiswa) Jurusan Bahasa angkatan tahun 2012, hanya Masrin dan beberapa orang temannya yang bisa menyelesaikan studi pada tahun 2014.

 

Ketika berlibur di kampung halamannya, Dr. Masrin, M.Pd tetap membantu orangtuanya di ladang dan sawah. Masrin (kiri) dibantu temannya mengantarkan air minum orangtuanya ke ladang. (ist/lakeynews.com)

Kuliah S3 tak Diketahui Orangtua

Cerita yang lebih seru lagi saat menjali pendidikan S3, karena diikutinya dengan penuh misteri dan keajaiban. Sempat dia pulang dulu ke kampung, setelah selesai wisuda S2. Masrin kemudian datang lagi ke Jakarta.

Apa tujuannya kembali ke Jakarta?

“Hanya untuk mengambil ijazah karena semua barang-barang, termasuk buku-buku sudah dikirim dan dibawa pulang ke kampung di Bima,” jawabnya.

Ternyata Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Setelah sampai di Jakarta, dia tertarik untuk menguji dirinya dengan mengikuti tes seleksi masuk S3. Ternyata hasil seleksi tersebut, Masrin dinyatakan lulus.

Masrin penasaran dan tertantang untuk iseng-iseng mengikuti perkuliahan S3. Sebab, sulit baginya untuk mengatakan sungguh-sungguh. Orangtua dan semua anggota keluarganya tidak ada yang setuju karena lagi-lagi alasan ekonomi.

Dosen pembimbingnya ketika S2, juga menyarankan agar Masrin mengabdi dulu sebelum lanjut pendidikan S3 karena umur masih muda.

Hal itu tidak membuat semangatnya surut. Justru saran dan kondisi tersebut membuatnya semakin santai mengikuti perkuliahan. “Saya sudah menganggapnya sekadar mencari pengalaman. Orientasi saya hanya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman,” ujarnya.

Yang ada dalam pikirannya saat itu cukup sederhana. Apabila dikeluarkan oleh kampus karena tidak mampu membayar, dia tidak akan kecewa. Dia sudah menyadari sejak awal, bahwa suatu waktu akan dikeluarkan.

“Tidak mungkin orangtua saya bisa membayar biaya kuliah Rp 13,5 juta per semester. Bahkan dengan menjual semua harta yang dimiliki keluarga (orangtua, red) saya di kampung pun tidak akan mencukupi biaya itu,” ujarnya.

Kisah-kisah yang lebih memilukan dialaminya selama menjalani perkuliahan S3. Sedikitnya ada tiga kali pihak kampus mengumumkan penonaktifan dirinya, bahkan nyaris di-DO jika akhirnya tidak bisa membayar uang kuliah.

Tiga kali pegumuman dinonaktifkan, tiga kali juga dia menghadap ketua Program Studi (Prodi), Akademik dan Asisten Direktur untuk memohon agar tidak dinonaktifkan, dengan membuat surat keterangan/perjanjian bayar.

Tahun 2015, UNJ membuat aturan yang sangat tegas. Mahasiswa tidak bisa lagi menunda pembayaran uang kuliah karena sistemnya sudah online. Bagi yang tidak membayar sesuai batas waktu yang ditentukan, maka akan langsung dinonaktifkan, bahkan bisa di-DO.

Seiring dengan itu, Masrin mencoba mengajukan beasiswa unggulan di kementerian. “Sungguh, suatu keajaiban yang saya rasakan. Dalam keadaan yang sangat sulit, saya dinyatakan lulus. Alhamdulillah,” tutur lelaki bujang ini.

Dia berusaha dan mencoba menyembunyikan pada semua keluarga hal tersebut. Sehingga tidak satupun keluarganya yang mengetahui, bahwa selama 1,5 tahun di Jakarta Masrin sedang kuliah. Justru setelah selesai semua mata kuliah dan tunggakan biaya kuliah lunas, baru dia memberitahukan pada keluarga dan teman-temannya.

 

Dr. Masrin, M.Pd membantu orangtuanya membuat pagar. (ist/lakeynews.com)

Hindari Pacaran, Belajar Sekuat Tenaga

Selama menempuh pendidikan S3, Masrin tinggal di kos yang sangat sederhana. Bahkan sebagian besar teman-temannya mengatakan bahwa kosnya itu tidak layak ditempati oleh seorang calon doktor. “Maklum, kos-kosan saya harganya Rp 250 ribu per bulan, sementara rata-rata harga kos di sekitarnya atau di tempat lain Rp 800 ribu sampai Rp 1,5 juta per bulan,” tandasnya.

Kos yang dia tempati itu berlantai dua, menggunakan kayu, atapnya ditutup rata dengan seng. Dindingnya dari triplek yang panasnya tembus, lantainya menggunakan kayu yang tidak rata. Lebar dan panjang kamar kos itu sekitar 1,5 x 3 meter.

Kamar mandinya berad di bawah, sekitar 30 meter. Harus melewati kamar dapur orang yang punya rumah, dengan air yang masih memakai sumur pompa.

Tetapi, menurutnya, hanya itulah satu-satunya cara yang harus dilakukannya untuk dapat menyelesaikan pendidikan S3. Selain itu, dia tetap membiasakan diri bertahan sekuat tenaga dalam kekurangan.

Makan dan minum seadanya, pakaian dan tinggal sesederhana mungkin, menghindari jalan-jalan yang tidak bermanfaat, menahan diri untuk tidak pacaran, berusaha tidak terjebak dalam gaya hidup dan pergaulan orang lain. Dia hanya belajar sekuat tenaga dan selalu berusaha menjadi yang terbaik dalam setiap kesempatan.

Alhamdulillah pendidikan S3 ditempuhnya hanya dalam waktu 2,5 tahun, dimulai tahun 2014 dan selesai 2017 dengan disertasi berjudul “Pembelajaran Bahasa Indonesia: Penelitian Fenomenologi di SMA Labschool Jakarta”.

Masrin merupakan salah satu lulusan doktor muda terbaik pada wisuda semester ganjil UNJ 2017 dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,90 dan berhasil meraih predikat Cumlaude.

Dari 50-an mahasiswa S3 Program Studi Pendidikan Bahasa angkatan tahun 2014, yang mampu menyelesaikan studi dalam waktu 2,5 tahun hanya empat orang. Masrin adalah salah satu dari empat orang itu.

Masrin diwisuda pada 16 Maret 2017. Membantu orangtua dan mengembangkan ilmu adalah rencana dia selanjutnya. Terkait urusan mengakhiri masa lajang, sementara ini belum terpikirkan olehnya.

“Insya Allah, setelah wisuda kemarin dulu saya berencana kembali ke daerah (Bima, NTB) untuk fokus penelitian, pengabdian dan pengembangan ilmu. Ya, sambil bisa bantu orangtua,” ujar doktor muda kelahiran 31 Desember 1988 (28 tahun berjalan).

Masrin dikenal sangat taat dan menyanyangi kedua orangtuanya. Sekali setahun, saat ada libur dia tetap pulang ke kampung halamannya. Kesempatan pulang kampung itu dimaksimalkannya untuk membantu orangtua bekerja sebagai petani di ladang maupun sawah.

Kadang menyemprot gulma pada padi dan jagung tanaman orangtuanya, juga ikut membersihkan padi. Membantu bapaknya saat memagar keliling areal tanaman dan sejumlah kegiatan lain dilakukan. (sarwon al khan)

 

Baca juga :

http://lakeynews.com/2017/03/19/masrin-si-anak-miskin-raih-doktor-muda-dengan-predikat-cumlaude-1/

http://lakeynews.com/2017/03/20/masrin-si-anak-miskin-raih-doktor-muda-dengan-predikat-cumlaude-2/