Liputan Khusus di SP II Nangakara (2)
Laporan : Sarwon Al Khan – Dompu
Tidak kurang dari 100 kepala keluarga (KK) transmigrasi telah ditempatkan di SP II Nangakara yang berkedudukan di Desa Sori Tatanga, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski penempatannya telah belangsung sejak 2010, hingga kini masih ada kewajiban pemerintah yang belum terpenuhi. Apa saja kewajiban itu?
=============
SELAIN jalan menuju SP II Nangakara lebih kurang empat kilometer yang belum terurus maksimal, juga jalan-jalan di wilayah pemukiman warga transmigrasi itu rata-rata masih berbentuk tanah liat.
Yang lebih parah lagi, jembatan-jembatan penghubung sama sekali tidak ada karena memang tidak pernah dibuat oleh pemerintah, baik sebelum penempatan, saat penempatan maupun pascapenempatan warga di sana.
Padahal, jembatan-jembatan itu mutlak harus ada karena merupakan kebutuhan mendasar warga sebagai penghubung dengan pemukiman warga lain (di SP II Nangakara). Juga, sebagai penghubung dengan lokasi usaha (pertanian).
Dengan demikian, sekitar enam tahun sudah para transmigran di sana merasakan kesengsaraan tanpa sarana jembatan. “Sejak kami ditempatkan disini, sampai sekarang (November 2016), belum pernah ada jembatan yang dibuatkan oleh pemerintah,” kata salah seorang warga, H Yusuf Reko.
Terhadap kondisi tersebut, warga sendiri tidak berpangku tangan. Menyiasati ketidakadaan jembatan maka diawal-awal menempati perumahan transmigrasi, mereka pernah membuat jembatan darurat dari kayu. Mereka mengumpulkan sendiri bahan-bahan bangunannya.
Setelah semua bahan terkumpul, warga bergotong royong membuat beberapa jembatan. Jembatan itulah yang dimanfaatkan warga hingga beberapa tahun. Walaupun setiap melewatinya kerap dihantui perasaan was-was, takut kalau sewaktu-waktu jembatan ambruk.
Ketuatiran warga akhirnya menjadi kenyataan. Benar juga. Beberapa tahun lalu, jembatan darurat tersebut terputus. Untungnya, saat jembatan ambruk tidak sampai menelan korban jiwa. “Kita masih bersyukur, jembatan ambruk saat tidak ada orang yang lewat,” kata Yadam, warga lain.
Salah satu jembatan yang putus tersebut, ukurannya lumayan lebar, panjang dan dalam. Sehingga tidak memungkinkan warga untuk kembali membuat jembatan darurat. Sebagai alternatif jalan keluarnya, mereka secara bersama-sama membuat jembatan mini nan darurat di lahan warga setempat. Bahannya dari kayu dan tanah liat.
Hanya saja, jalan dan jembatan itu selain ukurannya sangat mungil dan tidak bisa dipakai berpapasan, juga saat musim hujan dikuatirkan rawan terjadi kecelakaan karena licin, curam dan terjang. Lebih-lebih pada malam hari, dilewati bersama wanita hamil atau orang sakit, tentu lebih berbahaya.
Warga percaya pemerintah masih punya mata dan hati, sehingga menaruh harapan besar kepada pemerintah agar mengatasi kesulitan mereka. “Kalau tidak kepada pemerintah, lalu kemana lagi kami meminta dan berharap,” kata H Yusuf yang diiyakan beberapa warga lainnya. (bersambung)